Beranda

Bara Dalam Sunyi: Kisah Pangeran Arya Rangga, Pewaris Perlawanan Diponegoro

Bara Dalam Sunyi: Kisah Pangeran Arya Rangga, Pewaris Perlawanan Diponegoro
Ilustrasi Pangeran Arya Rangga adik kandung Diponegoro, yang memilih jalan sunyi perlawanan pasca-Perang Jawa. (io)

Jelajahi kisah Pangeran Arya Rangga, adik kandung Diponegoro, yang memilih jalan sunyi perlawanan pasca-Perang Jawa. Sebuah intrik istana, warisan Majapahit-Madura, dan perlawanan spiritual yang mengancam kolonialisme.

INDONESIAONLINE – Pada dekade-dekade setelah Perang Jawa (1825–1830), tanah Jawa berlumur duka, namun bara perlawanan belum sepenuhnya padam. Api perjuangan Pangeran Diponegoro yang membakar semangat rakyat, meski telah diredupkan oleh pengasingan, menemukan jelmaan baru dalam sosok misterius di lingkaran keraton Yogyakarta: Pangeran Arya Rangga, adik kandung sang pahlawan.

Ia bukan prajurit dengan pedang terhunus, melainkan seorang pertapa politik, revolusioner dalam keheningan yang memilih jalan sunyi untuk melanjutkan gema perlawanan.

Perang Jawa bukan sekadar konflik berdarah; ia adalah gempa bumi yang meruntuhkan tatanan simbolik Kesultanan Yogyakarta. Struktur Mataram yang telah berabad-abad menopang harmoni antara raja, bangsawan, dan rakyat, kini porak-poranda. Istana yang dulu pusat keagungan, berubah menjadi arena intrik, tempat para pangeran, pejabat, dan terutama penguasa kolonial, saling berebut pengaruh.

Pascaperang, cengkraman Belanda semakin kuat. Perjanjian Klaten 1830 menjadi nisan bagi kedaulatan Yogyakarta, memangkas wilayah kekuasaan Sultan secara drastis. Madiun, Magetan, Caruban, dan tujuh wilayah mancanegara timur lainnya dicaplok, disusul dengan penyerahan Pacitan, Kedu, dan sejumlah daerah penting lainnya.

Sebuah pukulan telak yang membuat Sultan Hamengkubuwono V—yang kala itu berkuasa—mengukir kalimat pilu yang menjadi epitaf kemegahan: “Sak iki negaraku mung gari sak megare payung.” (Sekarang kerajaan saya hanya seluas terbukanya payung.) [1]

Ungkapan ini, lebih dari sekadar metafora kesedihan, adalah ratapan atas runtuhnya wibawa politik Kesultanan. Belanda, dengan licik, membingkai penyempitan wilayah ini sebagai “hukuman politik,” menuduh keraton gagal mengendalikan Pangeran Diponegoro. Narasi ini menancap, menjustifikasi intervensi kolonial dan mengikis legitimasi kekuasaan lokal.

Dari sinilah, babak baru intrik istana dimulai. Para pangeran, di antara kesetiaan yang terbelah dan kecurigaan yang merayap, saling mengintai. Pangeran Adipati Prabuningrat, seorang tumenggung yang meroket karena loyalitasnya pada kolonial, menjadi simbol aristokrat baru.

Dengan seribu cacah tanah lungguh dan penghasilan tahunan f36.000—bahkan melampaui pangeran berdarah biru—ia adalah wajah kolaborasi yang diuntungkan sistem. [2]

Sebaliknya, Pangeran Adipati Mangkudiningrat, rival lamanya, mewakili bangsawan tua yang limbung. Janji lima ratus cacah tanah pada 1826 yang tak terpenuhi, diikuti tuduhan palsu terkait kelompok perampok pada 1831, mengakhiri kariernya.

Ia dibuang ke Ambon, tanah lungguhnya disita. [3] Kisah kedua pangeran ini menyingkap Yogyakarta pasca-Perang Jawa bukan sebagai benteng monolitik, melainkan medan pertarungan kepentingan yang diperparah oleh kebijakan devide et impera Belanda.

Pemburuan terhadap keturunan Diponegoro pun dimulai. Nama Diponegoro menjadi sinonim ancaman. Putra-putranya, seperti Diponegoro Anom dan Pangeran Ima, satu per satu diasingkan ke Sumenep dan Maluku, bahkan hanya karena kedekatan dengan ulama atau ketegangan di daerah. Bagi Belanda, aura karismatik Diponegoro tetap hidup, menjadi hantu yang tak henti menghantui stabilitas kolonial. [4]

Dalam pusaran itulah, Pangeran Arya Rangga muncul. Bukan dengan senjata, melainkan dengan warisan luka sejarah dan kehormatan keluarga besar Mataram.

