INDONESIAONLINE – Debu beterbangan dari jalanan Desa Jedong, Wagir, Kabupaten Malang tak menyurutkan langkah Afrijal Mahkbub Efendi (30). Di balik rumah sederhananya, bukan garasi mobil mewah atau taman modern yang menyambut, melainkan suara riuh rendah ribuan ayam pejantan.
Sebuah pemandangan yang mungkin tak terbayangkan bagi kebanyakan pemuda urban, namun inilah realitas yang dipilih Afrijal, seorang sarjana Teknologi Industri Pertanian (TIP) Universitas Brawijaya (UB).
Di usia yang masih terbilang muda, di mana tren start-up digital dan gaya hidup cafe hopping menjadi primadona, Afrijal justru memilih jalan sunyi beternak ayam. Bukan ayam potong biasa, melainkan ayam pejantan – jenis ayam yang seringkali dipandang sebelah mata. Namun, di tangan dingin alumnus UB angkatan 2012 ini, ayam pejantan menjelma menjadi sumber penghidupan yang menjanjikan, dikemas dalam unit usaha bernama Pitikology.
Sejak Oktober 2023, kandang belakang rumahnya yang berukuran 12 x 14 meter itu tak pernah sepi dari aktivitas. Dimulai dari puluhan ekor, kini kandang tersebut menampung 2.000 ayam pejantan yang siap dibesarkan hingga panen. Bibit-bibit ayam itu didatangkan dari Desa Slamparejo, Jabung, sebuah desa yang dikenal sebagai sentra bibit ayam pejantan di Malang.
“Awalnya ya coba-coba saja, Mas. Tapi ternyata kok lumayan,” ujar Afrijal, sembari mengamati ayam-ayamnya yang berdesakan di kandang.
“Saya lihat peluangnya, ayam pejantan ini permintaannya ada terus, apalagi kalau pas ada acara-acara hajatan atau selamatan,” lanjutnya.
Keputusan Afrijal beternak ayam pejantan bukan tanpa perhitungan. Di tengah stigma bahwa beternak ayam adalah pekerjaan “kampungan” dan bau, ia justru melihat potensi bisnis yang besar.
“Banyak anak muda sekarang gengsi beternak, padahal kalau ditekuni serius, hasilnya juga lumayan. Apalagi kalau kita bisa inovatif,” katanya.
Dan inovasi itu memang terlihat dari cara Afrijal mengelola Pitikology. Meski beternak di belakang rumah, kandangnya jauh dari kesan kumuh dan bau. “Saya pakai campuran asam sitrat di pakan, itu bantu mengurangi bau kotoran. Kandangnya juga saya desain biar sirkulasi udaranya bagus,” jelasnya.
Hasilnya, kandang ayam Afrijal terasa lebih bersih dan nyaman, bahkan bagi tetangga sekitar.
Soal omzet, jangan ditanya. Dengan 2.000 ekor ayam pejantan yang dipanen setiap dua bulan sekali, Afrijal bisa mengantongi sekitar Rp 60 juta.
“Itu omzet kotor ya, Mas. Kalau bersihnya ya lumayanlah, cukup buat hidup dan nabung,” ujarnya sambil tersenyum.
Ayam pejantan miliknya dipanen saat usia 60 hari atau ketika beratnya mencapai satu kilogram. Permintaan pasar pun tak pernah surut, bahkan seringkali kewalahan memenuhi pesanan dari sekitar Wagir.
“Pemasarannya masih di sekitar sini saja, Mas. Sudah habis duluan. Tapi saya juga mulai jajaki pasar online, biar bisa lebih luas lagi,” ungkapnya, menunjukkan jiwa entrepreneur yang tak pernah puas.
Harga jual ayam pejantan hidup dari kandangnya berkisar antara Rp 32 ribu hingga Rp 34 ribu per kilogram.
Keunggulan ayam pejantan dibandingkan ayam broiler juga menjadi salah satu daya tarik Pitikology. “Ayam pejantan ini dagingnya lebih rendah lemak, kalorinya juga lebih rendah, tapi proteinnya tinggi. Teksturnya juga mirip ayam kampung, lebih kenyal dan gurih,” papar Afrijal.
Kiprah Afrijal sebagai peternak ayam pejantan milenial ini tak luput dari perhatian. Ia bahkan tergabung dalam Program Youth Enterpreneurship and Employment and Support Services (YESS) dari Kementerian Pertanian RI dan IFAD. Program ini menjadi wadah bagi wirausahawan muda di bidang pertanian untuk mengembangkan usahanya.
“Program YESS ini banyak bantu saya, terutama dalam hal pelatihan dan jaringan,” kata Afrijal.
Namun, ia menegaskan bahwa kesuksesannya saat ini adalah hasil dari kerja keras dan kemandirian. “Saya ini belajar otodidak, banyak tanya-tanya teman yang sudah beternak duluan. Yang penting itu niat dan tekun, Mas,” pesannya.
Di tengah hiruk pikuk dunia modern, Afrijal membuktikan bahwa beternak ayam, yang seringkali dianggap pekerjaan “jadul”, bisa menjadi lahan subur bagi generasi milenial. Dengan sentuhan inovasi dan semangat pantang menyerah, ia berhasil mengubah kandang ayam di belakang rumah menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan, sekaligus mematahkan stigma negatif tentang dunia peternakan.
Afrijal adalah representasi bahwa kesuksesan bisa tumbuh di mana saja, bahkan di antara suara kokok ayam pejantan di desa Jedong (to/dnv).