Kericuhan mewarnai banjir Aceh. Dave Laksono (DPR RI) serukan solidaritas dan menahan diri saat bendera Bulan Bintang berkibar di tengah bencana.
INDONESIAONLINE – Langit di atas Bumi Serambi Mekkah masih menyisakan kelabu yang pekat, seolah enggan berhenti menangis. Hujan yang mengguyur tanpa ampun selama beberapa pekan terakhir telah mengubah lanskap Aceh menjadi hamparan air keruh, merendam ribuan rumah, melumpuhkan sendi ekonomi, dan memaksa ribuan jiwa menatap nasib dari balik tenda pengungsian.
Namun, di tengah gemuruh air bah yang menghantam fisik, sebuah gemuruh lain—yang lebih panas dan berbahaya—meletup di jalanan aspal Simpang Kandang, Lhokseumawe.
Bencana alam, dalam sejarah manusia, sering kali menjadi panggung paradoks: ia melahirkan solidaritas kemanusiaan yang paling murni, tetapi di saat yang sama, ia juga mampu menyingkap luka lama politik yang belum sepenuhnya kering.
Jumat itu, 26 Desember 2025, seharusnya menjadi hari refleksi. Angka di kalender itu mengingatkan pada memori kolektif dua dekade silam tentang Tsunami yang meluluhlantakkan tanah ini. Namun, realitas di lapangan berbicara lain.
Iring-iringan massa bergerak, bukan hanya membawa bantuan pangan, melainkan membawa simbol-simbol yang sarat makna politis. Di antara deru mesin kendaraan dan genangan lumpur, bendera Bulan Bintang berkibar bersisian dengan bendera putih, menantang angin dan otoritas negara.
Spanduk-spanduk dibentangkan dengan tuntutan yang menusuk langsung ke jantung pemerintahan pusat di Jakarta: tetapkan banjir Sumatera sebagai Bencana Nasional, atau anggap Perjanjian Helsinki telah dikhianati.

Gesekan di Jalan Nasional: Ketika Aspirasi Membentur Ketertiban
Jalan Nasional Banda Aceh-Medan, urat nadi logistik yang vital itu, seketika berubah menjadi arena ketegangan. Petugas gabungan TNI-Polri, yang dipimpin langsung oleh Komandan Korem (Danrem) 011/Lilawangsa, Kolonel Infanteri Ali Imran, berdiri sebagai barikade ketertiban.
Bagi aparat keamanan, jalan raya yang macet di tengah bencana adalah penghambat distribusi logistik yang fatal. Namun, bagi massa demonstran, jalan raya adalah panggung satu-satunya agar teriakan mereka didengar oleh Istana.
Bentrokan tak terelakkan. Suara peringatan, dorong-mendorong, hingga pembubaran paksa mewarnai siang yang mendung itu. Kabar tentang seorang warga yang diamankan karena diduga membawa senjata menambah ketegangan atmosfer, mengubah misi kemanusiaan menjadi isu keamanan nasional.
Di Jakarta, ribuan kilometer dari titik kericuhan, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, merespons peristiwa ini dengan nada prihatin yang mendalam. Ia memahami bahwa di balik amarah massa, terdapat keputusasaan korban bencana yang merasa ditinggalkan.
“Saya memahami bahwa masyarakat memiliki niat baik untuk menyalurkan bantuan kepada korban bencana, sekaligus menyuarakan aspirasi agar penanganan banjir mendapat perhatian lebih dari pemerintah pusat,” ujar Dave dalam keterangan resminya.
Suaranya mewakili pandangan moderat yang mencoba menjembatani dua kubu yang bersitegang. Namun, sebagai wakil rakyat yang membidangi pertahanan dan luar negeri, Dave menarik garis tegas.
Situasi darurat bencana, menurutnya, adalah momen di mana ego politik harus diredam demi keselamatan nyawa. “Dalam situasi darurat seperti ini, setiap pihak perlu menahan diri agar tidak terjadi gesekan yang justru memperburuk keadaan,” tambahnya.
Narasi Bencana Nasional dan Bayang-Bayang Helsinki
Tuntutan massa agar banjir di Aceh dan Sumatera ditetapkan sebagai “Bencana Nasional” bukanlah sekadar teriakan kosong. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penetapan status bencana nasional memiliki implikasi besar: tanggung jawab pendanaan, komando, dan sumber daya sepenuhnya diambil alih oleh pemerintah pusat. Massa merasa skala kerusakan yang terjadi saat ini sudah melampaui kapasitas pemerintah daerah.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Desember 2025 memang menunjukkan intensitas hidrometeorologi yang ekstrem di wilayah Sumatera bagian utara. Curah hujan yang tinggi, diperparah dengan degradasi lingkungan di hulu sungai, menyebabkan banjir bandang yang menyapu infrastruktur vital di Aceh Tamiang, Aceh Utara, hingga Lhokseumawe.
