Bjorka Mengguncang Lagi: Data Polri Bocor

Bjorka Mengguncang Lagi: Data Polri Bocor
Heboh hacker diduga Bjorka ditangkap kepolisian, sang Bjorka ladeni dengan meretas data Polri (Ist)

Bjorka kembali menghebohkan dengan membocorkan data Polri di tengah penangkapan ‘faker’. Mengungkap kronologi, dugaan, dan dampak kebocoran data lama ini terhadap keamanan siber Indonesia.

INDONESIAONLINE – Dunia maya kembali digemparkan oleh kemunculan “Bjorka“, nama yang tak asing lagi dalam lanskap keamanan siber Indonesia. Di tengah euforia penangkapan seorang pemuda berinisial WFT (22) yang digadang-gadang sebagai sang peretas, Bjorka justru melancarkan serangan balasan yang menguak fakta mengejutkan: 341 ribu data pribadi personel Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diklaim telah dibocorkan dan disebar secara bebas.

Insiden ini tak hanya menjadi pukulan telak bagi institusi keamanan negara, namun juga memicu debat panas tentang kesiapan Indonesia menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks.

Kronologi Retas dan Penangkapan yang Dipertanyakan

Kisah ini bermula saat Polisi Siber Polda Metro Jaya mengumumkan penangkapan WFT di Minahasa, Sulawesi Utara, pada Minggu (5/10/2025). Pemuda berusia 22 tahun ini dituding sebagai sosok di balik akun X (Twitter) @bjorkanesiaaa dan mengaku telah menggunakan nama Bjorka sejak tahun 2020, bahkan disebut-sebut berniat memeras sebuah bank.

Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya AKBP Fian Yunus menyatakan, “Kami masih mendalami apakah dia benar sosok yang selama ini dikenal sebagai hacker Bjorka.”

Namun, klaim penangkapan ini langsung direspons dengan sindiran tajam dari sosok yang mengaku Bjorka. Tak lama setelah kabar penangkapan WFT viral, data 341 ribu personel Polri mendadak muncul dan bisa diakses publik melalui kanal pribadi Bjorka di internet.

Teguh Aprianto, pendiri Ethical Hacker Indonesia sekaligus konsultan keamanan siber terkemuka, menjadi salah satu pihak yang meragukan penangkapan WFT.

Melalui akun X pribadinya, Teguh menduga WFT hanyalah “faker” atau peniru. “Padahal yang ditangkap itu cuma faker alias peniru,” tulis Teguh. Ia menambahkan bahwa kebocoran data Polri merupakan respons langsung dari Bjorka atas penangkapan tersebut.

Kedalaman Data dan Usia Informasi yang Dipertanyakan

Data yang dirilis Bjorka memang mengkhawatirkan. Menurut Teguh, informasi tersebut meliputi nama lengkap, pangkat, satuan tugas, lokasi penugasan, nomor ponsel, hingga alamat email pribadi anggota Polri. Detail yang begitu spesifik ini tentu saja memicu kekhawatiran serius akan potensi penyalahgunaan data.

Namun, di balik kegaduhan ini, ada detail penting yang sering luput dari perhatian: usia data. Teguh Aprianto juga mengungkapkan bahwa data yang dibocorkan Bjorka bukanlah data terbaru.

“Informasi yang dibocorkan merupakan data lama sekitar tahun 2016, yang sebagian besar bahkan berisi nama-nama personel yang kini telah purnawirawan,” jelas Teguh.

Fakta ini memang sedikit meredakan kekhawatiran akan dampak langsung, namun tidak menghilangkan persoalan inti. Mengapa data lama, bahkan milik purnawirawan, masih bisa diakses dan dibocorkan? Ini menunjukkan adanya celah keamanan yang persisten dan potensi manajemen data yang kurang optimal dalam institusi negara.

Reaksi Publik dan Kritik Tajam

Insiden ini sontak memicu beragam reaksi dari warganet. Banyak yang melontarkan kritik pedas terhadap sistem keamanan digital Polri dan pemerintah Indonesia secara keseluruhan.

