Buku Iblis Dokter Pedofil Prancis Terkuak, Korban Hampir 300 Anak

Buku Iblis Dokter Pedofil Prancis Terkuak, Korban Hampir 300 Anak
Buku harian Iblis dokter Joel le Scouarnec tentang kekerasan dan pemerkosaan pada pasien anak-anak hingga mencapi sekitar 300 korban selama menjadi dokter bedah (Ist)

INDONESIAONLINE – Bulan ini, tirai pengadilan di Vannes akan tersibak, bukan untuk drama panggung, melainkan untuk sebuah tragedi yang telah lama terpendam.

Di kursi pesakitan, duduk seorang pria berusia senja, Joel Le Scouarnec, dulunya ahli bedah yang dihormati, kini tertuduh dalam pusaran badai sejarah kelam. Ratusan anak, 299 jiwa yang terenggut masa kecilnya, diduga menjadi korban kebiadaban sang dokter antara tahun 1989 dan 2014. 

Di balik jubah putih profesi yang dulu ia banggakan, Le Scouarnec dituduh melakukan penyerangan dan pemerkosaan, sebagian di antaranya saat korbannya terlelap dalam pengaruh bius, di ruang-ruang sunyi rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan.

Sketsa pengadilan Joel Le Scouarnec pada persidangan pertamanya pada 2020 (AFP)

Pengakuan samar telah terucap dari bibirnya, namun tak mampu meredam gelombang kemarahan dan trauma yang telah ia tanam.

Persidangan ini, buah dari penyelidikan panjang dan melelahkan, bukan sekadar proses hukum. Ia adalah sebuah panggung pertunjukan kebenaran, tempat tanya menggantung di udara: Adakah dinding kebisuan yang melindungi Le Scouarnec?

Apakah jaring laba-laba rumah sakit, tempat ia mengabdi, turut menyembunyikan jejak kejahatannya, kendati peringatan dari jauh, dari agen FBI, telah berbisik tentang sisi gelapnya di dunia maya?

Di masa silam, peluang untuk menghentikan langkah sang predator seolah terabaikan, terhempas oleh angin ketidakpedulian atau mungkin, kekuasaan. Bahkan lingkaran terdekatnya, keluarga yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan, terdiam dalam sumpah kerahasiaan, membiarkan luka menganga selama puluhan tahun.

“Sumpah kerahasiaan keluarga,” bisik seorang pengacara, “itulah yang menjadi pilar bagi kejahatan ini untuk terus tumbuh subur.”

Le Scouarnec, yang kini renta dan terkurung di balik jeruji besi sejak 2017, dulunya adalah sosok terhormat di kota kecilnya. Penangkapan atas dugaan pemerkosaan keponakannya, seorang wanita dewasa, dan dua bocah lainnya, membuka kotak pandora kejahatan yang lebih mengerikan.

Penggeledahan rumahnya mengungkap dunia fantasi gelap: boneka seks anak-anak, ratusan ribu gambar terlarang, dan buku harian yang disusun rapi, bagai arsip kejahatan selama 25 tahun.

Dalam lembaran-lembaran itu, diduga tertulis detail kekerasan seksual yang ia lakukan pada pasien-pasien mudanya. Ia berkelit, membantah serangan dan pemerkosaan, menyebut buku harian itu hanya catatan “fantasi.” Namun, di halaman yang sama, tinta pena mengakui:

“Saya seorang pedofil.”

Lebih dari seratus dakwaan pemerkosaan dan seratus lima puluh dakwaan penyerangan seksual menantinya. Para korban, kini dewasa, mengenang sentuhan dingin sang dokter di balik kedok pemeriksaan medis, terkadang di hadapan orang tua atau kolega sejawat.

Namun, kabut bius menyelimuti sebagian besar ingatan mereka. Nama-nama mereka, deskripsi pelecehan, semua terukir dalam buku harian Le Scouarnec, sebuah pengungkapan yang mengejutkan dan membingungkan.

Buku harian itu, saksi bisu kekuasaan dan kebejatan. Le Scouarnec, konon, merasa “mahakuasa,” menikmati “bermain dengan bahaya” dalam “tindakan yang terencana.” Bagi para korban, terbukanya tabir ini justru menjadi awal mula pemahaman atas trauma tak bernama yang selama ini menghantui hidup mereka.

