INDONESIAONLINE – Setiap kali kita menikmati sepiring nasi hangat yang matang sempurna dari rice cooker, sadarkah kita ada kisah luar biasa di baliknya?
Ini bukan sekadar cerita tentang teknologi, melainkan tentang determinasi, cinta, dan pengorbanan sebuah keluarga di Jepang pasca-Perang Dunia II. Inilah narasi Yoshitada Minami dan istrinya, Fumiko, dua nama yang mungkin tak setenar ciptaan mereka, namun jasanya abadi di jutaan dapur.
Kisah ini berawal di Ehime, Pulau Shikoku, tahun 1955. Yoshitada Minami, seorang pengusaha yang bisnis pemanas airnya terseok-seok setelah pasukan Amerika Serikat angkat kaki, tengah mengadu nasib.

Berbekal koneksi, ia memberanikan diri menemui Matsumoto, kepala pengembangan peralatan rumah tangga Toshiba kala itu.
“Ayah saya memohon pada Matsumoto untuk diizinkan membuat produk apa pun,” kenang Aiji Minami, putra bungsu Yoshitada, mengulang cerita yang didengarnya.
Matsumoto, mungkin sedikit jengkel dengan desakan Yoshitada, melemparkan ide yang dianggapnya sepele: “Ada wacana membuat mesin penanak nasi. Coba deh membuatnya jadi produk.” Sebuah proyek ‘agar sibuk’, tanpa ekspektasi besar.
Namun, Matsumoto dan para petinggi industri yang didominasi pria kala itu tak menyadari betapa revolusionernya gagasan tersebut. Bagi perempuan Jepang, termasuk Fumiko Minami, menanak nasi dengan hagama (periuk tradisional) menggunakan kayu bakar, lalu beralih ke gas, adalah pekerjaan berat yang diulang tiga kali sehari.
“Saya pikir menanak nasi adalah pekerjaan yang sangat berat,” ujar Aiji.
Yoshitada, tanpa bekal pengetahuan menanak nasi, berpaling pada sang istri, Fumiko. Perempuan dari keluarga ksatria terpandang ini, yang ditemui dan dicintai Yoshitada saat bekerja di sebuah restoran besar di Omori, menjadi tulang punggung eksperimen.
Rumah mereka yang riuh, penuh karyawan perusahaan yang tinggal bersama dan kegemaran Yoshitada akan gidayu (nyanyian tradisional Jepang) yang membuatnya sering bepergian, menyerahkan semua beban rumah tangga dan uji coba pada Fumiko.
“Kami anak-anak tidak bisa hanya berdiri menontonnya, jadi kami mulai membantunya,” tutur Aiji.
Sementara anak-anak bertugas memeriksa termometer, Fumiko dengan telaten mencatat suhu di buku catatan sekolah anak-anaknya, bahkan hingga larut malam.
“Ketika kami melihat buku catatan, kami menemukan hasil pengukuran yang dicatat pada pukul 2 atau 3 pagi. Itu menunjukkan ibu saya mengujinya sendiri, bahkan setelah menidurkan anak-anaknya.”
Pengujian dilakukan tanpa kenal lelah dan tempat. Di musim dingin yang menggigit, mereka memasak nasi di atap saat salju turun. Tak jarang, uji coba dilakukan di bawah kotatsu, meja rendah berpenghangat yang populer di Jepang.
Aiji kecil bahkan punya kenangan lucu, “Saya ingat saya bermain di kotatsu dengan seekor kucing dan membalikkan nasi lalu dimarahi.”
Namun, proses ini jauh dari mudah. Nasi yang dihasilkan seringkali gosong atau malah kurang matang. “Sejujurnya, rasanya sangat buruk… Dan nasinya banyak sekali,” kata Aiji, mengingat tugas anak-anak untuk mencicipi hasil eksperimen.
Di tengah perjuangan tanpa henti itu, kesehatan Fumiko mulai menurun. Namun, ia pantang menyerah. Aiji percaya, ibunya berjuang keras sebagai bentuk balas budi kepada orang tua Yoshitada yang tinggal bersama mereka.
Hingga suatu malam, momen pencerahan itu tiba. “Ayah saya membawa pulang mesin penanak nasi pada tengah malam dan memaksa semua orang untuk bangun, ‘kita akan makan ini bersama-sama’,” kenang Aiji.
Mereka memasak nasi dengan prototipe terbaru itu, dan saat suapan pertama masuk ke mulut, seruan lega terdengar: “Ah, ini lezat sekali!”
Mesin penanak nasi itu pun meluncur ke pasar. “Saya tidak tahu angka pastinya, tetapi saat mulai terjual puluhan ribu per bulan,” ujar Aiji.
Penemuan ini bukan sekadar produk, melainkan pembebasan bagi para perempuan dari pekerjaan yang mengikat mereka dua hingga tiga jam sehari.
Surat-surat ucapan terima kasih membanjiri. Beberapa di antaranya sampai ke tangan Fumiko yang terbaring sakit. “Saat itu dia sedang sakit di tempat tidur dan dia mulai menangis ketika membacanya,” ungkap Aiji.
“Saya pikir dia merasa telah mencapai sesuatu yang hebat dalam hidupnya.”
Dari keputusasaan seorang pengusaha, desakan yang ‘mengganggu’, hingga dedikasi tak terhingga seorang istri dan ibu, lahirlah rice cooker. Sebuah inovasi yang tak hanya memudahkan hidup, tapi juga menjadi saksi bisu perjuangan dan cinta keluarga Minami, mengubah cara dunia menanak nasi hingga hari ini.