Beranda

Api Trunajaya: Surabaya dan Dendam Panji Hanoman

Api Trunajaya: Surabaya dan Dendam Panji Hanoman
Ilustrasi (jtn.io)

Mei 1677. Di balik dentum meriam VOC, Surabaya menjadi altar dendam Trunajaya. Simak kisah epik perebutan panji Hanoman dan api perlawanan pesisir yang tak pernah padam.

INDONESIAONLINE – Surabaya, Mei 1677. Di muara Kali Mas yang keruh, udara terasa pekat. Aroma mesiu, anyir lumpur, dan hangus rawa berbaur dengan pekik perang laskar pesisir. Ini bukan sekadar pertempuran memperebutkan kota bandar.

Di jantung Surabaya, di atas benteng yang kokoh, berkibar panji-panji Raden Trunajaya—bangsawan Madura, pewaris takhta spiritual pesisir, dan penjelmaan dendam lama yang menolak tunduk pada Mataram dan Kompeni.

Bagi Trunajaya, Surabaya adalah altar sumpah. Di balairungnya yang riuh, arak dituang bukan untuk pesta, melainkan untuk mengikat janji darah. Di sinilah luka para perantau Madura dan Makassar dijahit dengan benang perlawanan, siap menyambut peluru meriam.

Akar Dendam dari Trah yang Terluka

Untuk memahami api yang membakar Surabaya, kita harus kembali ke Madura. Raden Trunajaya bukanlah pemberontak biasa. Ia adalah cicit dari Cakraningrat I, penguasa Madura yang diangkat Mataram setelah Sultan Agung meratakan Arosbaya pada 1624.

Luka penaklukan itu diwariskan dari generasi ke generasi. “Ikatan dengan Mataram adalah belenggu kehormatan,” tulis sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram.

Dendam itu menemukan momentum ketika Trunajaya bersekutu dengan Raden Kajoran, ulama kharismatik dari Kedu yang kecewa pada kezaliman Amangkurat I, dan Karaeng Galesong, pangeran Makassar yang menolak tunduk pada Perjanjian Bongaya.

Koalisi ini adalah badai sempurna: kekuatan spiritual Jawa, militansi laut Makassar, dan dendam feodal Madura. Mereka menyapu pesisir utara, membakar Gresik dan Pasuruan, hingga akhirnya menduduki jantung Mataram di Plered. Surabaya menjadi benteng terakhir mereka, sebuah simbol perlawanan pesisir yang menantang hegemoni darat.

Strategi Air, Wabah, dan Meriam

Cornelis Speelman, panglima VOC berdarah dingin yang diutus dari Batavia, tahu Surabaya tak bisa ditaklukkan hanya dengan pedang. Kuncinya adalah air. Ia mengerahkan armada multietnis—Makassar, Bali, Ambon, dan Bugis—untuk memblokade Kali Mas.

Hasilnya brutal dan efektif. Aliran air bersih terputus. Benteng Surabaya tercekik wabah disentri dan demam. Dalam catatan hariannya (Daghregister), Speelman melukiskan Trunajaya sebagai pemimpin yang terpojok namun tetap angkuh.

Bahkan di tengah kepungan wabah, Trunajaya mengirim utusan ke Banten, berharap Sultan Ageng Tirtayasa mengirim bantuan. Jaringan perlawanan pesisir terbukti masih hidup.

Perundingan damai yang ditawarkan Speelman hanya sandiwara. Trunajaya, melalui Kiai Litawangsa, meminta penundaan serangan. Speelman menolak mentah-mentah.

“Terpaksa mengejarnya sebagai pemberontak,” tulis Speelman pada 10 Mei 1677, seolah menjustifikasi pertumpahan darah yang akan datang.

Pada 11 Mei, neraka pecah. Meriam-meriam dari kapal perang VOC di muara sungai mulai memuntahkan besi panas. Dentumannya merobek langit Surabaya. Trunajaya membalas dengan taktik bumi hangus, membakar rumah-rumah di celah pertahanan untuk memecah konsentrasi lawan.