Namun, yang membuat situasi di Simpang Kandang menjadi rumit adalah dikaitkannya penanganan bencana ini dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005.
Perjanjian damai yang mengakhiri konflik tiga dekade antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu adalah dokumen sakral bagi masyarakat Aceh. Mengangkat narasi bahwa “Pusat melanggar Helsinki jika tidak menetapkan bencana nasional” adalah sebuah peringatan keras bahwa ketidakpuasan sosial akibat bencana alam dapat bermetamorfosis menjadi ketidakpuasan politik yang membahayakan integrasi.
Pengibaran bendera Bulan Bintang, yang dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 disahkan sebagai bendera daerah namun masih menjadi polemik dengan pemerintah pusat, semakin menegaskan bahwa aksi tersebut bukan sekadar soal mie instan dan selimut, melainkan soal pengakuan dan keadilan yang dirasa belum tuntas.
Seruan Solidaritas di Tengah Polarisasi
Dave Laksono melihat bahaya dari eskalasi ini. “Peristiwa ini sangat disayangkan, terlebih terjadi di tengah kondisi bencana banjir yang seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat solidaritas dan kepedulian bersama,” jelas politisi Golkar tersebut.
Ia menekankan bahwa bencana tidak mengenal warna bendera atau afiliasi politik. Air bah merendam rumah pendukung pemerintah maupun oposisi tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, gesekan fisik antara aparat dan warga sipil adalah hal terakhir yang dibutuhkan Aceh saat ini.
Langkah pemerintah pusat melalui BNPB yang meminta Polri menambah kekuatan dengan mengirimkan dua Satuan Setingkat Batalyon (SSK) Brimob ke Aceh menunjukkan keseriusan Jakarta dalam menjaga stabilitas. Prioritas penguatan personel difokuskan di Aceh Tamiang dan wilayah terdampak parah lainnya, tidak hanya untuk keamanan, tetapi juga untuk membantu proses Search and Rescue (SAR).
Dave berharap, kehadiran pasukan tambahan ini tidak disalahartikan sebagai bentuk represifitas, melainkan sebagai upaya negara hadir mempercepat pemulihan. “Penanganan bencana harus menjadi prioritas utama, sementara perbedaan pandangan politik hendaknya disalurkan melalui mekanisme yang tepat,” tegas Dave.
Manusia di Atas Segalanya
Tragedi di Simpang Kandang mengajarkan kita sebuah pelajaran mahal tentang manajemen krisis di daerah pasca-konflik. Trauma masa lalu membuat masyarakat lebih sensitif terhadap kehadiran aparat bersenjata, sementara aparat memiliki kewajiban konstitusional untuk menjaga ketertiban umum dan simbol negara.
Di tengah tarik-menarik kepentingan ini, korban banjirlah yang paling menderita. Mereka menunggu bantuan logistik yang mungkin terhambat karena jalan diblokir aksi massa, atau tertahan karena prosedur keamanan yang diperketat pasca-kericuhan.
Seruan Dave Laksono untuk “menahan diri” adalah sebuah oase rasionalitas. Menahan diri bukan berarti diam terhadap ketidakadilan distribusi bantuan, tetapi menunda konflik demi memprioritaskan nyawa manusia.
“Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran berharga untuk menjaga persatuan, mengedepankan kemanusiaan, dan memperkuat kepercayaan antara masyarakat dan aparat,” pungkas Dave.
Sejarah mencatat, Aceh adalah tanah para pejuang yang tangguh. Namun, musuh kali ini bukanlah manusia, melainkan alam yang sedang murka. Untuk menghadapinya, tidak dibutuhkan bendera yang berbeda-beda atau senjata yang menyalak, melainkan tangan-tangan yang saling bergandengan, melupakan sejenak ego sektoral demi menyelamatkan tanah Rencong dari tenggelam.
Malam kembali turun di Lhokseumawe. Hujan rintik masih membasahi jalanan aspal yang siangnya memanas oleh amarah. Di kejauhan, sirine ambulans dan truk militer terdengar bersahutan, sebuah simfoni pilu tentang negeri yang sedang berjuang untuk pulih—baik dari luka alam maupun luka sejarah.













