Di balik layar “Danyang Wingit Jumat Kliwon”, tersimpan teror mantra sinden asli dan ambisi keabadian. Simak ulasan mendalam tentang horor okultisme Jawa yang menguji batas psikologis pemainnya.
INDONESIAONLINE – Di tanah Jawa, wayang bukan sekadar bayang-bayang yang menari di balik kelir putih. Ia adalah representasi jagat raya, wadah bagi roh leluhur, dan kadang—dalam sudut pandang yang lebih kelam—menjadi gerbang bagi ambisi manusia yang hendak menipu kematian.
Filosofi mistis inilah yang coba dibongkar dan dirakit ulang oleh Khanza Film Entertainment melalui rilis terbaru mereka, “Danyang Wingit Jumat Kliwon”.
Sejak tayang perdana pada 20 November 2025, film ini tidak sekadar menawarkan jeritan histeris atau penampakan hantu semata. Lebih dari itu, karya garapan Agus Riyanto ini menyajikan sebuah thriller okultisme yang pekat, menyeret penonton masuk ke dalam padepokan tua di mana seni, darah, dan mantra berkelindan dalam satu tarikan napas yang menyesakkan.

Ambisi Melampaui Kodrat
Narasi film ini dibangun di atas fondasi naskah yang ditulis oleh Dirmawan Hatta, sosok yang piawai menenun legenda lokal menjadi diskursus modern yang meresahkan. Di pusat pusaran konflik, berdiri Ki Mangun Suroto (diperankan dengan dingin dan memikat oleh Whani Darmawan). Ia bukan sekadar dalang; ia adalah potret manusia yang mabuk oleh kemasyhuran dan ketakutan akan kefanaan.
Padepokan yang ia bangun bukan sekadar tempat menempa seni, melainkan laboratorium metafisika terlarang. Di sana, ilmu-ilmu kuno “dipelihara” selayaknya hewan ternak, diberi makan, dan disiapkan untuk sebuah ritual puncak. Ki Mangun mewakili sisi gelap feodalisme spiritual, di mana nyawa orang lain hanyalah komoditas untuk memperpanjang kekuasaannya sendiri.
Konflik memuncak ketika kepolosan berbenturan dengan kalkulasi jahat. Citra (Celine Evangelista), keponakan Mbok Ning (Djenar Maesa Ayu), hadir di tahun 2021 dengan harapan sederhana: menyambung hidup.
Kehadirannya sebagai sinden baru diharapkan menjadi pemanis estetika, namun bagi Ki Mangun, Citra adalah kepingan puzzle terakhir. Di balik denting gamelan yang menyayat hati, Citra sejatinya telah “ditandai”. Ia adalah tumbal yang dinanti untuk menyempurnakan ritual keabadian sang dalang.
Realitas sosial yang getir juga dipotret dengan jeli dalam film ini. Citra bertahan di “mulut harimau” bukan karena bodoh, melainkan karena himpitan ekonomi demi pengobatan adiknya, Dewi (Aisyah Kanza). Ini adalah kritik halus namun tajam: bagaimana kemiskinan seringkali memaksa seseorang masuk ke dalam perangkap eksploitasi, bahkan yang berbau mistis sekalipun.
Mantra yang Bukan Sekadar Naskah
Salah satu aspek paling menarik—dan mengerikan—dari produksi Danyang Wingit Jumat Kliwon adalah pendekatannya terhadap autentisitas ritual. Dalam sesi wawancara eksklusif di Bioskop Plaza Araya, Kota Malang, Sabtu (22/11/2025), Celine Evangelista membuka tabir di balik proses kreatif yang ia sebut sebagai tantangan terbesar dalam kariernya.
Celine tidak hanya dituntut berakting takut atau sedih. Ia harus melantunkan tembang sinden yang liriknya disisipi mantra khusus. Menurut pengakuannya, mantra ini bukanlah gibberish atau susunan kata asal bunyi yang biasa ditemukan di film horor generik.
“Nada sindennya ada mantranya, jadi harus hati-hati,” ungkap Celine dengan raut wajah serius.
Ia menceritakan bagaimana tim produksi harus melibatkan “penjaga” spiritual selama proses rekaman dan syuting. Ada protokol tak tertulis yang harus dipatuhi. Mantra tersebut, menurut kepercayaan setempat, memiliki frekuensi yang bisa memicu energi tertentu jika dilafalkan pada kondisi yang “tepat”.
Dampak dari lantunan mantra ini dirasakan secara fisik di lokasi syuting. Atmosfer yang tadinya riuh oleh kesibukan kru, bisa mendadak sunyi senyap begitu bait mantra dinyanyikan.
“Kru mendadak sunyi, bulu kuduk berdiri, dan seluruh ruangan terasa seperti menahan napas,” tambah Celine.
Pengalaman ini menegaskan bahwa Danyang Wingit mencoba mengaburkan batas antara fiksi di depan kamera dan realitas magis di belakangnya. Ketegangan yang muncul di wajah pemain, sebagian besar adalah respons murni terhadap energi yang terbangun di set.
Mitologi Kulit dan Gerhana Darah
Secara visual dan naratif, film ini mengeksplorasi mitos “Wayang Kulit Manusia” dan sinden yang menyimpan kekuatan gaib. Agus Riyanto mengemasnya agar relevan dengan penonton Gen Z, namun tidak mencabut akar tradisinya. Modernisasi dilakukan pada alur penceritaan dan sinematografi, sementara esensi mistisnya tetap dibiarkan “purba”.
Klimaks film diletakkan pada momen astronomis yang berkelindan dengan hitungan weton Jawa: Gerhana Bulan Merah pada Jumat Kliwon. Ini adalah simbolisasi sempurna dari pertemuan energi negatif terbesar.
Di titik inilah karakter Bara (Fajar Nugra), penjaga padepokan yang sadar akan kebusukan majikannya, mengambil peran krusial. Pergulatan Bara dan Citra untuk lari dari takdir yang telah digariskan sang dalang menjadi representasi perlawanan akal sehat melawan fanatisme buta.
Film ini juga diperkaya oleh ansambel pemain pendukung yang solid seperti Nathalie Holscher (Putri Kusuma Ratih), Norma Cinta, Dimas Tedjo, hingga Putri Maya Rumanti. Kehadiran mereka memberikan tekstur pada dunia padepokan yang tampak agung di luar namun busuk di dalam.
Danyang Wingit Jumat Kliwon pada akhirnya lebih dari sekadar film horor yang menjual kaget. Ia adalah studi antropologi visual tentang bagaimana masyarakat Jawa memandang kekuasaan, seni, dan alam gaib. Ia mengajak penonton menyelami sisi paling sunyi dari seorang manusia yang menolak takdir kematian, dan harga mengerikan yang harus dibayar untuk itu.
Bagi penonton yang mencari kedalaman cerita di balik teror visual, film ini menyuguhkan lapisan makna yang kaya. Ia mengingatkan kita bahwa dalam setiap tradisi yang indah, kadang tersimpan rahasia yang sebaiknya tidak diusik. Dan ketika mantra itu telah terucap, layar bioskop mungkin menjadi satu-satunya batas aman antara penonton dan danyang yang terbangun.













