Di Balik Gemerlap Fast Fashion: Ancaman Lingkungan dan Eksploitasi Pekerja

Di Balik Gemerlap Fast Fashion: Ancaman Lingkungan dan Eksploitasi Pekerja
Limbah pakaian akibat pola belanja fast fashion (Ist)

INDONESIAONLINE – Industri fast fashion telah merevolusi cara kita berpakaian. Pakaian trendi dengan harga terjangkau kini mudah didapatkan, memungkinkan konsumen untuk terus-menerus memperbarui gaya mereka. Namun, di balik kemudahan dan harga murah ini, tersembunyi dampak buruk yang signifikan terhadap lingkungan dan hak asasi manusia.

Istilah fast fashion merujuk pada model bisnis yang memproduksi pakaian dalam volume besar, dengan harga murah, dan dalam waktu singkat, meniru tren terbaru dari peragaan busana. Merek-merek global seperti Zara, H&M, Shein, dan Forever 21 adalah contoh raksasa industri ini.

Sejarah Singkat Fast Fashion

Sebelum revolusi industri, pakaian adalah barang mewah. Produksi manual dan kualitas tinggi membuat pakaian mahal dan tahan lama.

Namun, sejak 1980-an, kemajuan teknologi, seperti mesin jahit, memungkinkan produksi massal dengan biaya rendah. Siklus koleksi yang dulunya hanya dua hingga empat kali setahun, kini bisa berganti dalam hitungan minggu, bahkan hari.

Industri fesyen adalah salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. United Nations Environmental Programme (2018) melaporkan industri ini menghasilkan 92 juta ton limbah tekstil setiap tahun. Di Indonesia, Bappenas mencatat limbah tekstil mencapai 2,3 juta ton per tahun, dan angka ini diperkirakan akan meningkat drastis.

Dino Augusto, akademisi mode dan influencer dengan akun TikTok @dosen_fashyun, mengungkap fakta mengejutkan: “Kita sudah punya suplai pakaian sampai 60 tahun ke depan. Sudah cukup, bahkan berlebihan! Stop belanja fast fashion!”

Dino menyoroti bahwa industri fesyen kini menjadi polutan kedua terbesar di dunia, setelah industri minyak dan gas. Ironisnya, hanya 1% dari pakaian yang diproduksi dapat didaur ulang.

Ultra fast fashion, seperti Shein, bahkan lebih parah. Mereka bisa memproduksi dan mendistribusikan pakaian dalam waktu kurang dari 48 jam,” jelas Dino.

“Dulu produksi baju bisa setahun sekali atau dua kali. Tapi sekarang, dengan bahan sintetis dan pabrik yang beroperasi 24 jam, industri ini menghasilkan asap, polusi kimia, dan limbah dalam jumlah yang sangat besar,” terangnya.

Dino juga menjelaskan bahwa 70% pakaian yang disumbangkan masih layak pakai, tetapi 30% sisanya berakhir di tempat pembuangan sampah, bahkan menumpuk di Gurun Atacama, Ghana, dan Australia.

Daur ulang pun bukan solusi ideal, karena polyester membutuhkan waktu 300 tahun untuk terurai dan prosesnya menghasilkan emisi karbon tinggi.

Eksploitasi Pekerja: Harga Murah, Dibayar dengan Nyawa

Selain dampak lingkungan, fast fashion juga identik dengan eksploitasi tenaga kerja. Banyak merek besar menggunakan pabrik di negara berkembang dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk.

“Di Shein, pekerja bisa bekerja 24 jam tanpa henti dengan upah rendah. Banyak dari mereka bahkan meninggal karena kondisi kerja yang buruk. Apa bedanya ini dengan genosida?” tanya Dino retoris.

Dino mempertanyakan mengapa masyarakat bisa memboikot restoran cepat saji karena alasan etis, tetapi tetap membeli pakaian fast fashion.

“Kita harus melindungi nyawa pekerja di balik pakaian yang kita pakai,” tegasnya.

Dino tidak menyarankan untuk berhenti membeli pakaian sama sekali. Ia mendorong konsumsi yang lebih bijak, seperti memilih produk lokal yang diproduksi secara etis dan ramah lingkungan.

“Kita bisa mulai dengan membeli pakaian yang benar-benar dibutuhkan dan memilih produk dari UMKM lokal yang menggunakan bahan alami serta diproduksi secara wajar,” sarannya (bn/dnv).