Pengacara Francesca Satta menuturkan kisah pilu kliennya, “keluarga dari dua pria yang ingat [apa yang dialami], dan yang akhirnya bunuh diri.”

Olivia Mons dari asosiasi France Victimes, yang mendampingi banyak korban, menggambarkan ingatan kabur, “tak terungkapkan dengan kata-kata,” yang kini menemukan titik terang dalam kengerian buku harian.

Namun, bagi sebagian besar, pengungkapan ini justru menjadi gempa bumi dalam kehidupan yang selama ini tampak biasa saja. “Saat ini,” kata Mons, “bisa dimengerti banyak dari orang-orang ini sangat terguncang.”

Seorang wanita, dalam wawancara dengan media Prancis, mengenang kilas balik yang tiba-tiba menyeruak saat polisi menunjukkan catatan namanya di buku harian Le Scouarnec.

“Saya mengalami kilas balik seseorang yang datang ke kamar rumah sakit saya, mengangkat seprai, mengatakan dia akan memeriksa apakah semuanya berjalan dengan baik. Dia memperkosa saya.”

Margaux Castex, pengacara korban lain, mengungkapkan trauma kliennya: “Dia trauma karena dia pernah memberikan kepercayaannya kepada seorang profesional medis, dan itu sulit untuk dihilangkan.”

Bahkan, ada yang berbisik harapan kelam: “Dia berharap dia tidak pernah diberitahu apa yang terjadi.”

Marie, seorang ibu rumah tangga berusia 30-an, menerima kunjungan polisi yang membawa kabar mengerikan: namanya ada dalam buku harian ahli bedah pedofil.

“Mereka membacakan apa yang telah dia tulis tentang saya dan saya ingin membacanya kembali sendiri tetapi itu tidak mungkin,” katanya.

“Dapatkah Anda membayangkan membaca pornografi hardcore dan mengetahui bahwa itu tentang Anda, sebagai seorang anak?” Trauma masa kecil yang terpendam, “ingatan yang melindungi,” kini menyeruak, “foto-foto, sensasi, ingatan kembali kepada saya hari demi hari.”

“Hari ini,” katanya dengan suara bergetar, “saya merasakannya seolah-olah baru saja terjadi.” Tatapan mata dingin Le Scouarnec, terukir dalam ingatan, kembali menghantui.

Pertanyaan besar menggantung: bagaimana kejahatan ini bisa berlangsung begitu lama tanpa terendus?

Persidangan ini diharapkan menjadi panggung untuk mengungkap kebenaran, termasuk “kesalahan institusional dan yudisial,” seperti yang diungkapkan pengacara Frederic Benoist.

Peringatan FBI di awal tahun 2000-an hanya berbuah hukuman percobaan ringan, tanpa konsekuensi berarti bagi karir Le Scouarnec. Asosiasi medis regional, alih-alih bertindak tegas, justru membebaskannya dari pelanggaran kode etik.

“Kami memiliki bukti bahwa semua kolega ini tahu, dan tidak ada satu pun dari mereka yang melakukan apa pun,” tegas Benoist.

“Ada banyak keadaan yang berarti dia bisa dihentikan; dia tidak dihentikan, dan konsekuensinya tragis.”

Di ruang pengadilan Saintes pada persidangan sebelumnya, Delphine Driguez menyaksikan tatapan dingin dan perhitungan Le Scouarnec.

“Dia sangat pintar, tetapi tidak menunjukkan empati sama sekali.”

Video cabul dan boneka-boneka anak-anak yang diputar di pengadilan, tak menggoyahkan ekspresinya. Namun, satu momen terukir dalam ingatan Driguez: “Sampai saat itu dia selalu menundukkan pandangannya. Tetapi pada saat itu, dia mendongak, menatap video dengan saksama. Matanya berbinar-binar.”

Kini, Vannes bersiap menyambut persidangan akbar. Tiga ruang disiapkan untuk menampung ratusan korban, pengacara, dan keluarga. Persidangan yang dijadwalkan berlangsung hingga Juni ini, diharapkan menjadi “saat perhitungan,” bukan hanya bagi Le Scouarnec, tetapi juga bagi sistem yang gagal melindungi ratusan korban.