Drama di Keraton Yogyakarta: Intrik Kolonial Jatuhkan Pangeran Juminah dari Kursi Putra Mahkota

Drama di Keraton Yogyakarta: Intrik Kolonial Jatuhkan Pangeran Juminah dari Kursi Putra Mahkota
Keagungan Keraton Yogyakarta, saksi bisu sejarah dan budaya Jawa. (instagram)

INDONESIAONLINE – Nama Gusti Raden Mas Pratistha atau Pangeran Juminah mencuat sebagai figur kontroversial dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Sebagai putra mahkota Sultan Hamengkubuwono VII (HB VII), ia disiapkan untuk menjadi Sultan Hamengkubuwono VIII. Namun, campur tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda mengubah takdirnya secara dramatis.

Latar Belakang Pangeran Juminah

Pangeran Juminah lahir dari rahim permaisuri HB VII, Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Kedudukannya sebagai putra mahkota dimulai pada tahun 1893, setelah kakaknya, Pangeran Akhadiyat, wafat di usia 17 tahun. Gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom melekat padanya, menandai statusnya sebagai calon pemimpin tertinggi Kesultanan Yogyakarta.

Namun, di balik prosesi resmi tersebut, muncul dinamika politik yang kompleks. Kesultanan Yogyakarta, meski berstatus kerajaan semi-otonom, tidak lepas dari pengaruh pemerintah Hindia Belanda. Dalam proses pengesahan Juminah sebagai putra mahkota, Belanda menyodorkan kontrak politik bernama Kroonprins Verklaring.

Dokumen yang disodorkan Residen Yogyakarta, Ament, mengandung lima pasal yang merugikan Kesultanan Yogyakarta. Pasal-pasal tersebut mengharuskan Juminah menyerahkan hak monopoli atas garam dan candu serta memberikan izin kepada Belanda untuk membangun rezim kolonial di wilayah kesultanan.

Pangeran Juminah menunjukkan perlawanan pasif. Ia menolak menandatangani kontrak tersebut dengan cara mengulur waktu. Sikap ini memancing kecurigaan Ament. Bagi pemerintah Hindia Belanda, Pangeran Juminah dianggap tidak kooperatif dan berpotensi menjadi ancaman, terlebih dengan sejarah pemberontakan Pangeran Diponegoro yang masih membayangi.

Sebagai putra mahkota, Pangeran Juminah dikenal memiliki kebiasaan yang tak lazim bagi seorang pewaris takhta. Ia sering meninggalkan keraton untuk melakukan meditasi di Pantai Parangkusumo, sebuah tempat yang dipercaya memiliki nilai spiritual tinggi bagi masyarakat Jawa.

Selain itu, ia kerap menziarahi makam Sultan Hamengkubuwono I di Imogiri. Kebiasaan ini memunculkan kekhawatiran di pihak Belanda.

Parangkusumo adalah lokasi yang lekat dengan perjalanan spiritual Pangeran Diponegoro sebelum memimpin Perang Jawa (1825–1830). Sementara makam HB I mengingatkan pada sosok raja yang dikenal anti-kolonial.

Bagi Residen Ament, perilaku Juminah menyiratkan potensi pemberontakan. Sikap independennya bertentangan dengan harapan Belanda yang menginginkan sultan yang tunduk pada kebijakan kolonial.

Krisis Status Putra Mahkota

Pada tahun 1902, Ament mendesak HB VII untuk mencabut status putra mahkota dari Pangeran Juminah. Desakan tersebut didasari tuduhan melanggar adat, meski tuduhan tersebut tidak pernah jelas. HB VII, yang berada di bawah tekanan, memutuskan untuk menggelar Pradata Ageng, pengadilan khusus keraton.

Hasil pengadilan menyatakan bahwa Pangeran Juminah mengalami gangguan kejiwaan. Dengan vonis tersebut, statusnya sebagai calon Sultan Hamengkubuwono VIII dicabut.

Keputusan ini menjadi pukulan besar bagi Juminah, yang sejak saat itu lebih banyak hidup di luar keraton. Ia memilih tinggal di ndalem Buminatan, sebuah tempat yang jauh dari pusat kekuasaan keraton. Takhta yang telah disiapkan untuknya jatuh ke tangan adik kandungnya, Gusti Raden Mas Sudjadi, yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono VIII.

Meski kehilangan takhta, Pangeran Juminah tetap menjalani hidup hingga masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX. Ketika wafat, ia tidak dimakamkan di kompleks Astana Imogiri, tempat peristirahatan para raja Yogyakarta. Sebagai gantinya, jasadnya dikebumikan di kompleks Hastarengga, Kotagede, lokasi yang lebih sering menjadi tempat pemakaman kerabat keraton yang tidak menduduki takhta.

Refleksi Sejarah

Kisah Pangeran Juminah adalah cermin kompleksitas hubungan antara kekuasaan lokal dan dominasi kolonial. Ia menjadi simbol perlawanan pasif terhadap kebijakan imperialisme Belanda, meski harus membayar mahal dengan kehilangan takhta dan martabatnya.

Di balik kisah tragisnya, Pangeran Juminah meninggalkan pelajaran penting tentang integritas dan keteguhan hati dalam menghadapi tekanan politik. Penolakannya terhadap Kroonprins Verklaring menunjukkan keberanian seorang pewaris takhta yang memilih prinsip dibandingkan tunduk pada penjajahan.

Intrik politik yang melibatkan Juminah juga mengingatkan kita akan strategi Belanda dalam mempertahankan kendali atas Kesultanan Yogyakarta. Dengan memanfaatkan tekanan politik dan narasi “gangguan adat,” Belanda berhasil mencegah naiknya seorang sultan yang dianggap potensial melawan kekuasaan kolonial.

Dalam catatan sejarah, Pangeran Juminah sering berada di bawah bayang-bayang penguasa yang menggantikannya. Namun, bagi sejarawan, ia adalah figur penting yang memperlihatkan dinamika kekuasaan di Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Jejak spiritualnya di Parangkusumo dan Imogiri menempatkannya sebagai sosok yang menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur Jawa. Sementara akhir hidupnya di luar pusat kekuasaan menunjukkan dampak nyata dari kolonialisme terhadap struktur kekuasaan tradisional.

Kisahnya, meski berakhir tragis, memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana politik kolonial memengaruhi takhta, adat, dan martabat seorang putra mahkota di tanah Jawa. Dalam sejarah yang penuh intrik, Pangeran Juminah berdiri sebagai pengingat akan pentingnya mempertahankan integritas di tengah badai politik dan kekuasaan.