“Gegayaan nangkep hacker ternyata yg ditangkep heker, mau meredam isu MBG bermasalah malah meledak lebih gede,” tulis akun @gb_*****, menyiratkan kekecewaan atas penanganan kasus.

Kekhawatiran akan penyalahgunaan data juga mencuat. “Gawat, ada no HP (data yang bocor), semoga gak ada yang ngepinjolin,” ujar @Cahyo******, menyoroti potensi penipuan dan kejahatan siber lainnya.

Bahkan, ada yang terang-terangan mempertanyakan kompetensi aparat siber negara. “Ya aku sih bakal malu ya jadi polisi kalo ternyata keamanan pemerintah bisa dibobol sama orang pengangguran yang gak lulus sekolah, rendah banget berarti keahlian mereka,” kritik @far****.

Jejak Bjorka: Sejarah Peretasan Data Sensitif

Nama Bjorka bukan kali pertama menghebohkan. Sejak tahun 2022, sosok ini telah beberapa kali membocorkan data sensitif milik pemerintah dan perusahaan besar di Indonesia. Daftar panjang target peretasan Bjorka mencakup:

  • Data 1,3 miliar kartu SIM: Salah satu insiden terbesar yang menargetkan data registrasi kartu SIM nasional.

  • Data pengguna IndiHome: Peretasan terhadap salah satu penyedia layanan internet terbesar di Indonesia.

  • Data Komisi Pemilihan Umum (KPU): Mengancam integritas data pemilu.

  • Dokumen transaksi lembaga negara: Membuka potensi informasi rahasia pemerintah.

Serangkaian insiden ini menunjukkan pola Bjorka yang secara konsisten menargetkan institusi vital dan data sensitif, seolah ingin menunjukkan kelemahan sistem keamanan siber nasional.

Implikasi dan Tantangan ke Depan

Kebocoran data personel Polri, meskipun berisi data lama, tetap menjadi alarm keras bagi pemerintah Indonesia. Insiden ini mempertegas bahwa ancaman siber adalah realitas yang terus berkembang dan membutuhkan respons yang komprehensif, bukan hanya reaksioner.

Beberapa implikasi dan tantangan yang muncul dari kasus ini antara lain:

  1. Validasi Penangkapan: Perlunya transparansi dan bukti kuat terkait penangkapan WFT. Jika WFT memang bukan Bjorka asli, ini menunjukkan kerentanan dalam penyelidikan dan potensi misinformasi publik.

  2. Manajemen Data Internal: Kebocoran data lama menyoroti pentingnya sistem manajemen data yang lebih baik di institusi negara. Data yang tidak lagi relevan atau milik purnawirawan seharusnya diarsipkan dengan aman atau dihapus sesuai prosedur yang ketat.

  3. Peningkatan Keamanan Siber: Insiden berulang menuntut investasi lebih besar dalam infrastruktur dan sumber daya keamanan siber. Ini termasuk pelatihan personel, pembaruan sistem, dan kolaborasi dengan pakar keamanan eksternal.

  4. Literasi Digital Masyarakat: Edukasi publik tentang ancaman siber dan cara melindungi data pribadi menjadi krusial, mengingat data yang bocor bisa disalahgunakan dalam berbagai modus kejahatan.

  5. Peran Kritik Siber: Bjorka, terlepas dari metodenya, secara tidak langsung telah menjadi pengingat kritis akan kelemahan sistem keamanan siber pemerintah. Bagaimana pemerintah menyikapi kritik ini—apakah dengan memperbaiki diri atau bersikap defensif—akan menentukan arah keamanan siber Indonesia ke depan.

Saga Bjorka ini bukan sekadar cerita tentang peretasan dan penangkapan. Ini adalah cermin dari kompleksitas ancaman siber, urgensi perlindungan data, dan tantangan serius yang dihadapi Indonesia dalam membangun pertahanan digital yang kokoh.

Pemeriksaan menyeluruh dan langkah-langkah konkret harus segera diambil untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan keamanan data warga negara.