INDONESIAONLINE– Makanan seperti yogurt, susu dan lainnya yang berwarna merah menggunakan pewarna dari karmim hukumnya haram. Keputusan haram tersebut disampaikan Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jatim karena mengandung pewarna makanan berbahan karmin yang berasal dari bangkai serangga.

Hingga Rabu (27/9/2023) sore, kata kunci “pewarna karmin haram” masih menjadi trending di mesin pencarian Google.

Menanggapi hal tersebut, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menyatakan pewarna alami karmin hukumnya halal. Putusan halal tersebut didasarkan pada Keputusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011.

Seperti dilansir dari laman resmi MUI, pihaknya pun mengonfirmasi kebenaran bahwa karmin merupakan pewarna alami yang berasal dari serangga Cochineal dan banyak menempel di tanaman kaktus.

Putusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 menjelaskan pewarna alami yang berasal dari Cochineal dinyatakan halal selama bermanfaat dan tidak membahayakan.

Walau demikian, masyarakat tetap diminta berhati-hati dalam memilih atau menggunakan karmin dalam produk keseharian. Pasalnya, penggunaan pewarna karmin biasanya membutuhkan bahan tambahan untuk melarutkan, melapis, hingga mengemulsi.

Baca Juga  Dua Hari Besok Kota Batu Bakal Diguyur Hujan, Yuk Waspada

Umumnya bahan tambahan untuk melarutkan, melapisi, ataupun mengemulsi tersebut menggunakan etanol, triacetin atau gliserin. Jadi dengan bantuan bahan tambahan tersebut warna yang dihasilkan karmin bisa semakin cerah, tidak mudah pudar, dan stabil.

MUI pun menegaskan bahan-bahan tambahan karmin tersebutlah yang harus dipastikan berasal dari hewan halal yang diproses secara halal.

Sebagaimana diberitakan, Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur mengungkapkan bahwa makanan yang mengandung karmin seperti yogurt berwarna merah hukumnya haram dan najis. Keputusan ini didasarkan pada kandungan pewarna makanan berbahan karmin yang diperoleh dari bangkai serangga.

Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, KH Romadlon Chotib menjelaskan jika pewarna karmin sering kali diidentifikasi dalam makanan atau produk make-up dengan kode E-120. Oleh karena itu, dia menyarankan agar umat islam menghindari produk-produk yang mengandung kode ini.

“Dalam bahtsul masail, kami telah memutuskan bahwa penggunaan karmin ini diharamkan menurut Imam Syafi’i, dan kami adalah penganut madzhab Syafi’iyah,” ujar Chotib, dilansir dari laman resmi NU Online, Rabu (27/9/2023).

Baca Juga  KIN RI Jember Temukan Dugaan Penyimpangan Dana Desa di Desa Klatakan

Selama ini, ulama-ulama telah berupaya untuk menghindari penggunaan karmin. Pasalnya menjauhi hal yang haram adalah bagian dari upaya mencari berkah dalam hidup. Keberkahan ini mengacu pada pemahaman bahwa kehidupan yang penuh dengan perilaku yang halal akan membawa ketenangan dan kedamaian.

Lantas pada bahtsul masail yang dirilis pada Selasa (26/9/2023) diputuskan bahwa bangkai serangga (hasyarat) dilarang dikonsumsi, karena dianggap najis dan menjijikkan. Kecuali menurut sebagian pendapat dalam madzhab Maliki.

Di sisi lain, penggunaan karmin dalam konsumsi selain makanan, seperti dalam lipstik hukumnya juga haram. Pendapat tersebut didasarkan pada mayoritas pendapat dalam madzhab Syafi’i, karena dinilai najis.

Namun, menurut Imam Qoffal, Imam Malik, dan Imam Abi Hanifah, karmin dianggap suci. Sehingga penggunaannya diizinkan karena serangga yang digunakan untuk menghasilkan karmin tidak memiliki darah yang dapat membusuk. (bin/hel)