Menjelajahi Batavia, “Swiss di Pasifik” pada abad ke-19, dari kanal malaria hingga Weltevreden yang megah. Sebuah kisah ironi kolonial, keindahan semu, dan jejak luka yang membentuk Jakarta hari ini.
INDONESIAONLINE – Pada suatu pagi yang basah di penghujung abad ke-19, seorang jurnalis Amerika, Frank G. Carpenter, menginjakkan kaki di pelabuhan Batavia. Dari balik kabut tropis dan rimbunnya pohon kelapa, ia melihat apa yang kemudian ia catat dengan nada takjub: sebuah pulau kecil bernama Jawa, yang ia juluki “Swiss di Pasifik“.
Bagi Carpenter, Batavia adalah taman tropis terindah di dunia kolonial. Namun, di balik keindahan yang dipuja, tersembunyi ironi, penyakit, dan ketimpangan yang mendalam. Kisah ini bukan sekadar mengulang catatan kolonial, melainkan sebuah perjalanan dokumenter melintasi waktu, menyingkap lapisan-lapisan sejarah yang membentuk jejak Batavia lama: kota kanal, kota penyakit, kota keindahan, dan kota ketimpangan.
Dari muara Ciliwung hingga Weltevreden, kita akan menyusuri jejak-jejak itu, menghirup aroma bunga dan bangkai di udara lembap, dan bertanya: apa makna sejati dari “keindahan kolonial” yang pernah dipuja sebagai surga?
Jejak Awal: Kota di Atas Reruntuhan dan Ambisi Coen
Dari arah Laut Jawa, Batavia perlahan menampakkan diri, garis putih yang samar di antara rimbunan hijau dan kabut asin. Pelabuhan Tanjung Priok, yang kelak menjadi gerbang utama Hindia Timur Belanda, menyambut kapal-kapal Eropa.
Dari dermaga, jalur kereta api dan kanal-kanal air terbentang lurus, menembus jantung Batavia lama. Kota ini, cikal bakal Jakarta, adalah saksi bisu denyut pertama kolonialisme Belanda di Nusantara.
Berdiri di muara Sungai Ciliwung, di atas tanah rawa dan perbukitan rendah, Batavia didirikan pada 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang kejam sekaligus visioner.
Setelah membumihanguskan Jayakarta, pelabuhan kecil Kesultanan Banten, Coen menegakkan benteng pertamanya. Ia menamai kota baru itu Batavia, sebuah bentuk propaganda kolonial untuk menanamkan identitas Eropa. Di balik nama megah itu, tersembunyi ironi besar: kota ini dibangun sebagai lambang kemajuan, tetapi di atas reruntuhan, darah, dan lumpur.
Batavia kemudian menjadi ibu kota Hindia Belanda dan pusat jaringan perdagangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Asia. Posisi strategisnya di pesisir utara Jawa, terlindungi dari gelombang besar, menjadikannya penghubung antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan.
Namun, tanah rawa memaksa pembangunan kanal-kanal besar, yang berfungsi ganda sebagai jalur transportasi dan pengering lahan. Dari sinilah rempah, gula, kopi, dan hasil bumi Nusantara mengalir ke gudang-gudang VOC di Amsterdam. Demi melindungi kepentingan dagangnya, pemerintah kolonial memperluas wilayah kekuasaan hingga ke Ommelanden, mencakup sebagian besar Jakarta, Banten, dan Jawa Barat hari ini.
Kota ini berkembang menjadi dua lapisan: Oud Batavia (Kota Tua) di utara sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan VOC, serta Weltevreden di selatan, kawasan dataran tinggi yang kemudian menjadi lingkungan hunian pejabat kolonial, markas militer, dan pusat sosial-politik baru.
Sebelum Coen, Gubernur Jenderal VOC pertama, Pieter Both, telah memilih Jayakarta sebagai basis. Alasannya jelas: pelabuhan Banten sudah ramai oleh bangsa Eropa lain seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris, menyulitkan monopoli VOC. Jayakarta, yang masih kecil, lebih mudah dikuasai.
Pada 1611, VOC mendapat izin membangun kantor dagang pertama di tepi timur muara Ciliwung. Bangunan itu terus diperkuat hingga Coen, pada 1618, menjadikannya benteng kecil yang siap berperang.
