Pengeroyokan sadis terhadap mahasiswa di Kota Batu menyoroti kerentanan jalanan malam dan tren kekerasan.
INDONESIAONLINE – Malam Minggu yang seharusnya menjadi waktu istirahat dan rekreasi berubah menjadi mimpi buruk bagi Muhammad Agung Pramono (24), seorang mahasiswa asal Desa Pesanggrahan, Kecamatan Batu. Sepulang dari latihan pencak silat pada dini hari Minggu, 5 Oktober 2025, Agung menjadi korban pengeroyokan brutal oleh setidaknya lima orang tak dikenal.
Insiden ini, yang kini telah menyeret para pelakunya ke meja hijau, kembali membuka perdebatan tentang keamanan di jalan-jalan kota wisata yang kian ramai.
Pukul 01.30 WIB, ketenangan dini hari di Kota Batu terkoyak. Menurut Kasat Reskrim Polres Batu Iptu Joko Suprianto, Agung dan temannya, Denny Kurniawan, menjadi sasaran sejak di Jl. Dewi Sartika atas hingga depan Hotel Samara, Jl. Imam Bonjol.
Awalnya, sebuah senggolan motor dengan pasangan lain di jalur Tlekung dekat BNS memicu ketegangan. Damai sempat tercapai di Jl. Dewi Sartika atas, namun perdamaian itu berumur pendek.
“Tak lama berselang, datang dua pria tak dikenal mengendarai Honda Vario hitam dan langsung memukul korban beberapa kali,” terang Iptu Joko.
Denny, teman korban, berusaha melindungi Agung. Meski diminta pulang, nasib buruk kembali menghampiri Agung di depan Hotel Samara, di mana empat orang tak dikenal lainnya langsung memepet dan kembali melakukan pemukulan.
Akibat pengeroyokan ganda ini, Agung menderita luka lebam parah di mata kiri, pelipis kanan, dahi, serta nyeri hebat di kepala bagian kiri dan belakang. Luka-luka ini bukan hanya meninggalkan bekas fisik, tetapi juga trauma psikis yang mendalam. Pengaduan Agung ke Mapolres Batu segera ditindaklanjuti.
Pelaku Teridentifikasi, Motif Masih Didalami
Polisi bergerak cepat. Hasil penyelidikan berhasil mengidentifikasi dan mengamankan lima pelaku, semuanya warga Kelurahan Songgokerto, Kecamatan Batu. Mereka adalah RP (27), KH (29), WA (30), ND (26), dan PA (26), dengan latar belakang beragam—dari karyawan swasta, buruh harian lepas, hingga juru parkir.
“Para pelaku ini kami amankan di lokasi berbeda. Dari hasil pemeriksaan awal, mereka mengakui keterlibatannya dalam aksi pengeroyokan tersebut,” tambah Iptu Joko.
Mereka kini dijerat Pasal 170 KUHP tentang tindak pidana pengeroyokan, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Namun, motif sebenarnya di balik pengeroyokan membabi buta ini masih didalami penyidik.
Fenomena Kekerasan Jalanan di Perkotaan
Kasus Agung Pramono adalah pengingat pahit tentang kerapuhan keamanan publik di ruang urban. Data dari berbagai sumber, termasuk laporan kepolisian dan studi sosiologi, seringkali menunjukkan peningkatan kasus kekerasan jalanan, terutama di kota-kota yang mengalami urbanisasi pesat seperti Batu, yang menarik banyak pendatang dan wisatawan.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka kriminalitas di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan pedesaan, dengan kasus penganiayaan dan pengeroyokan menempati persentase signifikan dari total kejahatan kekerasan.
Meskipun Kota Batu dikenal sebagai destinasi wisata yang damai, insiden seperti ini menyoroti perlunya kewaspadaan dan pengawasan yang lebih ketat, terutama di jam-jam rawan.
Studi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti konsumsi alkohol, pengaruh kelompok, dan masalah pribadi yang tidak terselesaikan seringkali menjadi pemicu kekerasan jalanan. Kondisi psikologis pelaku dan kurangnya empati dalam interaksi sosial juga memainkan peran.
Kasus pengeroyokan Agung Pramono menjadi ujian bagi sistem peradilan dan keamanan Kota Batu. Penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku diharapkan tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga mengirimkan pesan kuat kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan tidak akan ditoleransi.
Di sisi lain, pentingnya edukasi masyarakat tentang resolusi konflik tanpa kekerasan, serta peningkatan patroli keamanan di titik-titik rawan, menjadi krusial. Kehadiran komunitas yang peduli dan cepat tanggap terhadap insiden kekerasan juga dapat berperan sebagai benteng pertahanan pertama. Masyarakat berhak merasa aman di jalanan kota mereka, dan tugas bersama untuk mewujudkannya (pl/dnv).