INDONESIAONLINE – Di tengah gemerlap lampu kota dan notifikasi ponsel pintar yang menandai waktu berbuka puasa di era modern, sebuah tradisi kuno tetap bertahan dan menggetarkan jiwa di berbagai belahan dunia Muslim: Meriam Ramadan. Dentuman keras yang memecah langit senja bukan hanya sekadar pengumuman waktu imsak dan berbuka, namun juga simbol warisan budaya dan keagamaan yang kaya.
Di Indonesia, kemeriahan Ramadan terasa dalam beragam tradisi, mulai dari buka bersama hingga ngabuburit. Namun, di Mesir, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia Arab, sebuah tradisi unik bernama “Meriam Ramadan” atau “Midfa Al Iftar” terus dilestarikan. Setiap menjelang Maghrib, suara meriam menggema, menandai berakhirnya puasa dan memanggil umat Muslim untuk berbuka.
Kisah di Balik Dentuman Meriam
Kisah unik ini bermula di Kairo pada tahun 1455 Hijriah. Saat itu, pemimpin Kekaisaran Ottoman, Khosh Qadam, menerima hadiah meriam dari Jerman. Tanpa disangka, saat meriam tersebut diuji coba, dentumannya bertepatan dengan azan Maghrib di hari pertama Ramadan.
Warga Kairo yang terkejut sekaligus gembira menyangka bahwa suara tersebut adalah tanda waktu berbuka. Keesokan harinya, mereka berbondong-bondong mendatangi kediaman Khosh Qadam untuk mengucapkan terima kasih atas inovasi “pengumuman berbuka” yang tak terduga ini. Sejak saat itu, sang pemimpin memutuskan untuk menjadikan tradisi ini sebagai bagian dari Ramadan di Kairo.
Meriam tersebut kemudian dikenal dengan nama “Haja Fatma,” diambil dari nama istri Khosh Qadam. Sebuah cerita menarik mengiringi penamaan ini.
Konon, saat tradisi meriam sempat terhenti, para ulama dan tokoh masyarakat berusaha membujuk Khosh Qadam untuk menghidupkannya kembali. Namun, mereka hanya bertemu Haja Fatma yang kemudian menyampaikan aspirasi tersebut kepada sang suami. Tradisi pun kembali berlanjut, dan sebagai penghormatan, meriam tersebut dinamai Haja Fatma.
Meriam Ramadan Mendunia
Tradisi meriam Ramadan tak hanya menjadi ikon di Mesir. Ia merambah berbagai penjuru dunia Muslim, terutama di Timur Tengah dan negara-negara Arab di Teluk Persia. Hingga kini, Kairo bahkan memiliki enam meriam yang ditempatkan di Bukit Mokattam, siap menggelegar serentak setiap Maghrib tiba.
Berikut adalah beberapa negara yang masih setia menjaga tradisi Meriam Ramadan:
Madinah, Arab Saudi: Setelah vakum selama 20 tahun, tradisi ini kembali dihidupkan atas desakan warga yang merindukan sentuhan Ramadan klasik.
Qatar: Warga dan wisatawan antusias berkumpul untuk menyaksikan dan mendengarkan dentuman meriam saat Maghrib tiba sepanjang Ramadan.
Bahrain: Di Manama, momen tembakan meriam menjadi ajang berkumpulnya keluarga, dari anak-anak hingga dewasa.
Kuwait: Negara Teluk pertama yang mengadopsi tradisi meriam Ramadan, menunjukkan penyebaran tradisi ini ke wilayah lain.
Oman: Replika meriam Ramadan dapat ditemukan di berbagai museum, menandakan nilai sejarah tradisi ini.
Uni Emirat Arab (UEA): Meriam Sharjah menjadi salah satu yang paling terkenal, bahkan di Dubai, meriam dapat ditemukan di seberang Burj Khalifa.
Lebanon: Sempat hilang akibat perang saudara, tradisi ini kembali hadir di Beirut, menunjukkan ketahanan budaya di tengah konflik.
Tunisia: Dahulu, meriam adalah satu-satunya penanda waktu berbuka bagi warga Tunisia. Kini, tradisi ini kembali dilestarikan.
Suriah: Damaskus, ibu kota Suriah, memiliki 17 meriam dan tetap teguh mempertahankan tradisi ini sebagai simbol Ramadan di tengah situasi sulit.
Bosnia: Bahkan di Eropa, Bosnia turut mengumumkan awal Ramadan dan waktu berbuka dengan dentuman meriam.
Di era digital ini, saat adzan dapat didengar dari berbagai perangkat dan aplikasi, mengapa tradisi Meriam Ramadan masih bertahan? Jawabannya mungkin terletak pada nilai simbolik dan emosional yang terkandung di dalamnya.
Meriam Ramadan bukan hanya sekadar pengumuman waktu berbuka, namun juga pengingat akan sejarah, kebersamaan, dan semangat Ramadan yang terus hidup dari generasi ke generasi.
Dentuman meriam menjadi penanda dimulainya momen kebersamaan keluarga, hidangan berbuka yang telah dinanti, dan rasa syukur atas nikmat Ramadan. Di tengah modernitas, tradisi ini menjadi jangkar yang menghubungkan kita dengan akar budaya dan keagamaan, mengingatkan bahwa Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang merayakan nilai-nilai luhur yang tak lekang oleh waktu (ina/dnv).