Diangkat Pahlawan Nasional, Begini Perjuangan Ratu Kalinyamat Melawan Portugis

Diangkat Pahlawan Nasional, Begini Perjuangan Ratu Kalinyamat Melawan Portugis

INDONESIAONLINE – Hari Pahlawan, yang diperingati pada tanggal 10 November, adalah hari yang sakral untuk mengenang perjuangan para pahlawan yang telah berkorban untuk kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia.

Setiap tahun, peringatan ini menjadi momentum penting bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan penghargaan kepada mereka yang telah memberikan jasa besar bagi bangsa dan negara.

Tahun ini, dalam sebuah keputusan bersejarah, pemerintah Indonesia telah menetapkan sejumlah tokoh sebagai Pahlawan Nasional. Keputusan ini dibuat dalam surat resmi yang ditujukan kepada menteri sosial, meminta mereka untuk menghadirkan para ahli waris penerima gelar pahlawan nasional ke Jakarta. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah menyetujui dan menetapkan tokoh-tokoh yang akan dianugerahi gelar pahlawan nasional pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2023 di Istana Negara.

Sejumlah enam tokoh yang mendapatkan kehormatan ini telah ditetapkan dalam keputusan presiden. Salah satu dari mereka adalah Ratu Kalinyamat, seorang tokoh maritim keturunan Majapahit  dan ratu di Jepara, Jawa Tengah, yang memiliki peran besar dalam melawan penjajahan Portugis di Indonesia.

Lima tokoh lainnya adalah Ida Dewa Agung Jambe dari Bali, Bataha Santiago dari Sulawesi Utara, M. Tabrani dari Jawa Timur, KH Abdul Chalim dari Jawa Barat, dan KH Ahmad Hanafiah dari Lampung. Keputusan ini memberikan penghormatan yang layak kepada tokoh-tokoh ini atas jasa-jasa besar yang telah mereka berikan bagi bangsa dan negara Indonesia.

Namun, dalam narasi ini, kita akan fokus pada perjalanan dan perjuangan Ratu Kalinyamat, yang kisahnya luar biasa dan menginspirasi. Siapakah Ratu Kalinyamat dan bagaimana perjuangannya melawan penjajahan Portugis sehingga menjadikannya layak menerima gelar pahlawan nasional?

Ratu Kalinyamat atau yang memiliki nama asli Retna Kencana adalah seorang tokoh maritim dan ratu di Jepara, Jawa Tengah, yang lahir di masa Kerajaan Demak. Dia adalah putri Sultan Trenggana, raja Demak yang memerintah antara tahun 1521-1546. Pada masa muda, Retna Kencana dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat, seorang tokoh asal luar Jawa yang memiliki peran penting dalam sejarah Jepara.

Pangeran Kalinyamat memiliki asal-usul yang diperdebatkan. Tetapi ada berbagai versi tentang asal-usulnya. Salah satu versi menyebutkan bahwa Pangeran Kalinyamat adalah seorang saudagar Tiongkok yang mengalami kecelakaan di laut dan terdampar di pantai Jepara. Versi lain mengatakan bahwa dia berasal dari Aceh dan merupakan putra Sultan Mughayat Syah Aceh. Namun, apa pun asal-usulnya, Pangeran Kalinyamat berguru pada Sunan Kudus dan kemudian berhasil menikahi Retna Kencana, yang kemudian dijuluki Ratu Kalinyamat. Dengan pernikahannya, Pangeran Kalinyamat menjadi anggota keluarga Kerajaan Demak dan memperoleh gelar Pangeran Hadiri.

Ratu Kalinyamat dan Pangeran Kalinyamat memerintah bersama di Jepara, dan ayah angkat Pangeran Kalinyamat, Tjie Hwio Gwan, dijadikan patih bergelar Sungging Badar Duwung, yang juga mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara. Namun, hidup mereka tidak selalu damai. Pada tahun 1549, Sunan Prawata, raja keempat Demak, dibunuh oleh utusan Arya Penangsang, sepupunya yang menjadi adipati Jipang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok, yang milik Sunan Kudus, menancap pada mayat kakaknya itu. Maka, Ratu dan Pangeran Kalinyamat pun berangkat ke Kudus untuk mencari penjelasan.

Sunan Kudus adalah pendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta setelah kematian raja Trenggana (1546). Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian kakaknya. Sunan Kudus menjelaskan bahwa semasa muda, Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Surowiyoto, ayah Arya Penangsang, yang juga dikenal dengan nama Pangeran Sekar Seda Lepen. Sunan Kudus menganggap tindakan Arya Penangsang sebagai balasan yang setimpal. Namun, Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus, dan bersama suaminya, mereka memutuskan untuk pulang ke Jepara.

Di tengah perjalanan pulang, Ratu Kalinyamat dan Pangeran Kalinyamat dikeroyok oleh anak buah Arya Penangsang, dan Pangeran Kalinyamat tewas dalam pertempuran tersebut. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaga, sehingga daerah tempat meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan. Namun, Ratu Kalinyamat berhasil meloloskan diri dari pembunuhan itu dan meneruskan perjalanannya.

Menurut cerita, sambil membawa jenazah Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah sungai. Darah yang berasal dari jenazah Pangeran Kalinyamat menjadikan air sungai berwarna ungu, dan daerah tersebut kemudian dikenal dengan nama Kaliwungu. Ratu Kalinyamat melanjutkan perjalanan ke barat dengan kondisi lelah, melewati Pringtulis, dan karena lelahnya dengan berjalan sempoyongan di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Mayong. Setelah sampai di Purwogondo, bau dari jenazah yang dibawa Ratu Kalinyamat mulai tercium, dan daerah tersebut diberi nama Purwogondo. Perjalanan Ratu Kalinyamat berlanjut hingga mencapai Pecangaan dan akhirnya sampai di Mantingan.

