Skandal ijazah palsu mengakhiri karir singkat Wali Kota Ito, Maki Takubo. Simak analisis mendalam tentang krisis kepercayaan publik, tekanan politik, dan dampak budaya ‘gakureki shakai’ di Jepang yang membuat kebohongan akademis menjadi dosa tak termaafkan.
INDONESIAONLINE – Panggung politik kota wisata Ito di Prefektur Shizuoka berguncang hebat. Hanya dua bulan setelah dilantik, Wali Kota Maki Takubo (55) mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri. Pengumuman ini bukan karena kebijakan yang gagal, melainkan akibat kebohongan fundamental yang meruntuhkan fondasi kepercayaan publik: latar belakang pendidikannya.
Skandal ini menjadi cermin betapa mahalnya harga sebuah kejujuran dalam lanskap politik Jepang yang sangat menghargai integritas dan rekam jejak akademis.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Senin (7/7/2025), Maki Takubo akhirnya tunduk pada tekanan. Dengan wajah tegang, ia mengakui bahwa klaim kelulusannya dari Fakultas Hukum Universitas Toyo adalah palsu.
Universitas prestisius tersebut telah mengonfirmasi bahwa Takubo dikeluarkan (diberhentikan), bukan lulus seperti yang ia cantumkan dalam profil kampanye dan buletin resmi kota.
“Saya akan menyerahkan bukti yang saya klaim sebagai ijazah dan buku tahunan kepada jaksa dalam waktu 10 hingga 14 hari. Setelah itu, saya akan mundur,” ujar Takubo.
Pernyataan ini menandai puncak dari drama politik yang berlangsung selama beberapa minggu, di mana ia terus mengelak dari pertanyaan tajam mengenai validitas kredensialnya.
Badai Politik dan Resolusi “Menjijikkan”
Sebelum pengakuan Takubo, parlemen kota (DPRD) Ito telah kehilangan kesabaran. Secara bulat, mereka meloloskan resolusi yang mendesak Takubo untuk segera mundur. Bahasa yang digunakan dalam resolusi tersebut luar biasa keras, menyebut tindakan Takubo yang berulang kali menghindar sebagai “lebih dari sekadar kurang tulus, bahkan menjijikkan.”
Langkah ini bukan sekadar gertakan politik. Majelis Kota Ito juga membentuk komite khusus di bawah Undang-Undang Otonomi Daerah untuk melakukan penyelidikan menyeluruh. Secara hukum, tindakan Takubo berpotensi melanggar Pasal 235 Undang-Undang Pemilihan Umum Jepang (Public Offices Election Act) mengenai penyebaran informasi palsu.
Pelanggaran ini diancam dengan hukuman penjara hingga 2 tahun atau denda hingga 300.000 yen, sebuah konsekuensi serius yang mengubah skandal ini dari krisis etika menjadi kasus pidana.
Skandal ini memicu kemarahan yang meluas di Ito, sebuah kota yang bergantung pada citra positifnya sebagai destinasi wisata onsen (pemandian air panas) dan keindahan alam. Begitu laporan resmi dari Universitas Toyo tersebar, kantor balai kota dibanjiri keluhan.
Tercatat 2 Juli lebih dari 200 panggilan telepon diterima dan pada 3 Juli angkanya melonjak menjadi 350 panggilan. Sehingga dalam 2 hari sekitar 250 email diterima, hampir semuanya berisi satu tuntutan: “Mundur!”
Seorang pengusaha lokal bahkan menyatakan akan melaporkan Takubo ke polisi, menunjukkan bahwa kesabaran publik telah habis. Akibatnya, Takubo menjadi figur yang terisolasi.
Ia membatalkan kehadiran di berbagai acara publik, termasuk pertemuan kepala daerah dan festival perahu Matsukawa, untuk menghindari sorotan dan cemoohan publik.
Gakureki Shakai: Dosa Akademis di Masyarakat Jepang
Untuk memahami mengapa skandal ini begitu fatal, kita harus melihatnya melalui lensa budaya Jepang, khususnya konsep Gakureki Shakai. Istilah ini merujuk pada masyarakat di mana latar belakang pendidikan (universitas asal) memiliki pengaruh luar biasa terhadap status sosial, prospek karir, dan persepsi publik.
Dalam konteks Gakureki Shakai:
-
Ijazah adalah Simbol Integritas: Gelar dari universitas ternama bukan hanya bukti kecerdasan, tetapi juga simbol kerja keras, disiplin, dan kejujuran.
-
Kepercayaan sebagai Modal Politik: Di Jepang, kepercayaan adalah mata uang utama dalam politik. Memalsukan ijazah dianggap sebagai pengkhianatan fundamental terhadap kepercayaan pemilih.
-
Preseden Sejarah: Skandal serupa di masa lalu selalu berakhir dengan kehancuran karir politik pelakunya, karena publik Jepang memiliki toleransi yang sangat rendah terhadap kebohongan terkait kualifikasi personal.
Kebohongan Takubo bukan sekadar kesalahan administratif; itu adalah serangan langsung terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang memilihnya.
Sikap Menantang di Tengah Kejatuhan
Di tengah krisis yang melilitnya, Maki Takubo mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan banyak pihak. Ia bertekad untuk membersihkan namanya dan kembali ke panggung politik.
“Saya akan maju lagi (dalam pemilihan wali kota berikutnya), setelah semua ini dibuktikan secara hukum,” katanya.
Sikap menantang ini dianggap oleh banyak analis sebagai tanda ketidakpekaan terhadap sentimen publik yang telah hancur. Bagi warga Ito, drama ini belum berakhir.
Mereka tidak hanya menunggu pengunduran diri Takubo, tetapi juga proses hukum yang akan menentukan nasibnya dan memulihkan integritas kepemimpinan di kota mereka. Karir politik Maki Takubo yang dibangun di atas kebohongan, kini runtuh dalam waktu singkat, meninggalkan pelajaran pahit tentang pentingnya kejujuran di ruang publik.