Ratusan mantan pejabat keamanan Israel, termasuk eks kepala Mossad dan Shin Bet, mendesak Donald Trump menekan Netanyahu untuk mengakhiri perang Gaza. Mereka menilai Hamas telah lumpuh dan perang kini kehilangan legitimasi moral serta mengancam Israel.
INDONESIAONLINE – Di tengah kebuntuan politik dan krisis kemanusiaan yang telah berlangsung selama 23 bulan di Gaza, sebuah langkah seismik terjadi di jantung elite keamanan Israel. Bukan melalui saluran diplomatik resmi, melainkan lewat surat terbuka yang ditujukan kepada sosok paling tak terduga: Donald Trump.
Lebih dari 550 mantan jenderal, direktur intelijen, dan pejabat tinggi pertahanan—orang-orang yang mendedikasikan hidup mereka untuk melindungi Israel—kini secara terbuka meminta mantan Presiden AS itu melakukan apa yang gagal dilakukan dunia: menekan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk segera mengakhiri perang.
Surat yang dirilis pada Senin (4/8/2025) ini bukan sekadar permohonan, melainkan sebuah pengakuan pahit bahwa perang yang mereka dukung pada awalnya kini telah menjadi bumerang yang mengancam eksistensi Israel itu sendiri.
Ketika Jenderal Berpaling ke Trump
Mengapa Donald Trump? Para penandatangan surat, yang terdiri dari arsitek keamanan Israel modern, percaya bahwa hanya Trump yang memiliki pengaruh psikologis dan politis untuk “menembus gelembung” Netanyahu. Di mata sebagian besar publik Israel dan politisi sayap kanan, suara Trump memiliki bobot yang bahkan melampaui pemerintahan AS saat ini.
“Perang ini, yang awalnya merupakan perang defensif yang adil, telah kehilangan arah dan legitimasi moralnya,” tulis mereka.
“Kami mendesak Anda, Tuan Trump, untuk menggunakan pengaruh Anda yang luar biasa guna meyakinkan Perdana Menteri Netanyahu bahwa melanjutkan perang hanya akan membawa kehancuran lebih lanjut bagi Israel dan Palestina.”
Ini adalah sebuah pertaruhan tingkat tinggi. Para jenderal ini, yang biasanya beroperasi di balik bayang-bayang, kini melangkah ke panggung global, mengakui bahwa struktur politik internal Israel sudah terlalu beku untuk diubah dari dalam.
Hamas Diklaim Lumpuh, Perang Kehilangan Arah
Inti argumen mereka sederhana namun menusuk: misi militer telah selesai. Hamas, sebagai kekuatan militer dan pemerintahan terorganisir, tidak lagi menjadi ancaman strategis bagi Israel. Klaim ini diperkuat oleh pernyataan video dari Ami Ayalon, mantan Direktur Shin Bet (dinas keamanan internal Israel).
“Awalnya perang ini adalah perang yang adil, perang defensif. Tapi kini, setelah semua tujuan militer tercapai, perang ini bukan lagi perang yang adil,” tegas Ayalon dengan nada getir.
Menurutnya, satu-satunya tujuan yang tersisa—memulangkan sandera yang masih ditahan—tidak akan pernah bisa dicapai dengan laras senjata. “Itu hanya bisa terwujud melalui kesepakatan politik. Melanjutkan pemboman hanya akan membahayakan nyawa mereka dan semakin mengisolasi Israel di mata dunia,” tambahnya, merujuk pada video terbaru para sandera yang memicu kemarahan publik.
Dari Mossad hingga Shin Bet: Siapa Saja di Balik Surat Mengejutkan Ini?
Surat ini bukan sekadar petisi biasa. Bobotnya diperkuat oleh deretan nama yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung keamanan Israel. Di antara 550 tanda tangan tersebut, terdapat nama-nama legendaris. Yakni Tiga Mantan Kepala Mossad: Tamir Pardo, Efraim Halevy, dan Danny Yatom, Lima Mantan Direktur Shin Bet: Termasuk Ami Ayalon, Nadav Argaman, dan Yaakov Peri dan Tiga Mantan Kepala Staf Militer: Termasuk mantan Perdana Menteri Ehud Barak, mantan Menteri Pertahanan Moshe Yaalon, dan Dan Halutz.
Kehadiran mereka menandakan perpecahan mendalam antara elite pertahanan dan kepemimpinan politik Netanyahu. Ini adalah sinyal bahwa para ahli strategi menilai perang ini tidak lagi menguntungkan secara militer, melainkan telah menjadi alat politik domestik yang merusak.
Para mantan pejabat ini tidak hanya menyerukan penghentian perang. Mereka juga menawarkan cetak biru untuk “hari setelahnya”. Usulan mereka adalah agar Donald Trump memimpin koalisi internasional dan regional untuk mendukung Otoritas Palestina (PA) yang telah direformasi untuk mengambil alih kendali administratif di Jalur Gaza.
Ini adalah sebuah alternatif konkret untuk menggantikan kekosongan kekuasaan pasca-Hamas, sebuah isu yang selama ini dihindari oleh pemerintahan Netanyahu. Dengan menyerahkan Gaza kepada PA, mereka berharap dapat membuka jalan menuju solusi politik jangka panjang dan mengakhiri siklus kekerasan.
Bola panas kini berada di tangan Donald Trump. Akankah ia menyambut “misi mustahil” yang disodorkan oleh para jenderal Israel ini? Responsnya tidak hanya akan menentukan nasib perang Gaza, tetapi juga dapat membentuk kembali lanskap kekuasaan di Timur Tengah dan perannya sendiri di panggung dunia (ina/dnv).