Efisiensi Anggaran Pusat Picu Alarm Bahaya 19.600 Pekerja Kontrak Jatim

Efisiensi Anggaran Pusat Picu Alarm Bahaya 19.600 Pekerja Kontrak Jatim
Pj Gubernur Jatim sikapi efisiensi anggaran dari pemerintah pusat (jtn/io)

INDONESIAONLINE – Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat, yang awalnya digadang-gadang sebagai langkah penyelamatan fiskal negara, kini justru memicu gelombang kecemasan di tingkat daerah. Jawa Timur (Jatim), salah satu provinsi dengan kontribusi ekonomi terbesar di Indonesia, merasakan betul getaran dampak kebijakan ini.

Pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat, bak pisau bermata dua, mengancam stabilitas finansial daerah dan nasib ribuan pekerja kontrak.

Pj Gubernur Jatim Adhy Karyono dalam pernyataan terbukanya, tidak menyembunyikan kekhawatiran mendalam. “DAU dan DAK dari pemerintah pusat akan dipangkas. Ini bukan hanya untuk Pemprov Jatim, tapi juga seluruh kabupaten/kota se-Jatim,” ungkapnya dengan nada serius.

Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025, yang ditandatangani pada 22 Januari 2025 menjadi pangkal malapetaka finansial ini. Adhy mengingatkan, dampak pemangkasan ini bukan main-main, mencapai ratusan miliar rupiah.

“DAU dan DAK berkurang hampir Rp200 miliar. Kita dipaksa menggantinya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bagi daerah yang PAD-nya kuat, mungkin masih bisa bernapas. Tapi bagi daerah yang ketergantungannya tinggi pada DAU, ini adalah bencana besar,” tegas Adhy.

Lebih dari sekadar angka-angka anggaran, pemangkasan ini menyentuh langsung urat nadi kehidupan banyak orang. Adhy blak-blakan mengakui, dampak paling krusial adalah pada anggaran gaji pegawai, khususnya tenaga honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Di Jatim, jumlah mereka mencapai angka fantastis: 19.600 jiwa. Sebuah armada besar pekerja kontrak yang kini terombang-ambing di tengah ketidakpastian.

Status 19.600 pekerja ini pun tak seragam, menambah kompleksitas masalah. Sebagian sudah lulus tes PPPK, namun sebagian lainnya, meski belum lulus, tetap dipekerjakan sebagai tenaga paruh waktu.

“PPPK yang belum lulus tetap kita gaji dan beri tunjangan sama. Ini komitmen kita. Tapi tantangannya ada pada honorer dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang belum terdata di BKN,” jelas Adhy.

Kendala teknis, mulai dari minimnya kemampuan IT hingga kelalaian input data, menjadi batu sandungan bagi mereka untuk terdaftar dalam sistem kepegawaian negara.

Pemprov Jatim, di bawah kepemimpinan Adhy, memang berupaya keras mengakomodasi seluruh pekerja kontrak ini. Namun, di tingkat kabupaten/kota, situasinya jauh lebih pelik.

“Banyak daerah PAD-nya kecil. Sementara gaji pegawai, termasuk honorer dan PPPK, itu ratusan miliar,” keluh Adhy.

Ketergantungan pada DAU menjadi jebakan maut bagi daerah-daerah dengan PAD minim. “Terutama daerah minus, yang 60 persen anggarannya bergantung pada pusat. Pemangkasan DAU ini seperti mencabut nyawa mereka,” lanjutnya dengan nada getir.

Dalam situasi genting ini, Adhy meminta seluruh kabupaten/kota di Jatim untuk segera melakukan penyesuaian anggaran. Inpres No. 1 Tahun 2025 adalah hukum besi yang tak bisa dihindari.

“Daerah harus lebih kreatif memanfaatkan PAD dan melakukan efisiensi. Tidak ada jalan lain. Jika tidak, dampaknya akan sangat berat, terutama bagi tenaga honorer dan PPPK yang statusnya masih belum jelas,” serunya. 

Adhy juga menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat. Solusi jangka panjang harus segera dicari. Di tingkat daerah, moratorium penerimaan honorer tanpa perencanaan matang adalah keniscayaan. “Jangan lagi ada penambahan honorer tanpa perhitungan yang jelas. Ini akan memperburuk situasi,” katanya.

Di sisi lain, Adhy mengimbau para tenaga honorer dan PPPK untuk terus memantau perkembangan kebijakan ini. Pemerintah kabupaten/kota juga diminta mempercepat proses verifikasi data dan pengangkatan honorer yang memenuhi syarat.

“Kita berharap tidak ada yang dirugikan. Tapi semua pihak harus memahami, efisiensi anggaran ini adalah keharusan. Kita semua harus berkorban,” tandas Adhy (mca/dnv).