Candi Gedog dan Legenda Joko Pangon

Candi Gedog dan Legenda Joko Pangon

INDONESIAONLINE – Candi Gedog di Kelurahan Candi Gedog, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar tidak bisa dilepaskan dengan legenda Joko Pangon.

Pohon beringin raksasa yang menghampar di area Candi Gedog menjadi saksi bisu atas jejak langkah Joko Pangon. Meski namanya seringkali terdengar sebagai Candi Joko Pangon, tetapi kesebutan Candi Gedog lebih akrab di telinga masyarakat sekitar.

Legenda yang hidup secara turun temurun menyebutkan Joko Pangon sebagai tokoh yang berasal dari wilayah barat, mungkin keturunan keluarga bangsawan Mataram Islam atau bahkan seorang prajurit dari Mataram.

Sosok ini disebut sebagai “sing babat alas” yang membuka hutan, sekaligus memberi nama pada kawasan Gedog. Tak hanya ilmu kanuragan, Joko Pangon juga ahli ilmu peternakan, terutama dalam mengembangbiakan kerbau.

Perjalanan panjang Joko Pangon dari barat berhenti di sebuah pemukiman, di mana seorang janda tua dengan hati baik memberinya perlindungan dan tempat tinggal. Pangon dianggap sebagai anak sendiri oleh janda itu, dan sebagai balas budi, dia menggantikan aktivitas mengumpulkan kayu bakar di hutan.

Namun, suatu ketika, telinga Joko Pangon terperangkap oleh suara dari dalam hutan. Ia mengejar asal suara tersebut dan menemukan seorang lelaki tua yang menyambutnya dengan baik serta mengajarkan berbagai ilmu kanuragan dan peternakan. Namun, suatu hari, yang ia temukan di tempat guru itu hanyalah sebongkah batu besar.

Sebagai penghormatan, Joko Pangon mendirikan sebuah candi di tempat itu, yang kemudian menjadi pemukiman setelah hutan dibabat. Di masa itu, nama Gedog berasal dari gedokan atau kandang kuda dan kerbau di sekitar candi, dengan seorang juragan bernama Swansang sebagai pemiliknya.

Tugas utama Joko Pangon adalah memelihara kerbau, dan imbalannya berupa anak kerbau jantan, sementara yang betina dimiliki juragan. Namun, keberuntungan datang pada Joko Pangon, kerbau-juragan Swansang lebih banyak melahirkan anak jantan, menyebabkan juragan marah.

Ketika kesepakatan diubah, konflik mulai bergejolak, dan perintah untuk membunuh Joko Pangon dikeluarkan oleh Swansang. Ia diikat dan dimasukkan ke dalam sumur tua di kompleks Candi Gedog. Hanya anjing peliharaannya yang mengetahui keberadaannya. Anjing itu lalu masuk ke dalam sumur namun tak kunjung kembali ke permukaan, tak ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Tak hanya sisi legenda, Candi Gedog juga menarik bagi tim arkeolog Bapelbud Wilayah XI Jawa Timur.

Sejak dimulainya tahap ekskavasi kelima pada Juni lalu, penemuan terbaru mengungkap bagian candi yang tersisa, meninggalkan 25 persen lagi untuk menguak strukturnya secara menyeluruh.

Pada hari terakhir ekskavasi, titik terang muncul ketika tim dari Bapelbud menemukan patirtaan dekat dengan saluran irigasi, di sebelah barat lokasi candi utama. Nugroho Harjo Lukito, Ketua Tim Arkeolog Bapelbud Wilayah XI Jatim, berencana untuk memfokuskan upaya ekskavasi pada area di sekitar petirtaan ini.

“Struktur Candi Gedog kemungkinan akan memanjang ke arah barat, namun keseluruhan bentuk candi dapat terlihat sepenuhnya hanya jika proses ekskavasi berlanjut tanpa hambatan,” kata Nugroho.

Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah alokasi waktu yang dapat memengaruhi kemajuan ekskavasi. Menurut Nugroho, jika waktu yang diberikan cukup panjang, pengupasan tanah dapat dilakukan secara lebih luas, tetapi jika waktu terbatas, proses tersebut akan membutuhkan lebih banyak waktu. Dia berharap adanya bantuan ekskavator untuk mempercepat proses pengupasan tanah bekas galian.

Dari perspektif struktur candi, sekitar 75 persen dari sistem percandian telah terungkap. Bagian utama candi beserta bagian bawahnya sudah terlihat dengan jelas, kecuali dua pagar di sisi selatan yang masih tertutup. Untuk melanjutkan ekskavasi pada tahap berikutnya, tim berencana untuk menyewa lebih banyak tanah sebelum melanjutkan pada tahun depan. Fokus utama akan diberikan pada sisi selatan, di mana diperkirakan terdapat dua lapis pagar yang serupa dengan sisi utara.

Langkah ini bertujuan untuk mempermudah proses ekskavasi selanjutnya serta memastikan bahwa pengembangan, pemanfaatan, dan penataan lingkungan tidak terhambat oleh kendala kepemilikan lahan.

“Kami telah memberikan beberapa rekomendasi terkait hal ini kepada pemerintah daerah, baik melalui komunikasi lisan maupun tertulis dalam laporan yang telah disusun,” imbuhnya.

Dengan luas area Candi Gedog Kota Blitar diperkirakan tidak lebih dari 1 hektare, bentuk kompleks bangunan ini seperti huruf L yang mengarah ke berbagai sudut, menjadi tantangan tersendiri dalam mengungkap keseluruhan strukturnya. Namun, semangat untuk menggali sejarah yang terpendam tetap menjadi dorongan bagi tim arkeolog dalam menjalankan setiap tahap ekskavasi demi mengungkap lebih banyak misteri dari Candi Gedog Kota Blitar (ar/dnv).