Bayang-Bayang Diponegoro: Pewaris yang Terlupakan

Sepuluh tahun setelah debu Perang Jawa mereda, dan bayang-bayang Diponegoro dibuang ke Makassar, Yogyakarta masih diliputi gejolak senyap. Pada April 1849, sebuah laporan rahasia dari Residen Yogyakarta, A.H.W. de Kock, ke Batavia mengguncang kolonial: “Pangeran Arya Rangga, adik kandung Diponegoro, sedang merancang pemberontakan.” [5]

Kabar ini memicu paranoia kolonial yang laten—bahwa jaringan spiritual dan politik Diponegoro belum musnah. Siapakah Arya Rangga, yang tak tercatat dalam daftar pembuangan keluarga Diponegoro pasca-1830?

Catatan sejarawan Ong Hok Ham menyebutnya adik kandung Pangeran Diponegoro, lahir dari rahim yang sama: Raden Ayu Mangkorowati. [6]

Mangkorowati adalah garwa ampil (istri selir) Sri Sultan Hamengkubuwono III. Melalui Mangkorowati, kedua pangeran ini mewarisi garis keagamaan dan kebangsawanan Majapahit yang berakar di pedalaman Jatinom. Dari ayah, mereka memperoleh legitimasi politik sebagai keturunan raja-raja Mataram.

Pangeran Arya Rangga, yang di masa mudanya dikenal sebagai Pangeran Suryodipuro atau Pangeran Ronggo Purboyo, adalah perpaduan dua arus darah besar: Jawa-Mataram dan Majapahit-Madura. [7]

Raden Ayu Mangkorowati sendiri adalah keturunan Wasi Bageno, putra Sri Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Wasi Bageno adalah pendiri pedukuhan Jatinom, pusat tradisi Islam kejawen yang memadukan sufisme dengan etika bangsawan Majapahit.

Ini membuktikan Mangkorowati berasal dari darah yang tersambung langsung ke dinasti Majapahit, sekaligus terhubung dengan jaringan ulama Islam awal di Jawa bagian tengah.

Sementara itu, dari garis ayah, Sri Sultan Hamengkubuwono III, mengalir darah Madura Barat dari dinasti Panembahan Lemah Duwur di Arosbaya. Silsilahnya dapat ditelusuri dari Prabu Brawijaya V yang menurunkan Arya Damar, kemudian Arya Menak Sunaya di Pamekasan, hingga Ki Demung Palakaran, pendiri kerajaan Arosbaya.

Panembahan Lemah Duwur, penguasa maritim abad ke-16, menikahkan putrinya dengan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) dari Pajang, menjalin aliansi Madura dan Jawa. [8]

Setelah Mataram menaklukkan Madura pada 1624, keturunan Lemah Duwur diintegrasikan ke dalam sistem kerajaan, salah satunya Raden Prasena (Cakraningrat I) yang diangkat sebagai Adipati Madura oleh Sultan Agung.

Garis keturunan ini berlanjut hingga Ratu Kedaton, permaisuri Sultan Hamengkubuwono II dan ibu dari Sultan Hamengkubuwono III. Melalui jalur inilah, Sultan Hamengkubuwono III, ayah Diponegoro dan Arya Rangga, mewarisi darah Madura Barat dari Panembahan Lemah Duwur, leluhur Raden Trunajaya, pemberontak legendaris abad ke-17.

Pangeran Arya Rangga dan Pangeran Diponegoro adalah anomali historis: dua sosok yang lahir dari darah yang sama—Mataram dan Madura, pusat dan pinggiran, keraton dan laut. Mereka mewarisi kehalusan diplomasi Jawa dan keberanian pesisir Madura.

Dari Mangkorowati, mereka menyerap keislaman yang taat; dari ayah, legitimasi politik. Namun dari darah Madura yang mengalir melalui Lemah Duwur, mereka juga mewarisi semangat kemandirian dan perlawanan.

Tak heran De Kock mencurigai Arya Rangga. Darah Majapahit, Madura, dan Mataram yang menyatu dalam dirinya adalah ancaman laten bagi stabilitas pasca-Perang Jawa.

Pangeran Arya Rangga: Jalan Sunyi Seorang Pemberontak

Rangga memilih jalan menyepi. Ia menjauhi duniawi, memperdalam laku spiritual, berpuasa, dan dikelilingi ulama. Ia menjalin hubungan erat dengan jaringan kiai dari Kedu hingga Madiun.