Speelman mengirim juru tulis Melayu untuk terakhir kali. Jawaban Trunajaya abadi dalam catatan Kompeni: “Apabila ada sesuatu yang ingin mereka sampaikan, mereka akan menyampaikannya sendiri.”

Bagi Belanda, itu adalah kesombongan. Bagi laskar Madura, itu adalah harga diri.

Panji Hanoman di Tangan Musuh

Fajar 13 Mei 1677 menjadi saksi bisu kejatuhan Surabaya. Setelah pengeboman tanpa henti semalaman, pasukan VOC menyeberangi sungai di bawah lindungan rentetan meriam. Ironisnya, ujung tombak serangan adalah pasukan Makassar yang setia pada VOC, musuh bebuyutan Karaeng Galesong.

Pertempuran jarak dekat pecah di gang-gang sempit perkampungan. Dalam dua jam, perlawanan itu patah. Surabaya jatuh.

Trunajaya berhasil lolos ke selatan, bergerak menuju Kediri. Namun, ia meninggalkan sesuatu yang sangat berharga: panji-panji kehormatannya. Di antara rampasan perang, VOC menemukan empat panji.

Satu di antaranya paling mencolok, bergambar makhluk serupa kera-manusia yang mencabut pohon hingga ke akarnya. Simbol itu segera diidentifikasi sebagai Hanoman, raja kera dalam wiracarita Ramayana.

Sejarawan dan filolog Dr. Th. Pigeaud mencatat simbolisme ini sangat kuat. Hanoman adalah penakluk Alengka, sebuah kerajaan di seberang lautan.

“Seperti Trunajaya,” tulis Pigeaud, “raja kera pun bercita-cita merebut pulau.”

Panji Hanoman itu diarak sebagai trofi. Pada 24 Juni 1677, Speelman memajangnya di balai utama Benteng Batavia, sebuah pameran simbolis penaklukan Surabaya dan runtuhnya kekuatan pesisir.

Api yang Menjalar ke Pedalaman

Kemenangan di Surabaya tidak memberi Speelman ketenangan. “Sesungguhnya aku memerlukan dua atau tiga pribadi sekaligus,” keluhnya dalam Daghregister. Pasukannya tinggal separuh, dilumpuhkan penyakit dan kelelahan.

Sementara itu, Trunajaya, laksana api dalam sekam, membangun pertahanan baru di Kediri. Ia menghimpun sisa laskarnya dan para pengikut Galesong yang menolak menyerah. Dendam itu tidak padam oleh dentum meriam; ia hanya berpindah tempat, menyelinap di sepanjang Pegunungan Kendeng, menunggu waktu untuk menyala kembali.

Speelman mencoba memecah belah aliansi dari dalam. Ia mengirim utusan ke Madura, merayu para bangsawan Arosbaya seperti Raden Martapati untuk berbalik melawan Trunajaya. Sebagian berhasil, namun perlawanan di Pamekasan—tanah kelahiran spiritual Trunajaya—tetap kokoh.

Di Batavia, panji Hanoman tergantung sebagai lambang kemenangan kolonial. Tapi bagi orang-orang pesisir, panji itu menjadi pengingat pahit. Hanoman, sang pahlawan, telah direbut dengan tipu daya.

Seperti sang kera putih, nama Trunajaya terus hidup dalam dongeng dan ingatan kolektif: simbol perlawanan abadi dari mereka yang menolak dijajah, baik oleh istana yang lalim maupun oleh kompeni yang serakah.

Jatuhnya Surabaya bukanlah akhir dari sebuah pemberontakan. Ia adalah permulaan dari sebuah legenda. Di antara puing-puing benteng yang hangus, sumpah Trunajaya masih bergema, menantang sejarah untuk selamanya.

Exit mobile version