Imigrasi Blitar deportasi warga AS inisial JLK. Penyalahgunaan ITAS pelajar dan isu keresahan warga Tulungagung jadi pemicu penegakan hukum tegas.
INDONESIAONLINE – Di tengah ketenangan Kabupaten Tulungagung yang kental dengan nuansa religius dan budaya Jawa, kehadiran seorang warga negara asing (WNA) asal Amerika Serikat berinisial JLK (57) sempat menjadi anomali yang mencolok.
Masuk ke Indonesia dengan predikat sebagai “pelajar” yang hendak mendalami Islam, JLK justru berakhir di ruang detensi Kantor Imigrasi Kelas II Non-TPI Blitar. Kisah JLK bukan sekadar pelanggaran administrasi kertas kerja, melainkan sebuah studi kasus tentang benturan budaya, penyalahgunaan kepercayaan negara, dan bagaimana kontrol sosial masyarakat lokal menjadi garda terdepan pengawasan orang asing.
Pada Jumat, 19 Desember 2025, drama keberadaan JLK di Jawa Timur resmi berakhir. Kantor Imigrasi Blitar mengambil langkah tegas: deportasi. Pria paruh baya itu dipulangkan paksa ke negeri Paman Sam setelah terbukti melakukan dua “dosa” besar dalam kacamata hukum keimigrasian Indonesia: menyalahgunakan izin tinggal dan mengganggu ketertiban umum.
Topeng Akademis: Izin Belajar vs Realita Menganggur
Kasus ini bermula ketika JLK mendarat di Indonesia pada Maret 2025. Di paspornya, tertera Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dengan tujuan pendidikan. Secara regulasi, ITAS Pelajar (umumnya kode C316) diberikan kepada orang asing yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan yang terdaftar di Indonesia.
Ini adalah privilege atau hak istimewa yang diberikan negara agar WNA dapat menimba ilmu, dalam hal ini, JLK mengklaim ingin mempelajari agama Islam.
Namun, investigasi intelijen Keimigrasian (Inteldakim) Blitar menemukan fakta yang bertolak belakang. Selama sembilan bulan bermukim, JLK tidak pernah terlihat layaknya seorang pelajar. Tidak ada aktivitas akademis, tidak ada kajian rutin, dan tidak ada lembaga pendidikan yang menaunginya secara aktif.
“Yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan belajar sebagaimana tercantum dalam ITAS. Dalam periode tertentu justru lebih banyak menganggur,” ungkap Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Non-TPI Blitar, Aditya Nursanto.
Fakta ini mengungkap modus klasik yang kerap digunakan WNA untuk menetap lama di Indonesia: menggunakan visa pendidikan atau sosial budaya sebagai “kuda troya” untuk sekadar tinggal (living) tanpa memberikan nilai tambah, atau bahkan bekerja secara ilegal.
Dalam kasus JLK, ia menjadi “pengangguran terselubung” yang menikmati biaya hidup murah di Indonesia namun mengabaikan kewajiban visa-nya.
Gesekan Norma dan “Pasangan Sejenis”
Jika pelanggaran administrasi mungkin bisa lolos dari pantauan sesaat, pelanggaran terhadap norma sosial tidak akan pernah luput dari mata masyarakat Indonesia. Faktor inilah yang menjadi katalisator percepatan deportasi JLK. Selama di Tulungagung, JLK tinggal di sebuah hotel. Namun, gaya hidupnya memicu “alarm” sosial warga sekitar.
Berdasarkan laporan yang masuk ke Imigrasi, JLK kerap melakukan aktivitas bersama pasangan laki-lakinya. Di wilayah seperti Tulungagung yang menjunjung tinggi nilai-nilai konservatif, perilaku yang mengarah pada praktik LGBTQ+ secara terbuka—atau setidaknya, perilaku yang dianggap menyimpang dari norma kelaziman—dianggap sebagai gangguan serius terhadap ketertiban umum.
