Beranda
Sastra  

CERPEN NYALA

CERPEN NYALA
Ilustrasi cerpen (istock)

(05) Cerpen Nyala

dd nana veno

Sungguh, betapa aku harus terisak dalam dan mencoba menyembunyikan air mata, saat aku tahu Nyala tidak mengenalku lagi. Tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan segala peristiwa yang lalu.

Aku terisak dengan senyum mengambang, “haruskah aku gembira atau sedih dengan kenyataan ini?”

Ya, haruskah aku bergembira melihat perempuan yang dicintai tidak lagi memiliki kenangan apapun tentang kita. Tetapi, haruskah aku bersedih kini, melihat Nyala bersinar, begitu hidup dalam dekap kehangatan keluarga barunya, suami yang baik dan anak-anak yang lucu, tanpa harus dihantui mimpi-mimpi paling buruk bagi seorang perempuan.

“Saat aku temukan Nyala, kondisi psikis dan fisiknya membuat siapapun yang masih punya nurani akan menangis. Nyala, seperti mayat hidup. Saat itulah, saya membawanya, merawatnya. Akhirnya dengan berbagai bantuan medis dan psikiater secara kontinue, Nyala mampu kembali dilahirkan. Menjadi manusia baru. Kami menikah atas kenyataan bahwa Nyala tidak bisa dibiarkan sendiri dalam menghadapi kehidupan yang semakin tidak karuan ini, terutama karena saya  memang memiliki empati yang dalam atas apa yang menimpanya.”suara lelaki ramah itu terasa ringan dalam otakku.

“Apakah…Nyonya Nyala tidak bisa mengingat apapun mengenai masa lalunya?” ucapku.

“Salah satu metode untuk melupakan trauma yang begitu hebat adalah dengan menceburkan diri secara perlahan-lahan dalam ruang yang menyebabkan trauma itu ada. Yayasan Temali Kasih ini adalah salah satu bentuknya….”

“Tidak tuan Ara, trauma yang dialami manusia tidak akan bisa hilang secara 100%. Dia sesekali datang, di tempat dan waktu yang tidak bisa diduga. Di sinilah peranan orang-orang terdekat sangat dominan untuk menjaganya….” lanjut pemilik lelaki ramah itu.

“Jadi…..?”

“Nyala masih mengingat keping-keping masa lalunya….Tuan tahu kenapa Nyala begitu menyukai pintu yang terbuka dan bersuara? Itu adalah salah satu keping masa lalunya. Dan…keping yang begitu kuat dalam memorinya sampai saat ini adalah sebuah nama….yaitu anda Tuan Ara… ”ujar lelaki bersuara ramah itu.

Sungguh, aku mendengar derit lain serupa nyeri yang dibungkus begitu rapi.

“Maksud tuan….? Tuan sudah tahu bahwa saya adalah…”

“Ya. Maka maafkan saya yang telah mengambil istri Anda. Kondisilah yang telah menciptakan itu semua.”

Aku menunduk dalam, entah amarah atau nyeri yang melegakan yang hiruk di kepala dan dada ini.

Aku menghirup nafas panjang, sangat panjang. Sesampainya aku di negeri Nyala. Entahlah, ada sesuatu yang begitu menyesakkan. Ada suatu peristiwa yang akan membuatku terhenyak, di sini. Dan, aku sangat takut atas pikiranku sendiri.

“Ara…..!!!”

Kepalaku menoleh mencari sumber suara. Suara yang sangat kuhafal, Nyala. Aku menghampirinya, ataukah dia yang menghampiriku dalam lari kecil yang gegas.

“Nyonya Nyala…bagaimana kab…. ?” Pertanyaanku tak usai. Nyala menubrukku. Memeluk begitu erat dengan isak yang mulai kudengar di samping telingaku.

“…Ara…ara…kenapa kau tinggalkan daun pintu rumah kita terbuka? kenapa kau tinggalkan aku tanpa kecup mesra di kening. Tanpa sebaris kata yang sering kau ucapkan saat akan pergi meninggalkan rumah ….? Kenapa…..!!”

Tangis itu akhirnya membuncah. Menggetarkan tubuhku.

Dering telepon tengah malam adalah tanda duka. Tetapi, apakah kini aku berduka atas kemenangan kenangan Nyala?

 

 

 

Exit mobile version