INDONESIAONLINE – Ibadah kurban merupakan bentuk ungkapan syukur dan ketaatan kita kepada Allah SWT. Ibadah kurban juga salah satu ibadah yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh orang lain.
Jelang Hari Raya Kurban, banyak yang bertanya bagaimana hukum orang kaya mendapat daging kurban.
Ternyata, memang ada perbedaan hak penerimaan antara kurban yang diterima orang kaya dan orang miskin. Lantas bagaimana hukum orang kaya menerima daging kurban?
Dilansir dari laman NU Online, ulama Syafi’iyyah menegaskan bahwa kurban yang diterima oleh orang miskin berstatus tamlik (memberi hak kepemilikan secara penuh).
Kurban yang diterima orang miskin menjadi hak miliknya secara utuh, sehingga diperbolehkan mengalokasikan kurban yang diterimanya secara bebas. Misalnya menjual, menghibahkan, menyedekahkan, memakan, atau menyuguhkan kepada tamu.
Sementara, kurban yang diterima orang kaya tidak menjadi hak miliknya secara utuh. Sehingga orang kaya hanya diperbolehkan menerima kurban untuk alokasi yang bersifat konsumtif, tidak diperkenankan mengalokasikannya untuk hal yang bersifat memindahkan kepemilikan secara penuh dan bebas.
Karena itu, orang kaya hanya diperkenankan memakan dan memberikan kepada orang lain untuk dimakan saja, seperti disuguhkan atau disedekahkan kepada tamu. Tidak diperbolehkan bagi orang kaya untuk menjual, menghibahkan, mewasiatkan, atau alokasi serupa yang memberikan hak penuh kepada pihak yang diberi.
Sementara itu, Buya Yahya dalam ceramahnya mengatakan, daging kurban bukan hanya untuk fakir miskin. Artinya, orang kaya pun berhak menerimanya karena sifat dari kurban itu sendiri adalah bersenang-senang di hari raya.
“Kurban bukan untuk fakir miskin. Mulai kapan kurban untuk fakir miskin?” kata Buya Yahya, dikutip dari YouTube Al Bahjah, Kamis (6/6/2024).
Lebih lanjut, Buya Yahya mengatakan pendistribusian daging kurban kepada fakir miskin menjadi prioritas. Pasalnya, fakir miskin adalah orang yang jarang mendapatkan daging, berbeda dengan orang kaya yang bisa kapan saja membelinya.
“Kurban untuk bersenang senang di hari itu, fakir dan miskin. Cuma orang miskin adalah prioritas karena jarang mendapatkan daging. Kalau orang kaya bisa beli setiap saat. Makanya bukan hanya fakir miskin,” timpal Buya Yahya.
Buya Yahya kemudian memberikan contoh, apabila orang kaya berkurban lima sapi, empat sapi disalurkan ke masjid, lalu satu sapi disembelih untuk dikonsumsi bersama keluarga. Ini juga sah-sah saja selagi itu bukan kurban nazar.
Intinya, dari kurban tersebut, harus ada pembagian kepada fakir miskin berapa pun persennya. “Misalnya ada keluarga kurban lima sapi, empat dikirim ke masjid lalu satu lagi disembelih di rumah untuk dinikmati bersama keluarga. Sah. Hanya, fakir miskin harus ada berapa pun persennya. Yang penting fakir miskin harus dapat bagian karena mereka itu rata-rata susah mendapat daging di hari biasa. Mereka biasa menunggu adanya daging di hari raya kurban,” pungkas Buya Yahya.
Cara Pembagian Daging Kurban sesuai Syariat
Berikut ini 7 cara pembagian daging kurban sesuai syariat beserta dalilnya.
1. Orang yang Berkurban Boleh Makan Sepertiga Bagian Daging
Orang yang berkurban sunnah berhak memakan sampai sepertiga bagian dari daging hewan yang dia kurbankan.
2. Hukum Makan Daging Kurbannya
Orang yang berkurban wajib atau karena nazar, dia dilarang makan daging kurbannya sedikitpun. Kondisi sesuai dengan keterangan yang dikutip dari nu.or.id berikut ini:
ـ (ولا يأكل المضحي شيئا من الأضحية المنذورة) بل يتصدق وجوبا بجميع أجزائها (ويأكل) أي يستحب للمضحي أن يأكل (من الأضحية المتطوع بها) ثلثا فأقل
Artinya: “(Orang yang berkurban tidak boleh makan sedikit pun dari ibadah kurban yang dinazarkan [wajib]) tetapi dia wajib menyedekahkan seluruh bagian hewan kurbannya. (Ia memakan) maksudnya orang yang berkurban (sunnah) dianjurkan memakan (daging kurban) sepertiga bahkan lebih sedikit dari itu,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 207).
Sementara kurban Idul Adha dilakukan atas dasar hukum sunnah. Artinya ia berkurban bukan karena sesuatu yang wajib seperti nadzar. Hukum yang berlaku pada kondisi ini yakni boleh (mubah).
Dengan kata lain, orang yang berkurban karena alasan sunnah diperbolehkan memakan daging kurbannya. Bahkan dalam hal ini, orang yang berkurban dianjurkan untuk memakan sebagian daging kurbannya.
Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW sendiri. Disebutkan, bahwa pada pelaksanaan Idul Fitri, Rasulullah tidak keluar rumah sebelum makan sesuatu. Namun ketika Idul Adha, Nabi tidak makan apa-apa hingga Ia kembali ke rumahnya. Saat kembali, Nabi memakan daging hewan kurbannya.
3. Dibagikan dalam Bentuk Daging Segar
Cara pembagian daging kurban adalah dalam bentuk daging segar. Cara ini berbeda dibandingkan ibadah aqiqah yang sudah memasaknya terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan keterangan berikut:
ويطعم) وجوبا من أضحية التطوع (الفقراء والمساكين) على سبيل التصدق بلحمها نيئا فلا يكفي جعله طعاما مطبوخا ودعاء الفقراء إليه ليأكلوه والأفضل التصدق بجميعها إلا لقمة أو لقمتين أو لقما
Artinya: “Orang yang berkurban wajib (memberi makan) dari sebagian hewan kurban sunnah (kepada orang fakir dan miskin) dengan jalan penyedekahan dagingnya yang masih segar. Menjadikan dagingnya sebagai makanan yang dimasak dan mengundang orang-orang fakir agar mereka menyantapnya tidak memadai sebagai ibadah kurban. Yang utama adalah menyedekahkan semua daging kurban kecuali sesuap, dua suap, atau beberapa suap,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 208).
4. Panitia Memasak Sebagian Daging Kurban
Apakah diperbolehkan ketika panitia memasak sebagian daging kurban untuk dimakan bersama-sama? Dilansir dari bengkaliskab.go.id, hal ini tidak diperbolehkan jika dilakukan sebagai pemberian upah. Sebab panitia dilarang menerima upah, sesuai hadits Nabi:
“Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi penyembelihan unta kurbannya dan juga membagikan semua kulit bagian tubuh dan kulit punggungnya. Dan aku tidak diperbolehkan untuk memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Akan tetapi pada hadits lain, disebutkan upah boleh diberikan jika diambil dari dana di luar peruntukan hewan kurban. Hal ini sesuai hadits Nabi: “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim).
Sebagai solusi, orang yang berkurban tidak ada salahnya menyedekahkan sedikit bagiannya untuk dimasak panitia. Kemudian, masakan tersebut juga tidak khusus dimakan panitia, melainkan untuk warga secara umum. Dengan demikian, bisa dikatakan sebagai pembagian daging dalam bentuk siap saji.
5. Membagi Daging Kurban untuk Non-Muslim
Ada perbedaan pendapat mengenai pembagian daging kurban kepada orang nonmuslim. Berdasarkan jurnal UIN Alauddin Makassar, Mazhab Hanafi memperbolehkan pembagian daging kurban kepada kafir zimmi.
Sementara Imam Malik pernah ditanya mengenai pembagian daging kurban kepada kaum kafir zimmi. Imam Malik berkata ‘tidak masalah’, tetapi kemudian meralatnya dengan mengatakan ‘tidak ada kebaikan atas itu’.
Menurut Imam Nawawi yang sesuai dengan pendapat Imam Syafi’i, pembagian daging kurban untuk kafir zimmi diperbolehkan jika itu daging kurban sunnah, tetapi tidak diperbolehkan jika itu daging kurban wajib.
6. Membagi Daging Kurban untuk Orang Kaya
Dilansir dari nu.or.id, berdasarkan pendapat ulama Syafi’iyah, membagi daging kurban untuk orang kaya diperbolehkan. Akan tetapi statusnya berbeda dengan fakir miskin.
Daging kurban untuk fakir miskin statusnya adalah hak milik, artinya boleh dijual kembali jika diperlukan. Sementara orang kaya hanya boleh memanfaatkan daging kurban yang diterimanya untuk konsumsi pribadi, dimasak untuk tamu, atau disedekahkan.
Hal ini sesuai dengan keterangan berikut:
له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني ، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه ، قاله في التحفة والنهاية
“Bagi orang fakir boleh memanfaatkan kurban yang diambil (secara bebas) meski dengan semisal menjualnya kepada orang Islam, sebab ia memilikinya. Berbeda dari orang kaya, ia tidak diperkenankan menjualnya, tetapi ia hanya diperbolehkan mengalokasikan kurban yang diberikan kepadanya dengan semisal makan, sedekah, dan menghidangkan meski kepada orang kaya, sebab puncaknya ia seperti orang yang berkurban itu sendiri. Keterangan ini disampaikan dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah.”
7. Dilarang Menjual Bagian Hewan Kurban
Orang yang berkurban dilarang menjual bagian hewan kurban, baik itu kurban wajib maupun sunnah. Orang yang berkurban sunnah hanya boleh mengambil bagian maksimal sepertiganya.
ـ (ولا يبيع) المضحي (من الأضحية) شيئا من لحمها أو شعرها أو جلدها أي يحرم عليه ذلك ولا يصح سواء كانت منذورة أو متطوعا بها
Artinya: “Orang yang berkurban (tidak boleh menjual daging kurban) sebagian dari daging, bulu, atau kulitnya. Maksudnya, ia haram menjualnya dan tidak sah baik itu ibadah kurban yang dinazarkan (wajib) atau ibadah kurban sunnah,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 207). (mut/hel)