JATIMTIMES – Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil  DJP) Jatim III dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Malang mengundang sekitar 1.000 wajib pajak (WP) secara hybrid untuk mendapatkan sosialisasi dan berdialog mengenai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam sosialisasi itu, dijelaskan bahwa sejak 29 Oktober 2021, UU HPP telah berlaku seiring pemerintah menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tersebut merupakan tonggak penting bagi dunia perpajakan Indonesia. 

 

UU HPP memadukan prinsip gotong royong, kesetaraan, fairness, kebutuhan jangka pendek, pentingnya visi jangka panjang, komitmen pada kebaikan bersama, kemudahan dan kesederhanaan. Atas hal tersebut, UU HPP ini bercorak omnibus, yakni mengubah sekaligus beberapa undang-undang bidang perpajakan dan menyapu isu yang, mulai dari urusan administrasi, perbaikan tata kelola, penguatan otoritas, penyesuaian substansi mengikuti dinamika model bisnis hingga upaya merawat lingkungan yang lestari.

UU HPP merupakan upaya dari Kementerian Keuangan untuk merelaksasi pajak. Jadi, para wajib pajak yang belum melapor diharapkan secara sukarela untuk mengungkapkan dan melaporkan pajaknya.  Hal ini tentunya agar para WP di kemudian hari tidak semakin berat dengan konsekuensi sanksi.

Baca Juga  Sempat Kuasai Pasar Elektronik Dunia, Toshiba Bangkrut

Kepala Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III Agustin Vita Avantin menjelaskan,  wajib pajak yang tak memanfaatkan kesempatan ini tentunya akan sangat rugi. Sebab, para WP akan dikenakan sanksi harus membayar pajak yang menjadi kewajibannya dengan menggunakan tarif normal, ditambah sanksi sebesar 200 persen. 

Kesempatan relaksasi ini juga tak bakal diberikan selamanya.  Tenggang waktu relaksasi pelaporan bergulir selama enam bulan, mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022.

“Setelah tax amnesty, ini yang kedua. Untuk yang ketiga, kami pastikan tidak ada. Sehingga kalau tidak dimanfaatkan nanti, sangat berat,” ucapnya.

Selama masa relaksasi enam bulan lamanya, Kantor Pajak bakal menunggu para WP untuk melaporkan. Pencocokan data dan klarifikasi tentunya juga dilakukan. Jika dalam proses tersebut dan selesainya masa relaksasi terdapat temuan janggal atau WP membandel, maka mau tak mau sanksi bakal diterima WP.

Lebih lanjut dijelaskan, UU HPP memiliki roh dan jiwa yang merupakan pengejawantahan dari peneguhan prinsip perpajakan. Yakni yang mampu membayar lebih tinggi dan sebaliknya yang tidak mampu akan dibantu. 

Baca Juga  Buka Bootcamp Wastra Mataraman, Bunda Fey : Kita Ingin Lahir Banyak Desainer dari Kota Kediri

 

Dalam hal pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi (WP OP), UU HPP ini masih mempertahankan keberadaan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebagai salah satu pengurang untuk menetapkan besarnya  PPh  WP  OP  yang  terutang.  PTKP  yang  ditetapkan  sebesar  Rp  4,5  juta  sebulan atau Rp 54 juta setahun. Hal ini tercantum dalam Pasal 7 UU HPP.

Adanya UU HPP juga menguntungkan bagi para UMKM yang memiliki omzet di bawah atau sama dengan Rp 500 juta setahun. Sebab, mereka tidak dikenakan pajak. 

Hal ini tentunya menjadi kabar menggembirakan bagi para UMKM. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, yaitu terdapat keberpihakan pemerintah dalam hal ini terkait dengan keberadaan undang-undang perpajakan yang baru ini, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (2a) UU HPP.

“UMKM dengan peredaran bruto Rp 500 juta per tahun tidak kena pajak. Kalaupun peredarannya di atas Rp 500 juta, pajaknya hanya sekitar 0,5 persen dari omzet yang ada,” pungkas Agustin.



Anggara Sudiongko