Burhanuddin Abdullah, mantan terpidana korupsi Rp100 miliar, menerima Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Prabowo Subianto. Artikel ini mengupas ironi, kontroversi, dan analisis politik di balik penghargaan yang membelah opini publik, dilengkapi pandangan dari pengamat dan pegiat antikorupsi.
INDONESIAONLINE – Istana Negara pada Senin, 25 Agustus 2025, menjadi saksi bisu sebuah peristiwa penuh paradoks. Di satu sisi, ada kilau medali Bintang Mahaputra Adipradana yang disematkan oleh Presiden Prabowo Subianto di dada Burhanuddin Abdullah. Di sisi lain, ada bayang-bayang kelam vonis lima tahun penjara atas kasus korupsi Rp100 miliar yang pernah menjeratnya.
Penganugerahan tanda kehormatan kelas dua ini menempatkan nama Burhanuddin, ekonom senior yang kini menjabat Komisaris Utama PLN, kembali di panggung sorotan nasional. Pemerintah memujinya sebagai pahlawan penjaga stabilitas moneter. Namun, publik tak bisa lupa bahwa sang pahlawan pernah divonis bersalah merugikan negara. Penghargaan ini pun membuka kembali perdebatan fundamental: di mana batas antara jasa dan noda seorang tokoh bagi bangsa?
Jasa di Bidang Moneter vs. Noda Korupsi
Dalam narasi resmi yang dibacakan di Istana, jasa Burhanuddin Abdullah tak terbantahkan. Ia dinilai “berkontribusi luar biasa dalam menjaga stabilitas moneter serta memperkuat sistem perbankan nasional dan internasional.”
Ia juga disebut sebagai arsitek kebijakan strategis di tengah gejolak ekonomi global saat menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2003–2008.
Namun, narasi ini terasa timpang jika disandingkan dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 29 Oktober 2008. Majelis hakim menyatakan Burhanuddin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Ia terbukti menyetujui pencairan dana Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) sebesar Rp100 miliar. Menurut fakta persidangan, dana tersebut mengalir untuk berbagai kepentingan, termasuk bantuan hukum bagi pejabat BI yang tersangkut kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan “uang lobi” untuk proses amendemen Undang-Undang BI di DPR.
“Terdakwa (Burhanuddin) memang sempat ragu, namun pada akhirnya menyetujui usulan tersebut setelah mendengar pendapat anggota dewan gubernur lainnya,” ujar hakim saat itu.
Vonisnya jelas: lima tahun penjara dan denda Rp250 juta.
Suara Kritis dari Pegiat Antikorupsi
Penganugerahan ini sontak memicu reaksi keras dari kalangan masyarakat sipil. Kurnia Ramadhan, peneliti senior dari Indonesia Corruption Watch (ICW), menyayangkan keputusan pemerintah. Menurutnya, penghargaan ini mencederai semangat pemberantasan korupsi.
“Ini adalah pesan yang sangat keliru bagi publik,” tegas Kurnia saat dihubungi pada Selasa (26/8/2025) lalu.
“Negara seolah mengatakan bahwa kejahatan korupsi bisa ‘ditebus’ dengan jasa di bidang lain. Ini berbahaya karena dapat menormalisasi korupsi di kalangan pejabat publik. Status mantan terpidana korupsi seharusnya menjadi catatan permanen yang menghalangi seseorang menerima kehormatan tertinggi dari negara,” paparnya.
Menurut data ICW, tren pemberian grasi, remisi, hingga jabatan strategis kepada mantan koruptor menunjukkan kemunduran komitmen antikorupsi.
“Penghargaan ini menambah daftar panjang preseden buruk tersebut,” tambahnya.
Analisis Politik: Penghargaan sebagai Balas Jasa?
Di sisi lain, pengamat politik melihat penganugerahan ini dari kacamata relasi kuasa. Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, menilai penghargaan ini tidak bisa dilepaskan dari jejak panjang kedekatan Burhanuddin Abdullah dengan Prabowo Subianto.
“Burhanuddin adalah figur loyal di lingkaran Prabowo. Ia menjabat Ketua Dewan Pakar saat Pilpres 2014 dan kembali memegang peran kunci sebagai Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran di 2024,” jelas Adi.
“Penunjukannya sebagai Komut PLN pada Juli 2024 dan kini Bintang Mahaputra bisa dibaca sebagai bentuk ‘balas jasa’ politik atas loyalitas dan kontribusinya dalam pemenangan,” terangnya.
Menurut Adi, dalam politik kekuasaan, rekam jejak masa lalu seringkali dikesampingkan demi kepentingan pragmatis dan konsolidasi tim inti.
“Pemerintah akan selalu berdalih pada kontribusi teknokratisnya. Namun, publik yang melek politik akan melihat ini sebagai bagian dari political reward,” simpulnya.
Jejak Panjang Sang Ekonom di Lingkaran Kuasa
Lahir di Garut, 10 Juli 1947, karier Burhanuddin Abdullah memang cemerlang. Lulusan Universitas Padjadjaran dan Michigan State University ini meniti karier dari bawah di Bank Indonesia hingga mencapai puncak sebagai Gubernur.
Jejak internasionalnya pun mentereng, salah satunya sebagai Gubernur untuk Indonesia di International Monetary Fund (IMF). Di luar BI, ia pernah menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid dan memimpin Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) selama dua periode.
Kombinasi antara keahlian ekonomi, jaringan luas, dan kedekatan politik inilah yang membuatnya menjadi aset berharga di lingkaran kekuasaan. Namun, kasus korupsi YLPPI tetap menjadi babak tergelap dalam biografinya.
Penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana ini pada akhirnya bukan sekadar seremoni. Ia adalah cermin bagaimana negara menimbang dosa dan jasa para abdi-Nya, sebuah keputusan yang akan terus diperdebatkan di ruang publik, di antara kilau medali dan gelapnya sel penjara (ina/dnv).