Serangan Israel di Gaza memicu kolapsnya layanan kesehatan, pengungsian massal, dan krisis kemanusiaan akut. RS kewalahan, ribuan mencari perlindungan.
INDONESIAONLINE – Jalur Gaza kembali menjadi saksi bisu eskalasi konflik yang mematikan, di mana intensitas serangan militer Israel mencapai titik kritis, mendorong sistem kesehatan regional ke ambang kehancuran. Ribuan warga Palestina kini terjebak dalam pusaran pengungsian massal, mencari perlindungan dari gempuran yang tak henti, sementara rumah sakit-rumah sakit yang tersisa berjuang menghadapi gelombang korban luka yang tak terhenti.
Situasi di Gaza bagian tengah, yang kini menjadi tujuan utama para pengungsi dari wilayah utara yang dibombardir, digambarkan sangat genting.
Al Jazeera (28/9/2025) melaporkan bagaimana fasilitas medis yang masih beroperasi, seperti Rumah Sakit Al-Aqsa, kewalahan menampung pasien. Dr. Khalil Digran, seorang narasumber dari RS Al-Aqsa, mengonfirmasi bahwa pasukan Israel bahkan menargetkan Rumah Sakit Anak al-Rantisi—satu-satunya fasilitas khusus anak di Kota Gaza, memperparah keputusasaan bagi keluarga-keluarga.
“Kota Gaza dan wilayah utara kini hanya memiliki dua fasilitas kesehatan yang hampir tidak berfungsi: Rumah Sakit al-Shifa dan al-Ahli,” ungkap Dr. Digran kepada Al Jazeera.
“Serangan Israel menambah tekanan besar pada fasilitas kesehatan yang tersisa di Gaza tengah dan selatan, bahkan mengancam menghentikan layanan mereka sepenuhnya,” lanjutnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi kerapuhan sistem kesehatan yang telah lama terbebani oleh blokade dan konflik berulang.
Krisis Pengungsian: Beban Ganda Kemanusiaan
Gelombang pengungsian massal, menurut UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) telah mencapai ratusan ribu orang sejak awal eskalasi ini, memperburuk kondisi kesehatan di Gaza. PBB telah memperingatkan bahwa lebih dari 1,7 juta orang atau 75% dari total populasi Gaza telah mengungsi secara internal sejak 7 Oktober 2023, sebagian besar mencari perlindungan di selatan.
Ini berarti kepadatan penduduk di area-area pengungsian telah meningkat drastis, memicu kekhawatiran akan penyebaran penyakit dan kekurangan sumber daya esensial.
Sebuah gambaran nyata dari krisis ini datang dari kisah Mohammad Khoudary, seorang pengungsi Palestina, yang menceritakan kondisi ayahnya pascaevakuasi.
“Sejak kami mengungsi, ayah saya sangat sedih dan mengalami dehidrasi. Saya berharap dia bisa segera dipindahkan ke Rumah Sakit Al-Aqsa,” ujarnya, mencerminkan dilema ribuan keluarga lain yang menghadapi tantangan serupa di tengah perjalanan yang melelahkan dan penuh bahaya.
Tekanan pada fasilitas kesehatan begitu ekstrem hingga para dokter di beberapa rumah sakit terpaksa menempatkan dua pasien dalam satu tempat tidur, sebuah praktik yang tak terbayangkan dalam kondisi normal, namun kini menjadi realitas pahit.
Korban Jiwa dan Ancaman Kolaps Total
Badan Pertahanan Sipil Gaza melaporkan bahwa sejak Jumat (26/9/2025), sedikitnya 50 orang tewas akibat serangan Israel di berbagai wilayah, dengan sekitar 30 korban jiwa berasal dari Kota Gaza.
Angka-angka ini terus bertambah, menambah daftar panjang korban jiwa dan luka di tengah agresi yang diklaim Israel ditujukan untuk menghantam kelompok Hamas. Namun, kenyataannya, dampaknya dirasakan secara langsung oleh ratusan ribu warga sipil yang kini harus meninggalkan rumah mereka.
Kekurangan obat-obatan esensial, peralatan medis, hingga tenaga kesehatan yang berdedikasi menjadi tantangan terbesar. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) telah berulang kali menyuarakan kekhawatiran tentang krisis ini, menyatakan bahwa stok medis vital akan segera habis dalam hitungan hari jika bantuan tidak segera masuk.
Tanpa intervensi kemanusiaan yang signifikan, para tenaga medis memperingatkan bahwa fasilitas kesehatan di wilayah tengah dan selatan Gaza berisiko runtuh total, mengubah krisis ini menjadi bencana kemanusiaan yang tak terbayangkan.
Masa depan Gaza, yang telah lama hidup dalam ketidakpastian, kini semakin suram. Kebutuhan akan koridor kemanusiaan yang aman dan akses tak terbatas untuk bantuan medis dan kebutuhan dasar menjadi semakin mendesak untuk mencegah tragedi yang lebih besar (ina/dnv).