Bara Tegalrejo: Saat Diponegoro Warisi Sumpah Darah Trunajaya

Bara Tegalrejo: Saat Diponegoro Warisi Sumpah Darah Trunajaya
Ilustrasi Pangeran Diponegoro (io)

Kisah puitis meletusnya Perang Jawa 1825. Menelusuri jejak darah Madura dan sumpah Trunajaya dalam nadi Pangeran Diponegoro saat Tegalrejo membara menjadi neraka kolonial.

INDONESIAONLINE – Yogyakarta, Juli 1825. Langit di atas Kesultanan Yogyakarta menggantung rendah, berat oleh udara kemarau yang kering dan firasat buruk yang menjalar di sela-sela dinding keraton. Bukan hanya Gunung Merapi yang menyimpan magma; rongga sosial politik Jawa Tengah itu sendiri sedang menahan napas, menunggu sebuah detonasi.

Di meja kerjanya, Residen Yogyakarta A.H. Smissaert sedang menyesap cerutu dengan angkuh, mengabaikan tumpukan surat peringatan. Salah satunya datang dari H. Mac Gillavry, Residen Surakarta. Surat itu berbau ketakutan. Gillavry melaporkan adanya pembelian senjata rahasia oleh utusan Pangeran Diponegoro. Ia menyebutnya sebagai indikasi “semangat jiwa rakyat yang buruk”.

Namun, sejarah mencatat Smissaert sebagai birokrat yang rabun akan realitas. Ia menganggap gejolak sang Pangeran hanyalah ngambek-nya seorang bangsawan yang kecewa soal patok tanah dan urusan waris. Ia lupa, atau mungkin tidak tahu, bahwa di nadi Diponegoro tidak hanya mengalir darah raja-raja Jawa yang halus, melainkan juga ombak liar Selat Madura yang pernah dibawa oleh para pemberontak legendaris.

Ultimatum di Ujung Bedil

Tanggal 19 Juli 1825 menjadi titik nadir. Laporan intelijen menyebut Demang Grojogan memobilisasi 100 orang menuju kota. Desas-desus penyerangan via Pacitan merebak. Pasar-pasar sunyi senyap; rakyat menyembunyikan harta, sementara para priyayi mendaki lereng Merapi untuk berkaul—mencari pertanda langit.

Smissaert akhirnya panik. Ia mengutus Pangeran Mangkubumi untuk menyeret Diponegoro ke karesidenan. Namun, takdir berkata lain. Mangkubumi, yang melihat kesewenang-wenangan Belanda di depan mata, justru berbalik arah. Ia memilih berdiri di sisi keponakannya.

Pada sore hari, 20 Juli 1825, diplomasi mati.

Sebuah detasemen militer di bawah komando Letnan Satu Jean Nicolaas de Thierry bergerak ke Tegalrejo. Pasukan itu terdiri dari 25 huzaren (kavaleri) dan 50 flankeurs (infanteri), lengkap dengan dua meriam lapangan (veldstuk). Chevallier, Asisten Residen yang emosional, ikut serta membawa mandat penangkapan.

Di Tegalrejo, mereka disambut bukan oleh pasukan reguler, melainkan oleh gelombang amarah rakyat. Petani bersenjata arit, santri dengan bambu runcing, dan ulama desa menghadang. Ketika Chevallier gagal membujuk massa, meriam Belanda menyalak.

Tegalrejo berubah menjadi neraka. Sekitar 1.500 rakyat bertahan di tengah gempuran artileri. Rumah kediaman Diponegoro dibakar habis. Namun, sang Pangeran dan Mangkubumi lolos membelah sawah, meninggalkan puing yang kelak menjadi monumen dimulainya De Java Oorlog (Perang Jawa).

Genealogi Perlawanan: Hantu Arosbaya

Mengapa Diponegoro begitu keras kepala? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya terletak pada patok tanah yang digusur Belanda, tetapi tersembunyi jauh dalam lipatan silsilahnya.