Dari benteng inilah, pada 30 Mei 1619, Coen menghancurkan Jayakarta, membakar keraton dan perkampungan. Ia sempat ingin menamai kota baru itu Nieuwe Hollandia, namun Dewan Tujuh Belas di Amsterdam memilih Batavia, mengenang suku Batavi.
Motto pribadi Coen, Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons (“Jangan putus asa dan jangan kasihi musuhmu, sebab Tuhan bersama kita”), ditetapkan sebagai semboyan kota. Pada 4 Maret 1621, pemerintahan resmi Stad Batavia terbentuk, menandai kelahiran ibu kota kolonial pertama di Asia Tenggara, dirancang dengan gaya Eropa di tengah tropis.
Selama delapan tahun pertama, Batavia berkembang pesat. Dikelilingi tembok batu setinggi tujuh meter dan parit besar, jalan-jalan sempit dan kanal-kanal meniru Amsterdam. Wilayah kekuasaan meluas ke selatan, dengan batas barat mula-mula Kali Angke, lalu Kali Cisadane.
Namun, kawasan di luar benteng masih rawan serangan gerilya dari sisa-sisa pasukan Banten dan Mataram yang menyerang pada 1628-1629. Baru setelah perjanjian dengan Banten (1659, 1684) dan Mataram (1652), wilayah antara Cisadane dan Citarum diakui sebagai kekuasaan Kompeni.
Daerah sekitar Batavia pun dihuni kembali oleh budak, pekerja kontrak, dan pribumi bebas, membentuk struktur sosial berlapis: Eropa di pusat, Asia Timur dan Timur Tengah di pinggiran, serta pribumi di kampung-kampung.
Namun, kemegahan ini rapuh. Pada 5 Januari 1699, gempa bumi besar berkekuatan 7,4–8,0 magnitudo mengguncang Selat Sunda dan Batavia, menewaskan 128 orang dan merusak luas. Bangunan kolonial runtuh, kanal retak, jalan tergenang lumpur.
Meski demikian, kota itu terus dibangun, lapis demi lapis, hingga menjadi “permata Timur” yang digambarkan pelancong Eropa sebagai surga tropis, namun sesungguhnya berdiri di atas penderitaan buruh, budak, dan tanah yang lembap oleh darah sejarah.
Ketika Carpenter datang di penghujung abad ke-19, Batavia lama menyerupai replika kecil Belanda. Rumah-rumah putih beratap merah berjajar di sepanjang kanal, dengan tembok tebal menahan udara lembap. Tembok besar mengelilingi kota, konon melindungi dari “angin liar” pembawa penyakit. Namun ironisnya, dari sanalah malapetaka bermula.
Kanal Kematian dan Eksperimen Kolonial Daendels
Air kanal yang tenang berubah menjadi kubangan malaria. Nyamuk berkembang biak di balik terali jendela. Antara 1731–1752, tercatat lebih dari satu juta kematian di Batavia. Koloni yang didamba menjadi “Rotterdam di Timur” justru menjelma menjadi kuburan tropis.
Para pejabat VOC, yang datang dari Amsterdam, mati satu per satu. Jenazah mereka dibawa melalui jalan berlumpur menuju Gereja Portugis, diiringi dentang lonceng dan bau anyir. Kota Eropa di khatulistiwa ternyata tak cocok untuk kehidupan Eropa.
Namun, Batavia tidak berhenti; ia berevolusi dari kota mati menjadi laboratorium kolonialisme modern.
Ketika Napoleon menguasai Belanda, seorang jenderal keras dikirim ke Jawa: Herman Willem Daendels. Ia datang sebagai reformis otoriter, ingin menyelamatkan koloni dari kebusukan masa lalu VOC.
Daendels memandang Batavia lama sebagai lambang kematian, kota lembap yang sarat malaria dan bau busuk. Ia meruntuhkan tembok kota, mengeringkan kanal, dan memindahkan garnisun militer ke daerah yang lebih tinggi di selatan. Di kawasan baru itu berdirilah kota Weltevreden, yang berarti “sangat puas” – sebuah metafora kolonial penuh ironi, sebab kota itu tumbuh di atas penderitaan baru yang diciptakan oleh ambisi dan kekuasaan.
