Empat guru MIN 1 Kota Malang, Murita Herliningtyas dkk, membuktikan semangat literasi hidup dengan menerbitkan karya dalam antologi pentigraf nasional. Simak perjuangan kreatif mereka dalam meramu kisah tiga paragraf yang menggigit.
INDONESIAONLINE – Di balik gerbang Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Kota Malang, semangat literasi tak hanya diajarkan, tetapi juga dipraktikkan dengan penuh gairah oleh para pendidiknya. Empat sosok guru membuktikan bahwa dedikasi mereka melampaui kurikulum, merambah hingga ke panggung sastra nasional.
Adalah Murita Herliningtyas, Nur Rahmah, Rachmawati, dan Idha Fitriani, kuartet pendidik yang berhasil menyumbangkan karya mereka dalam antologi pentigraf nasional berjudul “Betrayal in Every”.
Buku yang resmi dirilis pada pertengahan Juli 2025 ini menjadi saksi bisu bagaimana kisah-kisah mini lahir dari tangan-tangan yang sehari-hari memegang spidol dan membimbing siswa.
Tantangan Seni Bertutur dalam Tiga Paragraf
Keempat guru ini tidak menulis cerpen biasa. Mereka memilih pentigraf, akronim dari cerpen tiga paragraf, sebuah genre mikro-fiksi yang dipopulerkan oleh sastrawan Dr. Tengsoe Tjahjono. Format ini menuntut penulis untuk memadatkan plot, konflik, dan ending yang mengejutkan hanya dalam tiga paragraf ringkas, seringkali tak lebih dari 250 kata.
Bagi mereka, ini adalah tantangan yang memacu adrenalin kreatif. “Bagian tersulit justru di awal dan akhir. Harus bisa langsung memikat, tapi juga meninggalkan kesan yang kuat dan tak terlupakan bagi pembaca,” ungkap Murita Herliningtyas, guru Bahasa Indonesia, saat ditemui di sela-sela kesibukannya.
Murita, yang menyumbang dua judul sekaligus—Kejutan untuk Rose dan Senyum Manis Uka—mengaku proses ini mengajarinya disiplin dalam berekspresi dan memilih diksi yang paling efektif untuk membangkitkan emosi dalam ruang yang sangat terbatas.
Inspirasi dari Kehidupan, Diramu dalam Fiksi
Sumber ilham para guru penulis ini ternyata tak jauh dari keseharian mereka. Nur Rahmah, seorang guru Aqidah Akhlak, melahirkan pentigraf berjudul Pesan untuk Nadia dari pengalamannya bersama sang buah hati.
“Kisahnya sederhana, tentang seorang anak yang terobsesi dengan satu warna. Lalu dalam mimpinya, pensil-pensil warnanya hidup dan berbicara padanya. Ini adalah medium refleksi personal sekaligus latihan mengolah imajinasi,” tutur Nur Rahmah.
Lain lagi perjuangan Rachmawati. Karyanya yang berjudul Rama semula adalah naskah panjang. Ia harus rela memangkas habis bagian-bagian yang ia sukai demi menjaga esensi cerita agar pas dalam format pentigraf. “Banyak bagian yang saya buang, rasanya seperti mengamputasi. Tapi saya harus tetap menjaga nyawa ceritanya agar utuh,” ujarnya.
Sementara itu, Idha Fitriani, yang juga dikenal aktif menulis puisi, mengaku proses kreatifnya penuh pertaruhan emosi. “Kadang saya merasa tidak jujur saat menulis,” ucapnya sambil tertawa.
“Karena saya harus mengubah alur cerita dari rencana awal demi ending yang lebih menggigit,” lanjutnya, menggambarkan dilema yang ia tuangkan dalam karyanya, Dilema Cinta.
Mereka sepakat, sekitar 30 persen dari isi cerita mereka merupakan potongan pengalaman nyata yang kemudian ditenun ulang menjadi fiksi yang memikat.
Akar Literasi yang Terus Bertumbuh
Karya mereka tak berhenti di satu buku. Tiga dari mereka—Murita, Nur Rahmah, dan Rachmawati—juga tercatat sebagai kontributor dalam dua antologi lainnya: Satu Tujuan, Beragam Rintangan (kumpulan cerpen guru) dan Bumi dalam Tawa Anak-anak (antologi parenting).
Ini menunjukkan bahwa produktivitas mereka bukanlah kebetulan, melainkan buah dari kebiasaan dan ekosistem yang mendukung.
Dukungan itu datang langsung dari pimpinan madrasah. Kepala MIN 1 Kota Malang, Hj. Siti Aisah, S.Pd., M.Pd., menerima secara simbolis buku “Betrayal in Every” dari para guru penulis sebagai tanda apresiasi.
“Ini adalah bentuk nyata dari semangat literasi yang hidup di madrasah. Bukan hanya murid yang kami dorong untuk belajar, tapi guru juga harus terus bertumbuh dan berkarya,” tutur Siti Aisah dengan bangga.
Kiprah keempat guru ini menjadi bukti bahwa MIN 1 Kota Malang bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan sebuah kawah candradimuka yang melahirkan penulis-penulis baru dari kalangan pendidiknya sendiri. Sebuah madrasah literat yang tumbuh subur dengan kata, karya, dan keyakinan bahwa setiap cerita, sekecil apa pun, layak untuk didengar (as/dnv).