Api dalam Sekam: Konspirasi Tersembunyi di Jantung Jawa Pasca-Diponegoro

Api dalam Sekam: Konspirasi Tersembunyi di Jantung Jawa Pasca-Diponegoro
Perang Jawa Pangeran Diponegoro yang disusul dengan berbagai gerakan menggulingkan belanda di Surakarta (pengetahuan)

INDONESIAONLINE – Gema Perang Jawa belum sepenuhnya sirna ketika Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada 1830. Kekalahan itu memang memadamkan api perang terbuka, namun bara perlawanan hanya berganti rupa, menyelinap ke dalam jantung kekuasaan feodal yang justru dijaga ketat oleh kolonial: Surakarta.

Di kota inilah, pada pertengahan abad ke-19, sebuah drama intrik, ramalan akhir zaman, dan konspirasi politik mulai membentang, mengancam fondasi kekuasaan Hindia Belanda yang tampak kokoh.

Di bawah permukaan kehidupan keraton yang gemerlap dan sistem feodal yang dilestarikan penjajah, benih-benih ketidakpuasan tumbuh subur. Bukan lagi dentuman meriam yang terdengar, melainkan bisik-bisik di pertemuan rahasia, pembacaan manuskrip berisi ramalan eskatologis, dan rencana-rencana terselubung untuk menggulingkan tatanan yang ada.

Surakarta, dengan segala kompleksitas hubungan antara elite pribumi, ulama, dan otoritas kolonial, menjadi kuali peleburan bagi sebuah gerakan perlawanan baru.

Semua mulai terkuak pada Juni 1865. Laporan-laporan samar mengenai pertemuan-pertemuan ganjil di area pemakaman keramat di sekitar Solo sampai ke telinga Residen N.D. Lammers van Toorenburg. Bukan sekadar doa bersama, pertemuan itu diwarnai ritual keagamaan, pertunjukan wayang, dan pembacaan kitab-kitab kuno yang meramalkan kedatangan seorang pemimpin agung pembebas Jawa. Yang membuat Residen Lammers waspada, pesertanya bukan rakyat jelata, melainkan para bangsawan, pemuka agama, dan tokoh masyarakat berpengaruh.

Kecurigaan sang Residen memuncak. Ia segera memerintahkan Raden Tumenggung Suradirja, Kepala Kepolisian Kerajaan, untuk mengendus aktivitas misterius ini. Tak butuh waktu lama, pada 8 Juli 1865, penyelidikan membuahkan hasil.

Seorang tokoh bernama Mangkuwijaya dicokok di Desa Merbung bersama lima belas pengikutnya. Di tangan mereka, ditemukan barang bukti yang mengkhawatirkan: tumpukan manuskrip Arab, tulisan kuno dari Jagabaya, dan beragam jimat yang dipercaya menyimpan kekuatan magis.

Lebih mengejutkan lagi, terungkap benang merah yang menghubungkan kelompok ini dengan para perantau Jawa di Makkah. Banyak manuskrip itu ternyata dikirim dari Tanah Suci oleh mereka yang terusir atau melarikan diri pasca-Perang Jawa. Ini bukan sekadar gerakan lokal; sebuah jaringan transnasional tengah bergerak di bawah radar kolonial.

Awalnya, Mangkuwijaya bungkam seribu bahasa. Namun, dinding pertahanannya runtuh ketika dihadapkan dengan salah satu orang kepercayaannya, Jagapla. Pengakuan yang keluar dari mulutnya sontak membuat bulu kuduk para pejabat Belanda berdiri.

Tujuan mereka, kata Mangkuwijaya, adalah mengembalikan kemurnian Islam, menyapu bersih semua orang Eropa dan Tionghoa dari tanah Jawa, serta meruntuhkan Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta yang dianggap telah tunduk pada kafir.

Sebuah kerajaan baru bernama Kerajaan Tanjung Pura, berpusat di Prambanan, telah mereka rancang selama empat tahun terakhir. Rencana ini, akunya, telah menyebar hingga ke Pekalongan dan Tegal. Mereka bahkan telah bersumpah setia di makam seorang penyewa tanah Belanda yang dibunuh pada 1843, sebuah detail yang menguatkan dugaan Lammers bahwa ini bukan sekadar gerakan keagamaan fanatik, melainkan konspirasi politik dengan potensi militer.

