INDONESIAONLINE – Video syur antara seorang guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan siswinya yang masih di bawah umur di Gorontalo masih menjadi pembicaraan hangat. Banyak warganet yang mengaitkan kasus ini dengan istilah child grooming. Sementara ada juga yang menganggap hubungan tersebut sebagai “suka sama suka”.
Psikolog Anastasia Sari Dewi menyatakan bahwa anggapan “suka sama suka” tidak cocok untuk menggambarkan hubungan antara orang dewasa dan anak di bawah umur. Menurut dia, orang dewasa dan anak memiliki pemahaman yang sangat berbeda tentang consent atau persetujuan.
Sari menekankan bahwa anak di bawah umur belum memiliki kematangan otak yang setara dengan orang dewasa. Mereka juga masih kekurangan pengalaman dan kemampuan psikologis untuk membuat keputusan yang matang. Hal ini membuat anak-anak belum sepenuhnya mampu memberikan persetujuan yang sah.
Dia juga memberikan contoh bahwa orang dewasa biasanya akan mempertimbangkan banyak hal sebelum memberikan persetujuan, seperti manfaat dan risiko, dampak di masa depan, hingga konsekuensi yang mungkin timbul.
Sebaliknya, jika anak memberikan persetujuan, proses pertimbangannya jauh lebih sederhana dan sering berfokus pada hal-hal jangka pendek. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap manipulasi oleh orang dewasa yang berniat buruk.
Selain itu, dominasi dan kekuasaan yang dimiliki orang dewasa sering menjadi faktor yang mempermudah terjadinya manipulasi terhadap anak di bawah umur.
“Ketika anak memberi persetujuan, biasanya itu berdasarkan pertimbangan yang sangat sederhana, seperti ‘orang ini baik sama saya’. Mereka hanya memandang hal-hal kecil dan mudah termanipulasi,” jelas Sari.
Apa Itu Child Grooming?
Dokter umum dr Rizal Fadli melalui penjelasannya di laman Halodoc, menguraikan bahwa istilah child grooming merujuk pada tindakan seseorang yang mencoba membangun kepercayaan dengan anak di bawah umur, dengan tujuan untuk melakukan pelecehan seksual di masa depan.
Child grooming bisa terjadi dalam berbagai bentuk dan dapat dilakukan oleh siapa saja, seperti guru, pelatih olahraga, hingga orang asing. Selain manipulasi untuk tujuan seksual, pelaku sering kali juga merusak psikologis anak dengan memainkan emosi mereka atau melakukan kekerasan mental. Akibatnya, kondisi mental anak bisa menjadi sangat terpuruk.
Perlu dipahami bahwa proses grooming ini tidak terjadi dalam waktu singkat. Pelaku bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun, untuk membangun hubungan yang erat dengan anak dan keluarganya.
Sebagai contoh, pelaku grooming bisa mendekati keluarga anak dan menjalin hubungan yang baik, lalu secara perlahan mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak tersebut. Tujuannya adalah untuk membangun dasar kepercayaan yang kokoh sehingga pelaku dapat lebih mudah melakukan pelecehan seksual di masa depan.
Perbedaan usia antara pelaku dan anak adalah salah satu bentuk ketimpangan kekuasaan. Anak-anak cenderung diajari untuk menghormati orang dewasa, dan pelaku sering memanfaatkan hal ini untuk keuntungannya sendiri. Namun, tindakan ini jelas memberikan dampak negatif pada perkembangan anak.
Jika seorang anak menjadi korban child grooming, kekerasan seksual yang mereka alami bisa membuat mereka merasa bingung. Pelaku mungkin menunjukkan perhatian atau kasih sayang kepada anak dengan cara yang tidak dilakukan oleh orang dewasa lainnya, bahkan mungkin memperbolehkan anak melakukan hal-hal yang tidak biasanya diizinkan.
Anak-anak atau remaja yang menjadi korban child grooming akan mengalami sejumlah dampak buruk. Pada awalnya, mereka mungkin kesulitan tidur, merasa cemas, atau kesulitan berkonsentrasi di sekolah. Seiring waktu, mereka cenderung menarik diri, menjadi tidak komunikatif, dan sering merasa marah atau kesal.
Dampak jangka panjang dari child grooming juga dapat sangat merusak. Banyak anak yang pernah menjadi korban tumbuh dengan perasaan trauma, kecemasan, dan depresi yang dapat terus berlanjut hingga dewasa. (bin/hel)