Kisah ini menggambarkan ketabahan Ratu Kalinyamat dalam menghadapi rintangan dan bahaya demi melindungi dirinya dan jenazah suaminya. Di dalam perjalanan ini, ada banyak tamsil atau perumpamaan yang digunakan oleh penulis-penulis Jawa pada masa itu. Kisah Ratu Kalinyamat yang bertapa telanjang juga memiliki makna simbolis dan menggambarkan tekadnya untuk hidup dalam prihatin hingga melihat Arya Penangsang dihukum mati.

Setelah peristiwa tersebut, Ratu Kalinyamat kembali menjadi bupati Jepara. Setelah kematian Arya Penangsang pada tahun 1549, wilayah Demak, Jepara, dan Jipang menjadi bawahan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir. Meskipun demikian, Hadiwijaya tetap memperlakukan Ratu Kalinyamat sebagai tokoh senior yang dihormati.

Ratu Kalinyamat, sebagaimana bupati Jepara sebelumnya (Pati Unus), memiliki sikap yang anti terhadap Portugis. Pada tahun 1550, dia mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 kapal untuk memenuhi permintaan Sultan Johor, yang meminta bantuan untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa itu. Pasukan Jepara tersebut bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu, mencapai 200 kapal perang, dan menyerang dari utara. Mereka berhasil merebut sebagian Malaka, tetapi Portugis berhasil membalasnya. Pasukan Persekutuan Melayu dipukul mundur, sementara pasukan Jepara tetap bertahan.

Namun, baru setelah pemimpin mereka gugur, pasukan Jepara ditarik mundur. Pertempuran selanjutnya terjadi di pantai dan laut, dan menewaskan 2.000 prajurit Jepara. Badai datang menerjang, sehingga dua kapal Jepara terdampar kembali ke pantai Malaka, dan menjadi mangsa bangsa Portugis. Prajurit Jepara yang berhasil kembali ke Jawa tidak lebih dari setengah dari yang berhasil meninggalkan Malaka. Meskipun mengalami kekalahan, Ratu Kalinyamat tidak pernah menyerah.

Pada tahun 1565, Ratu Kalinyamat memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk melawan gangguan Portugis dan kaum Hative. Pada tahun 1564, Sultan Alauddin Al – Qahhar dari Kesultanan Aceh meminta bantuan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka. Saat itu, Demak dipimpin oleh seorang bupati yang mudah curiga, bernama Arya Pangiri, putra Sunan Prawata. Utusan Aceh dibunuh oleh Arya Pangiri, sehingga Aceh akhirnya menyerang Malaka pada tahun 1567 tanpa bantuan dari Jawa. Serangan itu mengalami kebuntuan.

Pada tahun 1573, sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk menyerang Malaka kembali. Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara. Namun, pasukan Jepara tiba di Malaka pada bulan Oktober 1574, ketika pasukan Aceh sudah dipukul mundur oleh Portugis. Pasukan Jepara yang terlambat datang langsung menembaki Malaka dari Selat Malaka, dan esoknya mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tetapi pertahanan itu akhirnya dapat ditembus oleh pihak Portugis, dan sebanyak 30 kapal Jepara terbakar dalam pertempuran tersebut.

Pihak Jepara semakin lemah, tetapi mereka tetap menolak perundingan damai yang terlalu menguntungkan bagi Portugis. Akhirnya, setelah beberapa waktu bertempur, pasukan Jepara memutuskan untuk pulang. Dari jumlah awal yang dikirim oleh Ratu Kalinyamat, hanya sekitar sepertiga saja yang berhasil kembali ke Jawa. Meskipun mengalami dua kali kekalahan yang menyakitkan, Ratu Kalinyamat telah menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang wanita yang pemberani dan berani dalam menghadapi penjajah.

Bahkan, Portugis mencatatnya sebagai “rainha de Japara, senhora poderosa e rica,” yang berarti “Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani.” Kisah perjuangan dan ketabahan Ratu Kalinyamat dalam melawan penjajahan Portugis adalah sebuah contoh yang menginspirasi tentang bagaimana seorang perempuan dapat memimpin dalam situasi yang sulit dan menantang.

Ratu Kalinyamat meninggal dunia sekitar tahun 1579 dan dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara. Selama hidupnya, Ratu Kalinyamat membesarkan tiga orang pemuda, yang kemudian memainkan peran penting dalam sejarah Jawa. Salah satunya adalah adiknya, yaitu Pangeran Timur, putera bungsu Trenggana yang kemudian menjadi bupati Madiun. Yang kedua adalah keponakannya, yaitu Arya Pangiri, putra Sunan Prawata yang kemudian menjadi bupati Demak. Sedangkan yang ketiga adalah sepupunya, yaitu Pangeran Arya Jepara, putra Ratu Ayu Kirana (adik Trenggana).

  1. Pangeran Arya Jepara adalah anak Maulana Hasanuddin, raja pertama Banten. Ketika Maulana Yusuf, raja kedua Banten, meninggal dunia pada tahun 1580, putra mahkotanya masih kecil. Pangeran Arya Jepara memiliki niat untuk merebut takhta Banten, dan pertempuran terjadi di Banten. Namun, setelah pertempuran tersebut, Pangeran Jepara terpaksa mundur setelah Ki Demang Laksamana, panglimanya, gugur di tangan patih Mangkubumi dari Kesultanan Banten. (ar/hel)