Benoa dalam Bayang Kelam: Ketika Lencana dan Janji Palsu Bersekutu dalam TPPO

Benoa dalam Bayang Kelam: Ketika Lencana dan Janji Palsu Bersekutu dalam TPPO
Ilustrasi (ai/io)

Skandal gelap menyelimuti Pelabuhan Benoa, Bali. Seorang oknum Polairud diduga bekengi perdagangan orang yang menimpa 21 calon Awak Kapal Perikanan. Temukan detail miris kasus TPPO Bali ini dan jerat hukum yang menanti para pelaku, termasuk dugaan keterlibatan aparat dalam sindikat perdagangan orang.

INDONESIAONLINE – Pulau Dewata, di mana mentari tak henti mencium ombak, menyimpan bisik gelap di Pelabuhan Benoa. Bukan tentang tarian atau sesaji, melainkan kisah 21 jiwa yang terperangkap dalam jerat paling keji: perdagangan orang, yang ironisnya, diduga dibekingi oleh lencana penegak hukum. Sebuah narasi pahit yang merobek citra surga, menyingkap borok eksploitasi di balik gemerlap pariwisata Bali.

Anggota Kepolisian Air dan Udara (Polairud) berinisial IPS, kini terseret dalam pusaran tudingan serius. Ia disebut-sebut sebagai bagian dari sindikat gelap yang mengeksploitasi calon Awak Kapal Perikanan (APK) KM AWINDO 2A, sebuah skandal yang mengoyak kepercayaan publik.

Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (Tangkap), melalui kuasa hukum Siti Wahyatun, menyebut ada tujuh orang yang bersekongkol dalam kasus TPPO Bali ini, termasuk oknum aparat tersebut.

Dari Samudra Harapan ke Neraka Terapung

Mereka, para korban berusia 18 hingga 47 tahun, datang dari penjuru negeri—Depok, Lampung, Surabaya, Pandeglang, hingga Brebes, Madiun, dan Cilacap. Tergiur iming-iming gaji fantastis Rp 3-3,5 juta per bulan, kasbon Rp 5-6 juta, serta fasilitas mewah yang dijajakan calo via media sosial Facebook pada awal Agustus 2025. Sebuah “surga” di atas kertas yang berujung “neraka” di lautan.

Setibanya di Bali, janji-janji itu menguap bak embun di teriknya matahari. Gaji yang dijanjikan, hanya fatamorgana Rp 1.050.000 per bulan untuk bekerja di kapal cumi KM Awindo 2A.

Lebih parah lagi, mereka disekap sejak 8 hingga 15 Agustus 2025, dipaksa bekerja tanpa fasilitas pelindung apa pun, tanpa akses ke darat. Bahkan, dibebankan utang sebesar Rp 2,5 juta oleh calo apabila berniat mengundurkan diri.

Kisah penderitaan mereka tak berhenti di sana. Konsumsi yang tak layak hanya dua kali sehari berupa nasi dan mi instan campur sayur.

Air minum? Sebuah ironi yang menyesakkan: dari palka kapal, tempat penyimpanan ikan yang amis, bahkan tercampur solar dan pasir.

“Bahkan, minumannya mereka harus minum air mentah,” ungkap Siti Wahyatun miris di Kantor YLBHI Bali, Senin (8/9/2025), menggarisbawahi kondisi mengerikan tersebut.

Salah satu korban bahkan harus memohon-mohon untuk mendapatkan pengobatan ke darat, mengingat posisi kapal yang jauh dari daratan.

Lencana yang Tergadaikan dan Jerat Hukum

Dalam guliran drama kelam ini, sosok IPS, anggota Polairud, menjadi sorotan utama. Siti Wahyatun mengungkapkan, anggota Polairud itu diduga memaksa para korban menandatangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) tanpa diberi kesempatan untuk membacanya.

Sebuah tindakan yang, jika terbukti, merobek kepercayaan publik pada institusi yang seharusnya menjaga dan melindungi, bukan membekingi kejahatan transnasional seperti perdagangan orang.

Titik terang muncul pada 15 Agustus 2025, ketika aparat Polda Bali melakukan pengecekan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada KM AWINDO 2A di perairan Pelabuhan Benoa. Dari situlah, indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terkuak.

Polisi lalu berkoordinasi cepat dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk memberikan bantuan hukum kepada para korban.

Laporan resmi bernomor STTLP/591/VIII/2025/SPKT/POLDA BALI telah dilayangkan pada 23 Agustus 2025. Tujuh terduga pelaku disebutkan: tiga calo/agen (TS, R, A), tiga dari PT Awindo Internasional (R, I, J), dan oknum Polairud berinisial IPS.

Penyelidikan Berjalan, Keadilan Dinanti

Kombes Ariasandy, Kepala Bidang Humas Polda Bali, membenarkan adanya laporan terhadap IPS, meski saat ini statusnya masih saksi.

“Sementara masih berproses (sidik), inisial IPS, status saksi. Nanti kalau sudah ada penetapan tersangka kita infokan,” ujarnya, menegaskan komitmen penyelidikan.

Para korban, setelah diselamatkan, kini tengah menjalani perawatan psikologis, menyembuhkan luka batin akibat trauma mendalam yang mereka alami.

Para terduga pelaku dijerat dengan pasal berlapis, mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal 10, Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Selain itu, mereka juga dijerat Pasal 333 ayat (1) KUHP (perampasan kemerdekaan), Pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan), Pasal 368 ayat (1) KUHP (pemerasan), dan Pasal 378 KUHP (penipuan). Hukuman yang menanti, diharapkan setimpal dengan penderitaan yang mereka timbulkan.

Kasus ini menjadi cerminan buram di tengah gemerlap pariwisata Bali, pengingat bahwa kejahatan kemanusiaan tak mengenal batas geografis, apalagi lencana kehormatan. Sebuah seruan agar mata publik tak abai, menuntut keadilan bagi mereka yang terperosok dalam jurang eksploitasi kerja, dan memastikan bahwa tak ada lagi bayang kelam yang merenggut harapan di negeri yang menjunjung tinggi hukum.