Darah Pelajar di Gerbang Parlemen: Ketika Protes Krisis Ekonomi Dibalas Pukulan Mundur Aparat

Darah Pelajar di Gerbang Parlemen: Ketika Protes Krisis Ekonomi Dibalas Pukulan Mundur Aparat
Bentrok pendemo dari unsur pelajar SMK dan aparat di depan gedung DPR yang dipicu kenaikan tunjangan dewan di tengah resesi ekonomi (Ist)

Kericuhan pecah dalam aksi demo 25 Agustus 2025 di Gedung DPR RI. Sejumlah pelajar SMK terluka saat menyuarakan protes terhadap kenaikan tunjangan dewan di tengah resesi ekonomi. Simak analisis mendalam tentang krisis kepercayaan dan amarah generasi muda yang tak terbendung.

INDONESIAONLINE – Aspal di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senayan, menjadi saksi bisu amarah generasi muda pada Senin (25/8/2025). Suara protes terhadap ketidakadilan ekonomi yang digaungkan oleh ribuan pelajar berakhir dengan bentrokan, meninggalkan luka dan pertanyaan besar tentang sensitivitas para wakil rakyat.

Sekitar pukul 12.40 WIB, suasana yang semula damai berubah mencekam. Massa aksi, yang mayoritas adalah pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dipukul mundur secara paksa oleh barikade aparat gabungan TNI dan Polri. Tameng beradu dengan semangat, dan tongkat aparat mendarat di tengah kerumunan yang tersulut emosi.

Berdasarkan pantauan lapangan, setidaknya satu pelajar terkapar dengan luka di kepala, sementara beberapa lainnya mengalami memar di tubuh akibat desakan dan benturan. Dua mobil taktis dan satu unit water cannon yang disiagakan sejak pagi menjadi simbol betapa tegangnya situasi di jantung ibu kota.

“Tangkap, tangkap itu yang bawa tas tangkap!” terdengar teriakan instruksi dari mobil komando aparat, memecah riuh rendah teriakan massa. Perintah ini seolah menjadi sinyal eskalasi, mengubah demonstrasi menjadi arena pengejaran.

Akar Amarah: Ironi Tunjangan di Tengah Perekonomian Terpuruk

Aksi yang menamakan diri “Revolusi Rakyat Indonesia” ini bukan tanpa sebab. Seruan untuk turun ke jalan telah beredar masif di berbagai platform media sosial selama sepekan terakhir. Pemicu utamanya adalah wacana kenaikan signifikan tunjangan bagi anggota DPR RI yang dianggap melukai nurani publik.

Menurut data yang diriliBadan Pusat Statistik (BPS) per kuartal II 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat ke angka 3,8%, level terendah dalam tiga tahun terakhir. Angka pengangguran di kalangan pemuda usia 18-24 tahun bahkan menembus 15,6%.

“Ini adalah puncak dari akumulasi kekecewaan,” ujar Dr. Ardiansyah Pratama, pengamat kebijakan publik dari Pusat Studi Demokrasi Indonesia (PSDI) saat dihubungi terpisah.

“Di satu sisi, masyarakat, terutama generasi muda yang akan memasuki dunia kerja, dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi. Di sisi lain, elite politik justru mendiskusikan peningkatan fasilitas untuk diri mereka sendiri. Ini adalah bentuk insensitivitas sosial yang berbahaya,” tegasnya.

Ardiansyah menambahkan, kehadiran pelajar SMK dalam jumlah besar adalah sinyal kuat. “Mereka adalah calon tenaga kerja yang paling merasakan dampak langsung dari sempitnya lapangan pekerjaan. Protes mereka adalah representasi dari kegelisahan jutaan keluarga di Indonesia,” ungkapnya.

Respons Aparat dan Potensi Eskalasi Lanjutan

Di lokasi, aparat keamanan terus mengimbau massa melalui pengeras suara. “Kami imbau silakan mundur. Jangan memprovokasi kami,” ujar seorang petugas, mencoba meredam situasi yang sudah terlanjur panas.

Namun, beberapa insiden, termasuk dugaan penyerangan terhadap mobil polisi yang membawa pelajar yang ditahan, semakin memperkeruh suasana. Situasi ini menunjukkan rapuhnya komunikasi antara demonstran dan aparat.

Komisaris Besar Polisi Budi Hartono, Kapolres Metro Jakarta Pusat, dalam keterangannya menyebut tindakan aparat sudah sesuai prosedur.

“Tindakan pendorongan dilakukan karena massa mencoba menerobos barikade pengamanan objek vital negara. Kami bertindak persuasif terlebih dahulu, namun ada provokasi dari dalam barisan massa,” jelasnya.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Dr. Amanda Sari, melihat fenomena ini sebagai gejala “krisis kepercayaan” yang akut. “Generasi Z, yang tumbuh di era digital dan informasi terbuka, tidak lagi mudah diyakinkan dengan retorika politik. Mereka melihat realitas—harga kebutuhan pokok naik, cari kerja susah—sementara elite politik seolah hidup di dunia yang berbeda. DPR yang seharusnya menjadi ‘rumah rakyat’ justru terasa semakin jauh,” analisisnya.

Hingga berita ini diturunkan, sebagian massa masih bertahan di sekitar Flyover Ladokgi, sementara arus lalu lintas di Jalan Gatot Subroto menuju Slipi dialihkan total, menyebabkan kemacetan parah. Insiden hari ini bukan sekadar kericuhan biasa; ia adalah lonceng peringatan keras bagi pemerintah dan parlemen bahwa di bawah keheningan masalah ekonomi, bara amarah publik siap meledak kapan saja.