Weltevreden bukan lagi kota Belanda, melainkan prototipe tropis Eropa di Asia. Jalan-jalan lurus membentang dari Koningsplein (kini Lapangan Merdeka) hingga Meester Cornelis (Jatinegara). Di kanan-kiri, berdiri rumah-rumah putih berarsitektur Yunani dengan atap merah dan tiang kolom besar. Pohon palem berjajar, memberi naungan bagi kereta kuda dan tuan-tuan kulit putih.
Kota ini menjadi cermin cita-cita kolonial modern, dirancang tampak higienis, indah, dan teratur. Namun di balik taman rapi dan kolam tenang, tersembunyi politik ruang yang dalam. Weltevreden dibangun untuk menciptakan pemisahan tegas antara dua dunia: dunia Eropa yang dianggap terang, beradab, dan tertib, dengan dunia pribumi yang digambarkan gelap, liar, dan perlu dikendalikan.
Batavia lama, dengan kanal dan lumpurnya, diserahkan kepada orang Tionghoa, Arab, dan pribumi. Di sana mereka hidup padat, berdagang, dan mandi di sungai yang sama tempat mereka mencuci pakaian. Sementara itu, di Weltevreden, musik waltz dimainkan di beranda rumah-rumah besar, diiringi lampu minyak berkilau.
Antropologi kolonial menyebut pola ini sebagai “zoning moral” – pemisahan ruang berdasarkan jarak fisik dan nilai simbolik: bersih dan kotor, rasional dan emosional, beradab dan primitif. Batavia menjelma menjadi peta hierarki sosial, kota yang disusun bukan hanya dari batu bata dan kanal, tetapi juga dari pohon palem rapi dan pagar besi yang menandai batas kekuasaan dan keterasingan.
Si Jagur, Air, dan Keindahan yang Mahal
Tepat di gerbang kota tua, di antara lumpur dan sisa tembok, berdiri meriam perunggu besar bernama Si Jagur. Setengah tertimbun tanah, benda ini menjadi titik pertemuan mitologi lokal dan simbol kekuasaan kolonial.
Konon, Si Jagur dibawa dari Makassar setelah perang. Rakyat percaya ia memiliki kekuatan gaib: pemberi keturunan, bahkan pertanda jatuhnya Belanda. Setiap hari, perempuan pribumi datang membawa bunga dan dupa, menempelkan tangan pada ujung meriam, berdoa dalam bisikan halus di antara keramaian pasar.
Bagi para antropolog, Si Jagur bukan sekadar benda, melainkan simbol perlawanan yang diam. Dalam dunia yang sepenuhnya dikendalikan hukum kolonial, tubuh perunggu itu menjadi medium spiritual bagi rakyat kecil untuk tetap menyampaikan suara mereka, tanpa kata dan tanpa bahasa.
Sementara itu, kehidupan terus berdenyut. Orang-orang Jawa mandi pagi dan sore di kanal-kanal Weltevreden, di tangga-tangga batu yang turun ke air. Anak-anak tertawa, perempuan mencuci, dan suara percikan air bercampur dengan azan dari kejauhan.
Di saat yang sama, para meneer Belanda mandi di kamar marmer berair panas, beraroma sabun dari Rotterdam. Batavia menjadi panggung kontras: air yang sama, tapi dunia yang berbeda.
Menelusuri jalan besar menuju Dataran Raja (kini Lapangan Banteng), kita akan melihat lanskap yang Carpenter sebut sebagai salah satu kota terindah di dunia. Rumah-rumah besar berdiri di tengah taman tropis yang dipenuhi anggrek dan bunga langka, seolah setiap rumah adalah museum botani hidup.
Di beranda, orang Belanda membaca koran Java-Bode, menikmati teh dari poci porselen, sementara pelayan pribumi bergerak sunyi membawa kipas dan minuman. Di dalam rumah, lantai marmer berkilau, dinding dihiasi lukisan Eropa, dan piano berdiri di ruang tamu. Semua tampak makmur, damai, dan sangat “modern”.
