Efisiensi Anggaran Hantam Industri Perhotelan: Okupansi Hotel Kota Batu Anjlok

Efisiensi Anggaran Hantam Industri Perhotelan: Okupansi Hotel Kota Batu Anjlok
Ilustrasi hotel di Kota Batu, Jatim. Di mana kebijakan efisiensi anggaran pemerintah berimbas pada anjloknya okupansi hotel (ai/io)

INDONESIAONLINE – Industri perhotelan Tanah Air, khususnya di Kota Batu, tengah menghadapi masa sulit. Penurunan okupansi drastis disebut akibat dampak langsung dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengklaim daya beli masyarakat yang melemah telah membuat sektor jasa akomodasi limbung.

Hal tersebut disoroti Ketua BPC PHRI Kota Batu, Sujud Hariadi, yang menilai kondisi industri perhotelan masih jauh dari pulih sepenuhnya, bahkan setelah pemerintah pusat mulai memberi kelonggaran.

“Sekarang ini lebih rumit karena adanya efisiensi. Operasi hotel jadi serba hati-hati, harus aman dan selaras dengan kebijakan pemerintah,” ungkap Sujud, Kamis (12/6/2025).

Direktur PT Selecta itu memaparkan, pengetatan belanja pemerintah secara langsung berimbas pada penurunan daya beli masyarakat, yang kemudian memukul okupansi hotel dan jumlah kegiatan yang seharusnya terselenggara di sektor akomodasi.

“Karena pemerintah menahan belanjanya, otomatis daya beli masyarakat ikut melemah. Ini berdampak luas, bukan hanya di perhotelan,” terang Sujud.

Ketua BPC PHRI Kota Batu Sujud Hariadi

Kebijakan Bertentangan: Rapat Boleh, Uang Saku Dilarang

Meski demikian, Sujud menyambut baik sinyal positif dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memberi lampu hijau bagi kegiatan rapat di hotel, asal tidak berlebihan. Namun, harapan itu kembali pupus dengan pernyataan Kementerian Keuangan yang melarang pemberian uang saku untuk kegiatan rapat.

Kebijakan ini, kata Sujud, tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan okupansi hotel.

“Maka penting untuk pelepasan anggaran pemerintah, baik APBN maupun APBD untuk menggerakkan sektor ekonomi lainnya,” tegas Sujud.

Ia meyakini, jika pemerintah benar-benar mengalirkan belanjanya secara merata ke berbagai sektor, daya beli masyarakat akan terangkat, dan pada gilirannya, sektor perhotelan juga akan ikut terdongkrak.

Kerugian Ganda: Instansi Pemerintah Hingga Wisatawan Loyo

Data internal PHRI Kota Batu menunjukkan sekitar 30 persen pendapatan sektor perhotelan di wilayah tersebut berasal dari kegiatan instansi pemerintah, meskipun angka ini masih estimasi. Ironisnya, dari sektor wisatawan, penurunan mencapai lebih dari 50 persen, termasuk dari kalangan korporasi.

“Kita kehilangan sekitar 30 persen dari sektor pemerintahan, ditambah dari wisatawan dan korporat juga turun. Bahkan, daya beli wisatawan sendiri juga ikut melemah,” beber Sujud, menggambarkan tekanan ganda yang dihadapi industri.

Tak hanya itu, Sujud juga menyoroti kebijakan larangan bepergian keluar provinsi bagi instansi pemerintah, seperti yang sempat disampaikan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur. Ia menilai pernyataan tersebut kurang bijak dan perlu disampaikan dengan bahasa yang lebih halus, mengingat dampaknya pada sektor pariwisata.

“Seharusnya menggunakan pendekatan yang lebih persuasif. Tidak langsung melarang begitu saja. Apalagi banyak anak sekolah yang sudah menabung untuk bisa berwisata,” ujar Sujud.

Ia berharap pemerintah tetap membuka sektor pariwisata dan terus mendukung promosi, meskipun dengan efisiensi anggaran. Namun, ia pesimis dengan hasil jika daya beli masyarakat terus terpuruk.

“Kalau daya beli lemah, hasilnya ya tetap segitu-segitu saja,” pungkasnya (pl/dnv).