Mengungkap kisah pemberontakan berdarah ‘Kepruk China’ di Probolinggo tahun 1813. Saat rakyat bangkit melawan tiran Han Tik Ko dan sistem kolonial yang menindas, menjadi prolog tragis Perang Jawa.
INDONESIAONLINE – Langit Januari 1813 di atas Probolinggo tidak lagi biru. Ia kelabu oleh asap, merah oleh api, dan pekat oleh amarah yang akhirnya tumpah ruah. Di ujung timur Jawa, sebuah gunung berapi sosial yang lama tertidur, meletus. Bukan lahar yang dimuntahkan, melainkan parang, tombak, dan teriakan kaum tani yang tak lagi punya apa-apa kecuali nyawa dan dendam.
Ini adalah kisah “Kepruk China“, sebuah tragedi yang ditulis dengan darah di atas tanah yang tak lagi menjadi milik rakyatnya. Peristiwa ini bukan sekadar amuk massa, melainkan sebuah opera perlawanan rakyat jelata melawan kerakusan sistemik yang menjelma dalam satu nama: Han Kik Ko atau dikenal juga sebagai Han Tik Ko di literatur Eropa.
Kerajaan Privat di Atas Penderitaan Rakyat
Bayangkan sebuah wilayah seluas kabupaten dijual kepada seorang individu. Itulah yang terjadi pada Probolinggo di tahun 1810. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang dikenal dengan kebijakan tangan besinya, menjual Probolinggo kepada seorang taipan Tionghoa kaya raya, Han Tik Ko.
Dengan gelar “Mayor China”, Han Tik Ko bukan lagi sekadar pejabat; ia adalah pemilik absolut. Tanah, air, pohon, dan bahkan napas penduduknya seolah berada dalam genggamannya.
Probolinggo berubah menjadi kerajaan privat. Han Tik Ko, dalam catatan arsip kolonial, menerapkan sistem eksploitasi yang kejam. Pajak bukan lagi kewajiban, melainkan cekikan. Cukai air, iuran jalan, dan kerja paksa di perkebunan tebu menjadi rutinitas pahit.
Saat paceklik datang dan penyakit merajalela, mesin penindasan itu tak berhenti. Perut boleh kosong, tapi lumbung sang tuan tanah harus tetap penuh.
“Peristiwa Probolinggo bukanlah sekadar amuk massa rasialis, melainkan sebuah prototipe perlawanan agraria,” jelas Dr. Peter Carey, sejarawan terkemuka dari Oxford University dan penulis buku The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855.
“Ini adalah ledakan sosial-ekonomi terhadap sistem privatisasi tanah yang brutal, sebuah model eksploitasi yang dilegalkan oleh negara kolonial. Apa yang terjadi di sana menjadi cikal bakal perlawanan yang jauh lebih besar seperti Perang Jawa,” imbuhnya.
Kekuasaan Han Tik Ko menjadi simbol konkret bagaimana kolonialisme bisa meminjam tangan lain untuk menindas. Ketegangan yang timbul bukan semata soal etnis, tetapi soal keadilan yang terkoyak antara penguasa yang maha kaya dan rakyat yang dimiskinkan secara sistematis.
Januari Mencekam: Saat Sabar Mencapai Batas
Api pemberontakan menyala dari desa-desa. Para petani, nelayan, dan rakyat kecil yang selama ini hanya bisa menelan ludah pahit, akhirnya bangkit. Dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal yang namanya mungkin tak tercatat tinta emas sejarah, mereka bergerak serempak menuju pusat kekuasaan Han Tik Ko.
Gudang-gudang yang menyimpan hasil bumi rampasan dibakar. Rumah-rumah para aparatnya dijarah. Dalam catatan Mayor William Thorn, The Conquest of Java, peristiwa itu digambarkan sebagai anarki yang liar. Namun bagi massa yang bergerak, itu adalah momen reklamasi—mengambil kembali apa yang telah dirampas dari mereka.
Han Tik Ko, sang penguasa absolut, mencoba melarikan diri. Namun, tak ada jalan keluar dari lautan amarah. Ia ditangkap, dan di hadapan ratusan pasang mata yang menyala karena derita, hidupnya diakhiri secara brutal. Kematiannya menjadi klimaks tragis dari sebuah sistem yang dibangun di atas keserakahan.
Gema di Batavia dan Akhir Sebuah Sistem
Kabar tentang Probolinggo yang terbakar sampai ke telinga Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles di Batavia. Saat itu, Jawa berada di bawah administrasi Inggris.
Bagi Raffles, yang sedang merancang reformasi agraria melalui sistem sewa tanah (land rent), tragedi ini adalah bukti sahih dari kegagalan total sistem penjualan tanah (land grant) warisan Daendels.
Insiden berdarah itu menjadi justifikasi sempurna. Raffles dengan cepat menghapus praktik penjualan wilayah kepada individu swasta. Probolinggo disita kembali oleh pemerintah, statusnya dikembalikan menjadi wilayah administrasi biasa. Sistem yang menjadikan seorang manusia sebagai pemilik atas ribuan manusia lainnya, resmi berakhir.
Prolog Sebuah Perang yang Lebih Besar
Meski pemberontakan berhasil dipadamkan dan sistemnya diubah, luka Probolinggo membekas dalam. Peristiwa 1813 adalah sinyal pertama, sebuah peringatan dini bahwa kesabaran rakyat Jawa ada batasnya. Ia menjadi pelajaran pahit bahwa kekuasaan yang dibangun tanpa keadilan adalah istana pasir yang akan runtuh diterjang gelombang perlawanan.
Kini, lebih dari dua abad kemudian, nama Han Tik Ko mungkin telah pudar dari ingatan. Namun, gema teriakan para petani Probolinggo masih tersimpan dalam lipatan sejarah Nusantara. Mereka mengajarkan kita bahwa di bawah tekanan yang paling mencekik sekalipun, benih perlawanan akan selalu menemukan cara untuk tumbuh.
Sejarah, seperti api, seringkali membakar habis nama para tiran, namun menyisakan abu yang menyuburkan benih-benih kebangkitan di masa depan. Probolinggo 1813 adalah abunya (ar/dnv).