INDONESIAONLINE – Malam itu, Kamis (13/2/2025) di Shenzhen, langit mungkin ikut berduka. Di tengah gemuruh Stadion Shenzhen Youth Football Training Base Centre, Timnas Indonesia U-20 asuhan Indra Sjafri harus menelan pil pahit kekalahan.
Anak-anak muda Iran dengan determinasi baja, mencambuk Garuda Muda dengan skor telak 0-3. Sebuah kekalahan yang terasa seperti tamparan keras di wajah harapan.
Usai peluit panjang berbunyi, kamera menangkap momen getir. Indra Sjafri, sang arsitek tim, terlihat berdiskusi intens dengan Kurniawan Dwi Yulianto dan Bima Sakti.
Gestur tubuh yang menggambarkan kebuntuan, mungkin juga kekecewaan. Di pinggir lapangan, di antara bayang-bayang kekalahan, terasa aura kepedihan yang merayap. Iran terlalu perkasa, terlalu agresif, dan Garuda Muda seperti kehilangan taring di hadapan mereka.
Kekalahan ini, meskipun pahit, bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada bara asa yang tersimpan di dada para pemain muda. Dua pertandingan sisa di Grup C Piala Asia U-20 2025 menanti.
Terdekat, Uzbekistan sang pemuncak klasemen sementara sudah siap menghadang. Pertandingan di stadion yang sama pada Minggu (16/2) nanti, bukan lagi sekadar laga biasa, melainkan sebuah pertaruhan harga diri.
Uzbekistan datang dengan modal kemenangan 1-0 atas Yaman, sebuah kontras tajam dengan kekalahan Indonesia. Kalkulasi sederhana namun kejam: kalah dari Uzbekistan, maka pintu gerbang menuju babak delapan besar akan terasa berat tertutup. Sebuah mimpi yang mungkin mulai tampak buram di mata para Garuda Muda.
Statistik berbicara, Uzbekistan tak jauh berbeda dengan Iran. Gaya permainan umpan-umpan pendek, tusukan dari sayap, dan umpan silang menjadi senjata utama. Namun, benteng pertahanan Uzbekistan tak sekokoh Iran.
Jumlah clearance mereka tak setinggi lawan sebelumnya. Mereka lebih mengandalkan tekel untuk mematahkan serangan. Secara fisik, postur pemain Uzbekistan dan Indonesia tak terpaut jauh. Pertemuan di laga uji coba tahun lalu, yang berakhir dengan kekalahan tipis 2-3 bagi Indonesia, mungkin bisa menjadi sedikit modal optimisme.
Kini, inilah saatnya Garuda Muda bangkit dari keterpurukan. Momentum krusial bagi Indra Sjafri untuk meramu strategi jitu, bukan hanya di atas lapangan hijau, namun juga dalam membakar kembali semangat juang yang mungkin sempat meredup.
Mata publik menanti racikan serum anti-pressing Uzbekistan yang terkenal rapat dan agresif. Gaya bermain yang terlalu banyak mengulur waktu dengan gocekan individu, niscaya akan menjadi bumerang.
Namun, di balik kekalahan, ada secercah harapan. Semangat juang dan daya tahan pemain, seperti Muhammad Ragil, terlihat semakin matang. Ragil tak lagi mudah terjatuh, gaya mainnya yang dulu bertele-tele pun semakin efektif.
Mungkin, sentuhan taktik bertahan ala Italia yang dikuasai Kurniawan Dwi Yulianto berkat pengalamannya di Como 1907, bisa menjadi kunci. Pertahanan solid, inilah titik krusial yang harus dibenahi.
Kembali lagi, semua bermuara pada bagaimana Indra Sjafri menyikapi cambuk keras dari Iran. Meratapi kekalahan tak akan mengubah keadaan. Yang dibutuhkan adalah rasa terlecut, semangat membara untuk membalas kekalahan. Cambuk Iran, biarlah menjadi pelecut untuk melompat lebih tinggi, bukan meruntuhkan mental.