Fajar Berdarah di Yogyakarta: Geger Sepehi dan Luka Abadi Tahta Mataram

Fajar Berdarah di Yogyakarta: Geger Sepehi dan Luka Abadi Tahta Mataram
Ilustrasi Geger Sepehi (Ist)

Menguak kisah Geger Sepehi 1812, saat fajar berdarah menyelimuti Keraton Yogyakarta. Sebuah tragedi penyerbuan Inggris yang didalangi Raffles, dipicu intrik, dendam, dan pengkhianatan yang meruntuhkan benteng Mataram dari dalam.

INDONESIAONLINE – Fajar belum genap merekah di langit Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Udara pagi yang dingin dirobek bukan oleh suara azan, melainkan oleh dentuman kanon yang memekakkan telinga.

Dari balik kabut tipis, bayangan-bayangan legam bergerak lincah. Mereka adalah laskar Sepehi, prajurit bayaran dari India dengan sorban melilit kepala dan bayonet terhunus di bawah mentari pucat. Di bawah bendera Union Jack, mereka memanjat tangga-tangga bambu, merangsek masuk ke jantung peradaban Jawa, Keraton Yogyakarta.

Di belakang barisan serdadu asing itu, berdiri seorang arsitek ambisius: Thomas Stamford Raffles. Letnan Gubernur Inggris itu tidak hanya datang untuk menaklukkan sebuah kota; ia datang untuk membungkam sebuah harga diri, merampas sebuah warisan, dan menulis ulang takdir Mataram.

Peristiwa yang kelak dikenang dengan getir sebagai Geger Sepehi ini bukanlah sekadar invasi militer. Ia adalah babak akhir dari sebuah panggung tragedi yang naskahnya ditulis dengan tinta dendam, pengkhianatan, dan perebutan kuasa.

Api dalam Sekam: Panggung Politik Jawa yang Bergejolak

Jawa di awal abad ke-19 adalah sebuah papan catur raksasa. Runtuhnya VOC tak memadamkan api kolonialisme; ia hanya mengganti pemainnya. Belanda tumbang di hadapan Napoleon, dan Inggris, dari basis kekuatannya di Kalkuta, melihat Jawa sebagai permata yang tak boleh lepas. Pada September 1811, Batavia jatuh, dan Raffles menjejakkan kaki sebagai penguasa baru.

Bagi Keraton Yogyakarta, pergantian rezim ini bak angin harapan yang sesat. Sultan Hamengkubuwana II, yang dijuluki Sultan Sepuh karena wataknya yang keras dan anti-Eropa, dikembalikan ke takhta oleh Inggris setelah sempat dilengserkan Belanda.

Namun, bulan madu itu singkat. Raffles dan residennya, John Crawfurd, melihat Sultan Sepuh bukan sebagai sekutu, melainkan sebagai duri dalam daging. Di balik upacara pengembalian takhta yang megah, kecurigaan dan ambisi saling mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menerkam.

Benteng terkuat selalu runtuh dari dalam. Hamengkubuwana II, dengan semangat perlawanannya, diam-diam merajut aliansi dengan Surakarta untuk mengusir “wong Keling lan wong Bule” (orang India dan orang Bule). Namun, dinding istana punya telinga. Surat-surat rahasianya sampai ke tangan Crawfurd.

Di sisi lain, Raffles memainkan bidak-bidaknya dengan lihai. Ia menemukan sekutu pada Raden Mas Surojo (putra Sultan Sepuh yang pernah menjadi Hamengkubuwana III) dan Pangeran Natakusuma.

Keduanya melihat kejatuhan Sultan Sepuh sebagai tangga menuju puncak kuasa. Sementara itu, di Mangkunegaran, api dendam pribadi ikut menyulut konflik besar ini. KGPAA Mangkunegara II, yang sakit hati karena batalnya pernikahan putranya dengan putri Sunan Pakubuwana IV, menjadikan dendamnya sebagai modal politik. Ia bersekutu dengan Raffles, menawarkan legiun prajuritnya yang tersohor untuk menghancurkan musuh bersama.

Politik divide et impera menemukan panggungnya yang paling subur: di antara ayah dan anak, antar kerabat, dan di antara dua kutub Mataram, Yogyakarta dan Surakarta.

20 Juni 1812: Benteng yang Runtuh dari Dalam

Malam sebelum penyerbuan, keluarga Pangeran Natakusuma telah diungsikan ke Benteng Vredeburg, mengenakan secarik kain putih di lengan sebagai tanda kawan. Pagi buta itu, serangan dilancarkan dari sisi timur keraton, titik terlemahnya.

Tangga-tangga bambu yang digunakan pasukan Sepehi untuk memanjat tembok disediakan oleh seorang Kapitan Tionghoa, Tan Jin Sing, menambah daftar panjang pengkhianat.

Perlawanan yang dipimpin Raden Arya Sindureja berlangsung heroik namun sia-sia. Mereka hanya noktah kecil di hadapan badai mesiu dan baja Inggris. Menurut Babad Bedhahing Kraton, Raden Mas Surojo-lah yang secara langsung menunjukkan ayahnya di mana titik pertahanan keraton yang paling rapuh.

Di tengah kekacauan itu, seorang pangeran muda berusia 27 tahun, Raden Mas Antawirya—yang kelak kita kenal sebagai Pangeran Diponegoro—menyaksikan kehancuran itu dengan mata kepala sendiri. Tragedi ini menggoreskan luka mendalam yang kelak menyulut apinya sendiri dalam Perang Jawa.

Sore harinya, Sultan Hamengkubuwana II ditangkap. Harga dirinya sebagai raja Jawa dilucuti. Ia diasingkan ke Pulau Pinang, sementara putranya, Raden Mas Surojo, naik takhta sebagai Hamengkubuwana III.

Harta Karun yang Terampas, Sejarah yang Terluka

Kemenangan Inggris diikuti oleh penjarahan paling sistematis dalam sejarah Nusantara. Selama empat hari, gerobak-gerobak mengangkut harta karun keluar dari keraton. Bukan hanya emas, berlian, dan gamelan pusaka yang dirampas, tetapi juga jantung spiritual Mataram: lebih dari tujuh ratus naskah kuno yang berisi catatan sejarah, sastra, dan ilmu pengetahuan.

Memori kolektif sebuah peradaban dicabut paksa, kini tersebar di museum-museum Eropa, menjadi artefak bisu dari sebuah tragedi.

Sebagai hadiah atas “kesetiaannya”, Pangeran Natakusuma diangkat menjadi Pangeran Merdika dengan gelar Paku Alam I, dan tanah Yogyakarta dipotong untuk membentuk kadipaten baru. Keraton yang dulu perkasa, kini tak lebih dari macan ompong yang kekuatan militernya dilucuti habis-habisan.

Geger Sepehi adalah monumen pahit tentang bagaimana sebuah kekuatan besar bisa ditaklukkan. Bukan hanya oleh meriam dan senapan, tetapi oleh retakan yang ada di rumah sendiri.

Ia menjadi gema peringatan di lorong waktu, bahwa dalam perebutan takhta, musuh dari seberang lautan sering kali hanya perlu menunggu pintu dibukakan dari dalam (ar/dnv).