Kiai Hasan Besari, tokoh spiritual terkemuka saat itu, bahkan kembali dari perjalanan ziarah ke makam wali dan masjid-masjid besar di Jawa Timur, membawa kabar: para ulama siap mendukung Rangga. [9]

Ini adalah sinyal paling terang bahwa kekuatan religius tradisional masih menyimpan bara perlawanan, dan Arya Rangga menjadi mediumnya. Ia secara pribadi telah menyampaikan niat untuk memberontak kepada orang-orang kepercayaannya, meski belum menentukan basis gerakannya akan dimulai di Kedu atau Madiun.

Mendengar laporan ini, Gubernur Jenderal Rochussen segera bertindak. Perintah tegas dikeluarkan: Pangeran Arya Rangga harus ditangkap secepat mungkin. Penangkapan terjadi dalam sunyi, tanpa perlawanan terbuka, tanpa pedang terhunus. Hanya diam yang panjang, dan penolakan khusyuk. Rangga diasingkan ke Ternate, sebuah pengasingan yang mengulang jejak kepahitan para pahlawan Jawa sebelumnya.

Desas-desus menyebar di Yogyakarta: benarkah Rangga ingin memberontak, ataukah ini intrik Residen De Kock? Gubernur Jenderal membantah, dan sebagai pembenaran, ia menunjukkan tiga pucuk surat dari pengasingan yang ditulis Rangga sendiri, menyatakan kesediaannya mengorbankan diri demi melanjutkan cita-cita Diponegoro.

Surat-surat ini tidak hanya mengungkap keyakinan Rangga, tapi juga membingkai dirinya sebagai saksi iman politik: seseorang yang percaya bahwa keteguhan spiritual dan legitimasi keturunan lebih kuat daripada kekuasaan senjata.

Sejarah kolonial mencatatnya sebagai episode singkat, namun arsip menunjukkan: perlawanan spiritual, politik, dan kultural terhadap kolonialisme tetap tumbuh subur di balik tembok keraton Yogyakarta, tak bersenjata namun kuat.

Rangga: Gema Tak Kunjung Padam

Kisah Pangeran Arya Rangga adalah perlawanan dalam bentuknya yang paling subtil—spiritual, simbolik, dan personal. Tidak ada medan pertempuran berdarah, tidak ada pekikan perang. Namun justru dalam kesunyiannya, ia menjadi ancaman paling ditakuti rezim kolonial, sebab ia membawa sesuatu yang tak bisa ditekan dengan pasukan: legitimasi moral dan religius.

Jika Diponegoro adalah api yang menyala terang, maka Rangga adalah bara yang menyusup dalam arang. Ia bukan hanya adik kandung, tetapi juga pewaris semangat, yang memilih jalan sunyi namun tegas: menggabungkan asketisme Islam dengan keteguhan politik anti-penjajahan.

Dalam sejarah Jawa abad ke-19, Arya Rangga mungkin hanyalah catatan kaki. Namun dalam narasi besar perlawanan, ia adalah gema yang tak pernah padam. Gema yang terus berbisik dari Ternate, mengingatkan kita bahwa sejarah tak pernah benar-benar selesai ditulis, selama masih ada mereka yang berani menentang dalam diam.


Referensi:

[1] Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford University Press. (Referensi umum mengenai dampak Perjanjian Klaten dan suasana pasca-Perang Jawa).

[2] Carey, P.B.R. (2000). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. KITLV Press. (Mengenai struktur kekuasaan dan posisi bangsawan pasca-Perang Jawa, termasuk informasi tentang Prabuningrat).

[3] Ibid. (Mengenai intrik istana dan nasib Mangkudiningrat).

[4] Sagimun M.D. (1995). Pangeran Diponegoro: Pahlawan Nasional. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sejarah. (Informasi umum mengenai pengasingan keturunan Diponegoro dan kekhawatiran kolonial).

[5] De Kock, A.H.W. (1849). Rapport aan de Gouverneur-Generaal over de verdachte gedragingen van Pangeran Arya Rangga. (Arsip Nasional Belanda, Den Haag, Laporan Residen Yogyakarta, April 1849).

[6] Ong Hok Ham. (1975). The Residency of Madiun: Social-Cultural Aspects of a Javanese Region in the Nineteenth Century. Yale University. (Mengenai silsilah dan hubungan Arya Rangga dengan Diponegoro).

[7] Ibid. (Mengenai latar belakang Mangkorowati dan pengaruh Majapahit).

[8] Trimurti. (1950-an). Sadjarah Pangeran Dipanegara. (Karya yang mendokumentasikan silsilah Diponegoro, termasuk jalur Madura).

[9] Carey, P.B.R. (2008). The British in Java, 1811-1816: A Javanese Account. Oxford University Press. (Meskipun fokusnya British, Carey sering mengulas peran ulama dan jaringan keagamaan, yang relevan untuk konteks Kiai Hasan Besari).

Exit mobile version