Namun, di balik semua itu, ada dunia lain yang menopangnya: jutaan pekerja kebun dan kuli kontrak yang menanam gula, kopi, dan kina di pedalaman Jawa. Dari hasil kerja mereka, mengalirlah kekayaan yang menjadikan Batavia tampak seperti taman surgawi.
Sebuah laporan kolonial mencatat bahwa pada 1880-an, lebih dari tujuh puluh persen hasil bumi Hindia Belanda berasal dari Pulau Jawa. Dengan luas wilayah hanya sekitar tujuh persen dari seluruh kepulauan, Jawa menjelma menjadi mesin ekonomi yang menopang kejayaan Belanda. Pulau kecil di khatulistiwa yang Carpenter sebut “bintik kecil di wajah Eropa, tetapi raksasa di Pasifik Selatan”.
Maka benar, Batavia pernah disebut “Swiss di Pasifik”, kota yang indah, tertata, dan makmur. Namun semua keindahan itu bersifat artifisial, sebuah ilusi yang berdiri di atas kerja paksa, sistem tanam paksa, serta pemisahan sosial yang ketat antara penguasa dan yang dikuasai.
Bayangan di Kanal: Ironi “Swiss di Pasifik”
Menjelang senja, cahaya keemasan jatuh lembut di atas kanal-kanal Batavia. Permukaan air memantulkan langit jingga, sementara suara roda delman terdengar perlahan. Di kejauhan, lonceng gereja Belanda berdentang, mungkin sebagai tanda misa sore. Di bawahnya, di pasar kecil yang ramai, para perempuan pribumi masih menjual bunga dan dupa untuk Si Jagur.
Waktu seolah berhenti. Batavia berdiri di antara dua dunia: yang satu memuja keteraturan dan kemajuan, yang lain hidup dari ritual dan keyakinan lama.
Kini, lebih dari satu abad kemudian, kota itu telah menjelma menjadi Jakarta, sebuah megapolitan yang menelan kanal-kanalnya sendiri, menggantikan taman rindang dengan gedung-gedung kaca, dan menyembunyikan sejarahnya di balik debu lalu lintas.
Namun jika kita berjalan menyusuri kawasan Kota Tua atau Menteng pada malam yang tenang, jejak masa lalu itu masih dapat dirasakan melalui aroma lumpur sungai, wangi bunga kamboja, dan suara jangkrik dari kebun-kebun tua.
Historiografi kritis menunjukkan bahwa setiap bentuk keindahan kolonial selalu menyimpan lapisan kekerasan di baliknya. Namun dalam jejak Batavia, kita juga menemukan rasa manusiawi yang penuh ambiguitas, sebuah percampuran antara kasih dan kuasa, antara ketertarikan pada tanah tropis dan ketakutan terhadap dunia tropis itu sendiri.
Mungkin karena itulah Carpenter menyebutnya “Swiss di Pasifik”. Ia melihat taman yang rapi, gunung yang megah, dan kanal yang tenang, tetapi tidak menyaksikan darah, jerih payah, serta takhayul yang sesungguhnya membentuk keindahan itu.
Kita, pada hari ini, dapat melihat keduanya dengan lebih jernih, bahwa Batavia sesungguhnya adalah sebuah paradoks: keindahan yang tumbuh dari luka dan luka yang justru dipelihara oleh keindahan itu sendiri.
Ketika kita berjalan di Kota Tua hari ini, menatap gedung-gedung tua berarsitektur Belanda, mungkin kita sedang menatap cermin masa lalu. Setiap batu bata di situ bukan hanya peninggalan arsitektur, tetapi juga memori kolonial yang hidup: bagaimana manusia pernah berusaha menaklukkan alam, dan akhirnya ditaklukkan olehnya.
Referensi:
Carpenter, Frank G. (Catatan Perjalanan tentang Jawa di Penghujung Abad ke-19). Catatan ini tersirat dalam narasi sebagai sumber utama kutipan “Swiss di Pasifik”.
Laporan Kolonial (tentang hasil bumi Hindia Belanda pada 1880-an).
- Sumber-sumber Sejarah Batavia/Jakarta (tentang pembangunan kota, VOC, JP Coen, Daendels, kondisi sosial, dll.). F. de Haan, H.J. de Graaf, E.M. Du Plessis, Leonard Blussé, Susan Blackburn, dan P.J. Worsley.