Denyut Layar Tancap Jombang: Nostalgia di Era Digital

Denyut Layar Tancap Jombang: Nostalgia di Era Digital
Ilustrasi penonton layar tancap yang kini munvul kembali di Jombang, Jatim (deepai/io)

Di tengah gempuran bioskop modern, Surya Film milik Slamet Mujiono menjadi satu-satunya jasa sewa layar tancap di Jombang. Temukan kisah proyektor Xenon dan film seluloid yang menghidupkan kembali memori masa lalu.

INDONESIAONLINE – Deru khas proyektor Xenon memecah hening malam, memproyeksikan cahaya gemetar ke layar putih raksasa. Di hadapannya, puluhan pasang mata terpaku, larut dalam adegan laga kolosal yang pernah jaya tiga dekade silam.

Ini bukan adegan dari film, melainkan pemandangan nyata yang dihadirkan oleh Surya Film, satu-satunya jasa persewaan bioskop keliling atau layar tancap yang tersisa di Jombang.

Di balik layar, Slamet Mujiono (43) dengan cekatan mengoperasikan “mesin waktu” miliknya. Ia bukan sekadar penyedia jasa hiburan, melainkan seorang penjaga memori. Di tengah dominasi sinema digital dan layanan streaming, Slamet memilih untuk menghidupkan kembali romantisme nonton bareng (nobar) ala tempo dulu.

Perjalanan Slamet dengan dunia layar tancap dimulai jauh sebelum Surya Film berdiri. Kenangan bekerja sebagai operator proyektor saat masih duduk di kelas 6 SD tertanam begitu kuat. Berangkat dari nostalgia itulah, pada 2010 ia mulai berburu dan mengumpulkan peralatan layar tancap.

Slamet Mujiono (43) pemilik jasa persewaan bioskop keliling atau layar tancap yang tersisa di Jombang (jtn/io)

“Awalnya murni untuk hobi dan koleksi pribadi. Saya tidak ingin hiburan yang membentuk masa kecil saya ini punah begitu saja,” ujar Slamet saat ditemui di kediamannya di Desa Kauman, Ngoro, Jombang.

Gudangnya kini menjadi sebuah museum sinematik mini. Tiga unit proyektor Xenon antik berdiri gagah di samping tumpukan 83 kaleng film seluloid. Koleksinya adalah harta karun bagi para pencinta film lawas: dari laga, kolosal, romansa, hingga komedi Warkop DKI dari era 70-an hingga film produksi awal 2000-an. Semua ia kumpulkan dari sesama kolektor dengan penuh perjuangan.

Awalnya, koleksi itu hanya untuk dinikmati sendiri. Namun, pada 2021, kabar tentang “harta karun” Slamet menyebar dari mulut ke mulut. Permintaan untuk menyewa layar tancapnya mulai berdatangan, membuktikan bahwa kerinduan akan pengalaman sinema komunal ini masih membara.

“Orang menyewa itu biasanya karena satu alasan utama: ingin nonton bareng sambil bernostalgia. Mereka ingin mengenang kembali serunya masa kecil dulu, duduk di atas tikar, tertawa bersama tetangga,” ucap suami dari Dwi Suryani ini.

Kini, Surya Film menjadi primadona untuk berbagai acara. Mulai dari hiburan hajatan pernikahan, perayaan bersih desa, hingga agenda wajib tahunan: peringatan Hari Kemerdekaan RI. Menurut Slamet, pada bulan Agustus, jadwalnya selalu padat.

“Untuk acara 17-an, yang paling dicari itu film-film perjuangan seperti Pasukan Berani Mati atau Darah Garuda. Walaupun film lama, semangatnya masih terasa relevan,” tandasnya.

Permintaan tak hanya datang dari Jombang. Para pemburu nostalgia dari Mojokerto hingga Sidoarjo rela memanggil Slamet untuk membentangkan layarnya.

Dengan tarif sewa antara Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta, penyewa sudah mendapatkan paket lengkap: tiga judul film pilihan, layar raksasa, dan sistem suara yang memadai untuk menghidupkan suasana.

Bagi Slamet Mujiono, Surya Film lebih dari sekadar bisnis. Ini adalah panggung kecilnya untuk melawan laju zaman, sebuah upaya tulus untuk memastikan generasi baru tahu bahwa sebelum ada bioskop mewah dan gawai canggih, ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari gulungan pita film dan selembar layar tancap di tengah lapangan (ar/dnv).