Kasus pencurian perhiasan senilai Rp 1,7 triliun di Museum Louvre makin rumit. Satu tersangka dibebaskan, dua lainnya didakwa. Perhiasan belum ditemukan. Simak drama dan kritik atas penanganan kasus pencurian sensasional ini.
INDONESIAONLINE – Penyelidikan kasus pencurian perhiasan bernilai fantastis di Museum Louvre, Paris, semakin menyita perhatian publik. Terbaru, pada Sabtu (1/11/2025), seorang tersangka yang sempat ditangkap pekan ini dilaporkan telah dibebaskan tanpa dakwaan, menambah kerumitan dalam upaya pengungkapan salah satu kejahatan seni paling berani di abad ini.
Pengacara tersangka yang tidak disebutkan namanya ini mengonfirmasi pembebasan tersebut, sementara drama hukum terus bergulir pasca-pencurian siang bolong bulan lalu. Kejadian ini mengguncang keamanan museum seni paling ramai di dunia, di mana para pelaku hanya membutuhkan waktu empat menit untuk membawa kabur perhiasan senilai sekitar 102 juta dollar AS (sekitar Rp 1,7 triliun) menggunakan perkakas listrik. Kecepatan dan presisi aksi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang prosedur keamanan Museum Louvre.

Gelombang Penangkapan dan Kritik
Sebelumnya, otoritas Perancis telah menangkap total lima orang terkait kasus ini. Dua pria telah lebih dulu didakwa atas tuduhan pencurian dan konspirasi kriminal, dengan Jaksa Penuntut Paris, Laure Beccuau, menyatakan bahwa keduanya mengakui sebagian tuduhan. Mereka diduga berperan sebagai eksekutor yang masuk ke galeri, sementara rekan lainnya menunggu di luar.
Namun, tim kuasa hukum Sofia Bougrine dan Noemie Gorin mengkritik keras proses penangkapan yang dinilai terburu-buru. “Dalam kasus-kasus kriminal berat seperti ini, kami melihat gelombang penangkapan yang lebih menyerupai jaring apung,” ujar Bougrine kepada AFP, mengindikasikan adanya kekhawatiran terhadap penegakan hukum yang serampangan dan potensi salah tangkap.
Pada Sabtu dini hari, sejumlah tersangka lain mulai dihadirkan di pengadilan Paris, namun kejaksaan tidak merinci jumlah pastinya. Hingga kini, barang curian dari Museum Louvre, yang diperkirakan termasuk permata langka dan artefak bersejarah, masih belum ditemukan.
Tangisan di Persidangan dan Dilema Kemanusiaan
Dalam perkembangan terpisah, seorang perempuan yang menjadi salah satu tersangka pencurian ini sempat menangis di persidangan. Bertempat tinggal di La Courneuve, pinggiran utara Paris, perempuan tersebut menyatakan kekhawatirannya atas anak-anaknya dan kondisi dirinya. Ia didakwa atas keterlibatan pencurian terorganisir dan konspirasi kriminal.
Hakim menyetujui penahanannya dengan pertimbangan risiko kolusi dan potensi gangguan terhadap ketertiban umum. Pengacaranya, Adrien Sorrentino, menegaskan bahwa kliennya membantah tuduhan tersebut dan kini berada dalam kondisi terpuruk.
“Ini perampokan yang spektakuler, dan keputusan penahanan ini juga sangat drastis. Seorang ibu muda kini ditahan padahal masih dianggap tidak bersalah,” ujar Sorrentino, menyoroti dilema kemanusiaan di balik kasus kejahatan besar ini.
Seorang pria berusia 37 tahun yang juga ditahan menghadapi dakwaan serupa. Ia diketahui masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atas kasus pencurian sebelumnya, dan kini ditempatkan dalam tahanan pra-sidang. Jaksa Beccuau menyatakan bahwa kedua individu tersebut membantah keterlibatan dalam peristiwa tersebut.
Fakta dan Konteks: Pencurian Seni di Kancah Global
Pencurian di Museum Louvre ini bukan kali pertama terjadi dan menyoroti kerentanan institusi budaya besar. Sejarah mencatat beberapa pencurian seni paling terkenal:
Pencurian Mona Lisa (1911): Meskipun akhirnya ditemukan, kasus ini menunjukkan bagaimana karya seni tak ternilai bisa hilang dari museum paling prestisius.
Pencurian di Isabella Stewart Gardner Museum (1990): Ini adalah salah satu pencurian seni terbesar yang belum terpecahkan, di mana 13 karya seni senilai lebih dari 500 juta dollar AS hilang. Kasus ini menunjukkan betapa sulitnya melacak dan memulihkan barang curian berharga.
Data dari Art Loss Register, database seni curian terbesar di dunia, menunjukkan bahwa setiap tahun ribuan kasus pencurian seni dilaporkan, dengan hanya sebagian kecil yang berhasil ditemukan. Mayoritas karya seni yang dicuri seringkali berakhir di pasar gelap internasional yang sangat terorganisir, atau bahkan disimpan secara pribadi oleh kolektor gelap. Kasus Louvre dengan nilai Rp 1,7 triliun menempatkannya di antara pencurian seni terbesar dalam sejarah modern.
Penyelidikan atas pencurian Louvre masih jauh dari usai. Dengan satu tersangka dibebaskan dan perhiasan yang masih raib, tekanan terhadap pihak berwenang untuk mengungkap kebenaran di balik kejahatan berani ini semakin meningkat. Keamanan museum global kini kembali dipertanyakan.