Istilah “Ketertiban Umum” dalam hukum Indonesia bersifat dinamis dan sangat menghormati kearifan lokal (local wisdom). Apa yang mungkin dianggap biasa di New York atau Los Angeles, bisa menjadi sumber konflik sosial di Tulungagung. Keresahan warga bukan tanpa dasar; mereka khawatir perilaku tersebut akan memberi pengaruh buruk atau mencederai citra lingkungan mereka.
Kepala Kantor Imigrasi Blitar, Aditya Nursanto, menegaskan bahwa penindakan ini bukan semata urusan personal atau orientasi seksual, melainkan dampak sosiologis yang ditimbulkan.
“Pelanggaran utamanya adalah ketidaksesuaian antara izin tinggal yang dimiliki dengan kegiatan yang dilakukan, ditambah aktivitas yang berdampak pada ketertiban umum,” jelas Aditya.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa negara tidak masuk ke ranah privat, namun ketika ranah privat tersebut tumpah ke ruang publik dan menimbulkan friksi, maka negara wajib hadir.
Pasal “Sapu Jagat” Keimigrasian
Secara yuridis, deportasi JLK didasarkan pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pasal ini sering disebut sebagai pasal “sapu jagat” karena memberikan kewenangan diskresi yang luas kepada Pejabat Imigrasi.
Bunyi pasal tersebut memungkinkan Pejabat Imigrasi melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian (TAK) terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum, atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks JLK, ia memenuhi kedua unsur tersebut sekaligus. Pertama, ia tidak menaati peraturan (menyalahgunakan ITAS Pelajar untuk menganggur). Kedua, ia membahayakan ketertiban umum (menimbulkan keresahan warga akibat gaya hidup bersama pasangan prianya). Tidak ada toleransi bagi akumulasi pelanggaran semacam ini.
Kasus JLK menjadi bukti keberhasilan sistem pengawasan orang asing yang partisipatif. Imigrasi tidak bekerja sendirian di menara gading. Melalui Tim Pengawasan Orang Asing (TIMPORA) yang melibatkan unsur TNI, Polri, Pemerintah Daerah, hingga level RT/RW, jaring pengaman kedaulatan menjadi lebih rapat.
Laporan warga Tulungagung adalah kunci. Ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar hukum dan peduli terhadap lingkungan mereka. “Pengawasan keimigrasian membutuhkan peran serta publik. Informasi dari masyarakat sangat membantu kami menjaga kepastian hukum dan ketertiban,” puji Aditya terhadap responsifnya warga.
Fenomena ini juga menjadi peringatan keras bagi WNA lainnya yang tersebar di wilayah “second city” atau kota lapis kedua seperti Blitar, Tulungagung, dan Kediri. Jangan beranggapan bahwa pengawasan ketat hanya berlaku di Bali atau Jakarta. Di daerah, di mana kohesivitas sosial masyarakat lebih erat, setiap gerak-gerik aneh pendatang asing justru lebih mudah terdeteksi.
Deportasi JLK mengirimkan pesan diplomatik yang tegas namun santun: Indonesia terbuka bagi siapa saja yang ingin datang, baik untuk berwisata, bekerja, maupun belajar, selama dilakukan dengan prosedur yang benar dan menghormati tuan rumah.
Izin tinggal adalah amanah undang-undang, bukan sekadar stempel di paspor. Ketika seorang WNA melanggar peruntukan izin tinggalnya, apalagi sampai mengusik kenyamanan warga lokal dengan perilaku yang bertentangan dengan norma setempat, maka pintu keluar adalah satu-satunya jalan yang disediakan negara.
Penegakan hukum yang dilakukan Imigrasi Blitar bukan tindakan anti-asing, melainkan upaya menjaga marwah kedaulatan negara (ignorantia juris non excusat). Siapapun yang berpijak di tanah Indonesia, wajib menjunjung langit hukum dan budaya Indonesia. Bagi JLK, pelajaran “Islam” yang sesungguhnya mungkin baru ia dapatkan saat proses deportasi ini: bahwa dalam Islam dan budaya Timur, menghormati adab dan aturan setempat adalah bagian dari iman (ar/dnv).