Sejarawan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan (2012) mencatat bahwa Diponegoro bukan sekadar Jawa sentris. Ia adalah “Panci Peleburan” dari berbagai trah perlawanan. Melalui ibunya, Ratu Ageng (istri Sultan HB III), dan nenek moyangnya, mengalir darah Panembahan Lemah Duwur dari Arosbaya, Madura Barat.

Silsilah ini menghubungkan Diponegoro langsung dengan Raden Trunajaya, bangsawan Madura yang pada tahun 1670-an meruntuhkan Keraton Plered dan membuat Amangkurat I lari terbirit-birit hingga meninggal di Tegalwangi. Trunajaya adalah cucu buyut Lemah Duwur.

Darah Madura ini membawa etos yang berbeda: keberanian maritim, Islam yang egaliter, dan ketidaksukaan mendalam terhadap hegemoni pusat yang korup. Jika Trunajaya melawan Mataram yang tiran, maka Diponegoro—cucu spiritualnya—melawan Belanda yang kafir dan Keraton yang telah menjadi boneka.

Dari garis Panembahan Lemah Duwur, Diponegoro mewarisi legitimasi yang melampaui tembok keraton: Legitimasi Majapahit: Melalui garis Arya Damar dan Brawijaya V, Legitimasi Islam: Koneksi dengan Sunan Giri dan jaringan ulama pesisir, dan Legitimasi Perlawanan: Semangat puputan (habis-habisan) ala Trunajaya.

Harga Mahal Sebuah Arogansi

Perang yang disulut sore itu berlangsung selama lima tahun (1825–1830). Prediksi Smissaert bahwa ini hanya “kerusuhan kecil” menjadi lelucon paling tragis dalam sejarah kolonial.

Data sejarah memvalidasi betapa dahsyatnya dampak perang ini:

  • Korban Jiwa: Peter Carey (2014) memperkirakan sekitar 200.000 orang Jawa tewas (separuh penduduk Yogyakarta saat itu), akibat pertempuran, wabah penyakit, dan kelaparan.

  • Kerugian Belanda: Sekitar 8.000 tentara Eropa dan 7.000 tentara pribumi (legiun Afrika/Ternate/Manado) tewas.

  • Biaya Perang: Menguras kas Kerajaan Belanda hingga 20–25 juta Gulden, yang memaksa Belanda menerapkan sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pasca perang untuk menutup utang.

Smissaert sendiri, sang pemantik api, harus membayar arogansinya. Kariernya hancur, dan ia dicopot dari jabatannya tak lama setelah perang meletus. Ironisnya, ia tewas dalam ketidakjelasan sejarah, sementara nama lawannya, Diponegoro, abadi sebagai ‘Ratu Adil’ dalam memori kolektif nusantara.

Epilog: Abu yang Tak Pernah Dingin

Tegalrejo hari ini mungkin telah berubah menjadi pemukiman padat. Namun, tanah di sana pernah mengecap darah para syuhada yang dipimpin oleh seorang pangeran.

Diponegoro membuktikan bahwa Jawa bukanlah tanah yang pasrah. Ketika harga diri diinjak, dan ketika “panggilan darah” leluhur—dari Lemah Duwur hingga Trunajaya—bergetar, maka petani yang paling lembut pun akan berubah menjadi banteng yang mengamuk.

Perang Jawa adalah bukti bahwa kolonialisme, sekuat apa pun artilerinya, tidak akan pernah bisa memadamkan api yang menyala di dalam jiwa manusia yang merdeka.


Referensi:

  1. Carey, Peter. (2012). Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). (Validasi data korban jiwa 200.000 orang dan biaya perang 20 juta Gulden).

  2. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi. (Validasi konteks politik Mataram Islam dan Madura).

  3. Tanoyo, R. Sadjarah Pangeran Dipanegara. Manuskrip Keraton Yogyakarta. (Validasi silsilah Lemah Duwur dan hubungan dengan Madura).

  4. De Klerck, E.S. (1905). De Java-Oorlog van 1825-30. Batavia: Landsdrukkerij. (Sumber primer militer Belanda mengenai kronologi penyerangan Tegalrejo).