Dari Panggung Drama ke Kamar Sunyi: Akhir Tragis Kim Sae-ron dan Bayang-Bayang Cancel Culture

Dari Panggung Drama ke Kamar Sunyi: Akhir Tragis Kim Sae-ron dan Bayang-Bayang Cancel Culture
Artis Korsel Kim Sae-ron (soompi)

INDONESIAONLINE – Lampu panggung K-Drama telah padam untuk Kim Sae-ron. Aktris muda berbakat yang bersinar sejak usia belia ini ditemukan tak bernyawa di kediamannya di kawasan Seongdong, Seoul, pada Minggu (16/2) sore.

Di usia 25 tahun, kepergiannya bukan hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan penggemar, namun juga membuka luka lama tentang sisi gelap industri hiburan Korea Selatan dan budaya ‘cancel culture’ yang kejam.

Panggilan darurat ke polisi pada pukul lima sore dari seorang teman yang menemukan Kim Sae-ron tak sadarkan diri di rumahnya, dengan cepat berubah menjadi berita duka yang mengguncang jagat hiburan.

Spekulasi tentang penyebab kematian langsung merebak, namun satu dugaan kuat mencuat: bunuh diri. Dan di balik keputusan tragis ini, terbayang momok ‘cancel culture’ yang telah lama menghantui para pesohor Korea Selatan.

Jejak Luka Cancel Culture: Dari Kesalahan di Jalan Raya ke Jurang Karier

Ingatan publik kembali pada 18 Mei 2022. Hari itu, insiden mengemudi dalam keadaan mabuk (DUI) di kawasan mewah Cheongdam-dong, Seoul, mengubah drastis hidup Kim Sae-ron.

Meski ia telah meminta maaf secara terbuka dan mengakui kesalahannya, amarah publik Korea Selatan tak terbendung. ‘Cancel culture’ bekerja dengan cepat dan tanpa ampun.

Karier yang dibangun sejak usia anak-anak, perlahan tapi pasti runtuh. Kim Sae-ron, yang sebelumnya laris manis di layar kaca dan lebar, mendadak ‘dilarang tampil’ di televisi nasional.

Denda ratusan juta rupiah terasa seperti pukulan telak bagi seorang aktris muda yang baru menapaki usia dewasa. Hiatus dari dunia hiburan menjadi pilihan pahit, namun seolah tak cukup meredakan murka publik.

Apa Cancel Culture

‘Cancel culture’, sebuah fenomena yang semakin mengakar di era media sosial, adalah tindakan kolektif untuk ‘membatalkan’ atau memboikot seseorang dari ruang publik akibat kesalahan atau tindakan kontroversial di masa lalu. Intinya adalah mencabut dukungan, mengakhiri karier, dan mengucilkan individu yang dianggap telah melanggar norma atau nilai yang dianut masyarakat.

Bagi sebagian orang, ‘cancel culture’ dianggap sebagai mekanisme pertanggungjawaban yang efektif, terutama bagi figur publik yang memiliki pengaruh besar. Ini adalah bentuk keadilan sosial di era digital, di mana suara publik dapat menekan pihak yang berkuasa atau melakukan kesalahan.

Namun, di sisi lain, ‘cancel culture’ juga dituding sebagai bentuk penghakiman massa yang kejam dan tidak memberi ruang untuk pengampunan atau perubahan. Seperti pisau bermata dua, ia bisa menjadi alat untuk menegakkan keadilan, namun juga bisa menjadi senjata pemusnah karakter yang menghancurkan kehidupan seseorang.

Suara Akademisi: Squid Game Kehidupan Nyata Korsel?

Kematian Kim Sae-ron memicu perdebatan sengit tentang batas-batas ‘cancel culture’ di Korea Selatan. Na Jong-ho, seorang akademisi kesehatan jiwa dari Yale University School of Medicine, bahkan menyamakan fenomena ini dengan serial distopia “Squid Game“.

“Saya tidak menganggap masyarakat yang mengenyahkan orang dari masyarakat tanpa memberikan kesempatan untuk pulih hanya karena mereka melakukan kesalahan, adalah masyarakat yang sehat,” tulis Na Jong-ho di media sosialnya, dikutip Rabu (19/2/2025).

“Masyarakat kita yang menelantarkan orang yang melakukan kesalahan atau tertinggal dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa, ibarat Squid Game versi raksasa,” lanjutnya menggambarkan betapa kejamnya tekanan sosial yang dihadapi individu yang terjerat kesalahan di Korea Selatan.

Na Jong-ho bahkan secara blak-blakan menyatakan keyakinannya bahwa kematian Kim Sae-ron adalah “kematian yang didorong ke tepi jurang” oleh ‘cancel culture’.

“Berapa banyak nyawa yang harus hilang sebelum mereka berhenti menekankan rasa malu yang merusak tanpa memberi siapa pun kesempatan untuk bernapas sejenak?” tanyanya retoris, menyuarakan kepedihan dan keprihatinan yang mendalam (ina/dnv).