Gelombang serangan udara Israel di Gaza menewaskan 104 warga Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan. Konflik memanas setelah Israel menuduh Hamas melanggar gencatan senjata. Simak analisis mendalam, respons AS, dan data korban terkini.
INDONESIAONLINE – Langit Jalur Gaza kembali bergemuruh dengan rentetan ledakan mematikan pada Selasa (28/10/2025) malam. Setidaknya 104 warga Palestina tewas dalam gelombang serangan udara Israel, menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas.
Insiden tragis ini memicu kekhawatiran serius akan runtuhnya gencatan senjata yang baru saja disepakati, menempatkan kembali wilayah tersebut di ambang konflik berskala penuh.
Militer Israel, atau IDF, menyatakan bahwa serangan ini menargetkan “puluhan titik teror dan teroris” sebagai respons atas dugaan pelanggaran gencatan senjata oleh Hamas. Israel menuduh Hamas melancarkan serangan di Gaza yang menewaskan seorang tentara Israel dan melanggar kesepakatan pengembalian jenazah sandera.
Tuduhan ini diperkuat oleh Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, yang menegaskan bahwa Hamas telah “melewati garis merah terang” dan akan membayar “berkali-kali lipat”.
Gelombang Serangan Mematikan dan Kesaksian Korban
Serangan udara Israel menghantam sejumlah lokasi strategis dan padat penduduk, termasuk rumah, sekolah, dan permukiman di Kota Gaza dan Beit Lahia di bagian utara Jalur Gaza. Saksi mata di Kota Gaza melaporkan kobaran api dan asap tebal membubung tinggi, menciptakan pemandangan mengerikan di tengah malam.
Badan Pertahanan Sipil Hamas berhasil menyelamatkan tiga perempuan dan seorang pria dari reruntuhan rumah keluarga al-Banna di lingkungan Sabra, selatan Kota Gaza, sebuah kisah pilu di tengah kehancuran.
Data dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas menunjukkan skala korban yang memprihatinkan: dari 104 korban tewas, 46 di antaranya adalah anak-anak dan 20 perempuan. Lebih dari 250 orang lainnya dilaporkan terluka.
Angka ini menambah panjang daftar penderitaan sipil dalam konflik yang tak kunjung usai. Sebagai perbandingan, menurut laporan Kompas.id (24/10/2025), angka 888 dan 57.000 menjadi simbol penderitaan di Perang Israel-Hamas sebelumnya, mencerminkan besarnya korban jiwa dan pengungsian.
Di kamp pengungsi Bureij, lima anggota keluarga Abu Sharar tewas setelah rumah mereka di Blok 7 dihantam serangan. Ledakan kuat tak hanya menghancurkan bangunan mereka tetapi juga meninggalkan puing-puing dan kendaraan terbakar di jalanan sempit kamp.
Sementara itu, di Nuseirat, petugas medis melaporkan puluhan orang terluka, banyak di antaranya anak-anak yang sedang bermain di luar rumah saat serangan menghantam.
Salah satu insiden paling memilukan terjadi di Khan Younis, di mana Bayan al-Shawaf dan empat anaknya tewas akibat serangan terhadap tenda pengungsi di daerah al-Mawasi.
“Dunia macam apa ini? Apakah ini gencatan senjata? Mereka sedang tidur. Mereka ingin belajar,” ujar Umm Mohammed, sepupu Bayan, mencerminkan keputusasaan atas serangan yang menghantam mereka yang paling rentan.
Kematian Tentara Israel dan Respons Internasional
Militer Israel mengonfirmasi kematian seorang prajurit cadangan, Sersan Mayor Yona Efraim Feldbaum, dalam insiden penembakan di Rafah, dekat Garis Kuning. Menurut sumber militer, Feldbaum tewas saat kendaraan teknik IDF diserang ketika sedang membongkar rute terowongan bawah tanah. Insiden ini, yang diklaim Israel sebagai pemicu serangan balasan, dibantah keras oleh Hamas.
Hamas menegaskan tidak terlibat dalam insiden penembakan di Rafah dan menuduh Israel sengaja berupaya menggagalkan gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump, dalam pernyataannya, meredam kekhawatiran akan pecahnya kembali perang skala penuh.
Ia menegaskan bahwa Israel berhak membalas setelah tentaranya menjadi sasaran, namun tetap optimis bahwa “tidak ada yang akan membahayakan gencatan senjata.”
Kepala HAM PBB, Volker Türk, menyampaikan kekhawatiran mendalam atas laporan tewasnya banyak warga sipil. Ia menyerukan agar semua pihak tidak menyia-nyiakan peluang perdamaian dan menahan diri dari eskalasi lebih lanjut.
Beberapa jam setelah mengumumkan kelanjutan gencatan senjata, IDF kembali melakukan serangan udara di Beit Lahia, menargetkan lokasi penyimpanan senjata. Ini menunjukkan ketegangan yang masih sangat tinggi dan rapuhnya situasi di Jalur Gaza.
Data Historis Konflik dan Implikasinya
Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama puluhan tahun, dengan Jalur Gaza sebagai salah satu titik paling rawan. Menurut data PBB, antara tahun 2008 dan 2023, lebih dari 6.000 warga Palestina dan sekitar 300 warga Israel tewas dalam kekerasan.
Setiap siklus eskalasi selalu meninggalkan jejak kehancuran dan trauma mendalam, terutama bagi anak-anak. UNICEF (Dana Anak-anak PBB) seringkali menyoroti dampak psikologis yang parah pada anak-anak di Gaza, yang hidup dalam ketakutan dan kehancuran.
Gencatan senjata, seperti yang ditengahi oleh Amerika Serikat, selalu menjadi harapan tipis untuk meredakan ketegangan. Namun, insiden terbaru ini membuktikan betapa rentannya perdamaian di wilayah tersebut. Tuduhan pelanggaran, serangan balasan, dan korban sipil terus menerus mengikis kepercayaan dan menghambat solusi jangka panjang.
Masa depan gencatan senjata ini kini berada di ujung tanduk. Dengan Israel yang kembali menegaskan akan menanggapi “dengan tegas setiap pelanggarannya” dan Hamas yang menolak tuduhan, komunitas internasional sekali lagi dihadapkan pada tugas berat untuk meredakan ketegangan dan mencegah kembali konflik berskala besar.