Situasi genting. Lammers segera mengirim telegram kilat kepada sang empunya kuasa tertinggi di Hindia Belanda, Gubernur Jenderal L.A.J.W. Baron Sloet van de Beele. Residen Madiun, D.C. Noordziek, juga dihubungi untuk memperketat pengawasan terhadap para ulama di wilayahnya.

Gelombang penangkapan berlanjut. Ketika Raden Mas Pandji Surasubrata, seorang bangsawan Solo, ditangkap, sebuah surat ditemukan dalam penggeledahan. Isinya mengguncang istana hingga ke fondasinya. Surat itu, konon, ditandatangani oleh sang penguasa Surakarta sendiri, Paku Buwana IX.

Dalam surat tersebut, sang Susuhunan (jika memang benar itu darinya) meluapkan kekecewaannya terhadap kondisi kerajaan. Para pejabat dituding korup dan egois. Rakyat diseru untuk bersatu merebut kembali tanah yang dirampas Belanda. Pangeran Mangkunegara, kerabat keraton yang lain, dikecam karena terlalu mesra dengan Eropa. Perintah mengerikan pun tertulis: bunuh semua orang Tionghoa, Bugis, dan Khoja yang menolak mendukung perjuangan!

Namun, kabut misteri menyelimuti keaslian surat itu. Benarkah itu titah sang Raja? Ataukah sebuah fitnah keji, rekayasa untuk membakar amarah rakyat dan mengadu domba? Tanda tangan seorang pangeran fiktif yang mengaku mendapat mandat dari raja semakin menambah keraguan.

Di tengah hiruk-pikuk investigasi dan perdebatan sengit mengenai surat misterius itu, kabar tragis datang dari sel tahanan di Benteng Vredeburg. Mangkuwijaya, sang saksi kunci, ditemukan tewas gantung diri dengan kain ikat kepalanya.

Bisik-bisik menyebar: ia bunuh diri karena merasa bersalah telah membocorkan rahasia, sementara rekan-rekannya memilih diam. Namun, tak sedikit pula yang curiga, kematiannya adalah pembungkaman paksa, entah melalui siksaan atau pembunuhan terencana.

Penyelidikan tak berhenti di Solo. Residen Madiun, Noordziek, menemukan ramalan-ramalan serupa yang beredar di kalangan ulama dan pesantren. Dokumen-dokumen itu meramalkan kedatangan Imam Mahdi untuk memimpin perang suci melawan penjajah.

Meski senada dengan manuskrip Mangkuwijaya, ada perbedaan menarik: ramalan Madiun menyebut sang Imam Mahdi akan muncul di Masjidil Haram, Makkah, bukan di Jawa. Ini mengisyaratkan adanya variasi keyakinan dalam jaringan bawah tanah ini.

Pada 1 Agustus 1865, giliran Residen Kedu, H.J.C. Hoogeveen, yang menangkap delapan orang terduga konspirator. Salah satunya, Gus Misani alias Mas Krapyak, seorang guru ngaji yang mengaku dari Arab dan membawa pusaka tombak Sultan Agung.

Dari mulut Mas Krapyak, muncul nama Pangeran Suryengalaga, kakek seorang pejabat putra mahkota Yogyakarta, sebagai salah satu otak di balik gerakan. Bahkan Patih Yogyakarta pun ikut terseret dalam pusaran tuduhan.

Penangkapan demi penangkapan dan kematian misterius Mangkuwijaya seolah menjadi penutup babak konspirasi 1865 di Surakarta. Namun, jaringan yang terungkap, hubungan lintas batas hingga ke Makkah, serta ramalan akhir zaman yang menyebar luas di pesantren-pesantren menunjukkan bahwa ini bukanlah akhir.

Api perlawanan mungkin berhasil diredam untuk sementara, tetapi ia tetap menyala dalam sekam, menunggu percikan berikutnya untuk kembali berkobar di jantung tanah Jawa.