Beranda

Barak Asmara: Krisis Jodoh Pria di Negeri Tirai Bambu

Barak Asmara: Krisis Jodoh Pria di Negeri Tirai Bambu
Ilustrasi para pria China yang putus asa mencari pasangan di tengah lanskap sosial yang berubah drastis (deepai/io)

Fenomena ‘barak asmara’ meledak di China sebagai jawaban atas krisis populasi dan rendahnya angka nikah. Jutaan pria lajang berjuang mencari jodoh di tengah ketidakseimbangan gender, tuntutan ekonomi, dan pergeseran sosial yang masif.

INDONESIAONLINE – Di sudut-sudut kota metropolitan China, sebuah fenomena baru lahir dari rahim krisis demografi yang kian mengkhawatirkan: ‘barak asmara’. Ini bukan kamp militer, melainkan sebuah kamp pelatihan intensif bagi para pria yang putus asa mencari pasangan di tengah lanskap sosial yang berubah drastis.

Fenomena ini, yang disorot tajam dalam film dokumenter pemenang Emmy, “Dating Game” karya Violet Du Feng, adalah cerminan dari masalah yang jauh lebih dalam.

China sedang bergulat dengan penurunan populasi pertama dalam enam dekade, yang dipicu oleh rekor angka pernikahan dan kelahiran terendah. Barak asmara menjadi solusi tak biasa bagi para pria, terutama dari latar belakang sederhana, yang merasa tertinggal.

Mereka adalah bagian dari generasi yang disebut ‘sheng nan’  atau “pria sisa”—istilah yang merujuk pada jutaan pria yang kesulitan menemukan pasangan.

“Seiring dengan meningkatnya pendidikan dan kesuksesan profesional perempuan, standar yang mereka tetapkan terus meningkat, membuat banyak pria merasa tidak mampu bersaing,” ungkap Hao, seorang pelatih kencan yang menjalankan salah satu barak ini, seperti dikutip dari Newsweek.

“Tantangan ini bahkan lebih besar bagi pria pedesaan yang pindah ke kota,” lanjutnya.

Di bawah bimbingan Hao, para pria ini menjalani program “glow up” total. Mereka tidak hanya mendapatkan potongan rambut baru dan profil media sosial yang dipoles, tetapi juga diajarkan strategi psikologis untuk mendekati wanita, baik secara daring maupun dalam pertemuan tatap muka.

Hao mengklaim telah melatih lebih dari 3.000 klien, dengan 500 di antaranya berhasil melangkah ke jenjang pernikahan.

Akar Masalah: Warisan Kebijakan dan Tekanan Ekonomi

Munculnya barak asmara bukanlah kebetulan. Ini adalah gejala dari setidaknya dua bom waktu sosial yang meledak bersamaan.

Pertama, ketidakseimbangan gender yang parah. Akibat dari “Kebijakan Satu Anak” yang berlangsung selama 35 tahun (1980-2015) dan preferensi budaya terhadap anak laki-laki, China kini memiliki kelebihan populasi pria sekitar 32 juta orang, menurut data dari Biro Statistik Nasional China (NBS). Ini menciptakan pasar perjodohan yang sangat kompetitif bagi pria.

Kedua, tekanan ekonomi dan sosial yang menghancurkan. Generasi muda China saat ini terhimpit oleh budaya kerja “996” (bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam, 6 hari seminggu), upah yang stagnan, dan persaingan kerja yang brutal—fenomena yang dikenal sebagai ‘neijuan’ atau involusi.

Banyak anak muda yang akhirnya memilih untuk ‘tang ping’ atau “berbaring datar”, menolak tuntutan sosial untuk menikah, membeli rumah, dan memiliki anak karena dianggap terlalu membebani.

Statistik resmi melukiskan gambaran yang suram.

  • Pada tahun 2023, China hanya mencatatkan 6,83 juta pendaftaran pernikahan, angka terendah sejak pencatatan dimulai pada tahun 1986. Angka ini anjlok lebih dari 56% dibandingkan puncak tertinggi pada tahun 2013.

  • Tingkat kesuburan China juga jatuh ke rekor terendah 1,09 anak per wanita pada 2022, jauh di bawah tingkat penggantian populasi sebesar 2,1.

Perspektif Wanita yang Sering Terlupakan

Menyalahkan sepenuhnya pada “standar tinggi” perempuan adalah penyederhanaan yang berbahaya. Bagi banyak wanita China yang kini lebih berpendidikan dan mandiri secara finansial, pernikahan bukan lagi sebuah keharusan ekonomi.

Mereka menolak ekspektasi patriarkal tradisional di mana istri diharapkan menanggung beban ganda: berkarir sekaligus mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.

Mereka mencari kemitraan yang setara, bukan sekadar “pemberi nafkah”. Bagi mereka, melajang seringkali lebih menarik daripada terjebak dalam pernikahan yang tidak memuaskan.

Barak asmara, pada akhirnya, adalah sebuah anomali modern. Di satu sisi, ia menawarkan harapan bagi para pria yang kesepian. Namun di sisi lain, ia adalah penanda yang jelas bahwa China tidak hanya menghadapi krisis angka, tetapi juga krisis ekspektasi, peran gender, dan tujuan hidup di abad ke-21.

Solusi yang ditawarkan mungkin bisa membantu beberapa individu, tetapi tidak akan mampu menyembuhkan luka demografi dan sosial yang lebih dalam yang kini dihadapi oleh Negeri Tirai Bambu.

 

Exit mobile version