Beranda

Getayu: Gamelan Sunyi di Jantung Perang Jawa

Getayu: Gamelan Sunyi di Jantung Perang Jawa
Kyai Getayu kuda Pengeran Diponegoro dalam Perang Jawa (ia/io)

Kisah Kyai Getayu, kuda sakti Pangeran Diponegoro yang melawan kavaleri Belanda. Simbol kekuatan gaib dan perlawanan sunyi dalam sejarah Perang Jawa.

INDONESIAONLINE – Di tengah debu mesiu dan derap sepatu lars serdadu kolonial, Perang Jawa (1825-1830) bukan sekadar riwayat pertempuran manusia melawan manusia. Ia adalah panggung di mana yang gaib dan yang nyata berkelindan, melahirkan legenda yang diembuskan dari mulut ke mulut.

Satu nama berderap paling kencang dalam bisik-bisik itu, bukan nama seorang panglima, melainkan seekor kuda: Kyai Getayu.

Getayu bukan sekadar tunggangan. Ia adalah kawan seperjalanan, perpanjangan jiwa Pangeran Diponegoro, dan manifestasi kekuatan spiritual yang menolak tunduk pada baja Eropa. Di punggungnya, sebuah perang suci dimulai.

Tarian Kematian di Ambang Pintu Tegalrejo

Kisah ini bermula pada senja yang pengap, 20 Juli 1825. Kediaman Diponegoro di Tegalrejo dikepung. Di tengah kepanikan, Sang Pangeran menaiki Getayu. Dalam mahakaryanya, Babad Diponegoro, ia melukiskan momen itu dengan puitis.

Getayu tidak berlari ketakutan. Sebaliknya, ia “melangkah laksana pengantin pria,” anggun dan tenang, seolah desing peluru adalah alunan gamelan yang mengiringi tariannya.

Bagi mata Eropa, ini mungkin kebetulan. Tapi dalam kosmologi Jawa, ini adalah tanda. Hubungan Diponegoro dan Getayu melampaui tuan dan hewan. Getayu adalah cerminan laku batin (perjalanan spiritual) pemiliknya.

Ketika sang pangeran menempuh jalan sunyi perlawanan, kudanya menjadi saksi pertama, perisai tak kasat mata yang membawanya lolos dari sergapan pertama.

Amuk Sang Kuda Suci di Tepi Kali Saka

Legenda Getayu mencapai puncaknya di Trucuk, sebuah kawasan di selatan Progo. Setelah serangkaian pertempuran, kuda-kuda pasukan, termasuk Getayu, digiring terpisah dari para pemiliknya. Saat itulah sekitar 40 kavaleri Belanda menyergap. Mereka berhasil memisahkan kuda-kuda bangsawan itu.

Namun, Getayu tiba-tiba memutuskan tali kekangnya. Ia mengamuk. Bukan amukan hewan liar, melainkan amukan terarah yang penuh murka. Ia menerjang, menendang, dan menyibak barisan serdadu terlatih.

Para prajurit Belanda, yang terbiasa menaklukkan manusia, dibuat tak berdaya oleh seekor kuda. Tembakan senapan dan sabetan pedang tak mampu melukainya.

Dalam pertarungan yang mustahil itu, Getayu membalikkan keadaan. Ia menggiring empat serdadu yang panik ke tepi Kali Saka. Tanpa mereka sadari, mereka terjeblos ke dalam lumpur hisap dan tewas tenggelam.

Peristiwa ini mengguncang moral pasukan kolonial dan mengukuhkan citra Getayu sebagai hewan yang dilindungi kekuatan ilahiah. Ia bukan lagi sekadar kuda, melainkan pusaka hidup.

Jejak yang Terhapus, Kepungan yang Sia-sia

Kekuatan spiritual yang menyelimuti Diponegoro dan pengikutnya membuat Belanda frustrasi. Jenderal De Kock, panglima tertinggi pasukan kolonial, berulang kali mengerahkan ribuan prajurit untuk menyergap Sang Pangeran, namun selalu gagal.

Pada 24 Oktober 1825, dua kolone besar—terdiri dari infanteri, artileri, dan kavaleri Eropa—mengepung Desa Dagen, tempat Diponegoro hendak merayakan Grebeg Maulud. Namun, mereka hanya menemukan desa yang kosong. Sang Pangeran telah lenyap, seolah ditelan bumi pertiwi yang melindunginya.

Sebulan kemudian, pada awal November, lebih dari 2.000 prajurit dari berbagai satuan—termasuk pasukan elite Madura dan Sumenep—mengepung Desa Jumeneng.

Ekspedisi raksasa ini dipimpin langsung oleh Jenderal Van Geen. Lagi-lagi, mereka gagal. Hujan deras, medan berat, dan pemandu yang “tersesat” membuat mereka hanya menemukan jejak dingin. Diponegoro sekali lagi lolos, menerobos kepungan dalam sebuah serangan balik yang berani dan menghilang ke Desa Mrijan.

Kegagalan beruntun ini bukanlah kebetulan. Ini adalah perang gerilya yang disempurnakan dengan kecerdasan spiritual. Diponegoro adalah angin yang tak bisa ditangkap, suaranya terdengar di mana-mana, namun wujudnya tak pernah terengkuh.

Darah Ksatria, Ruh Santri: Akar Perlawanan

Untuk memahami mengapa Diponegoro begitu sulit ditaklukkan dan begitu dicintai rakyatnya, kita harus menelusuri nadinya. Dalam dirinya, mengalir darah dua dinasti besar: Majapahit dan Mataram Islam.

Ibunya, Raden Ayu Mangkorowati, adalah keturunan langsung Wasi Bageno, seorang resi Islam yang merupakan putra dari Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Dari garis ibu, ia mewarisi legitimasi spiritual dan kebangsawanan kuno. Dari ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, ia mewarisi takhta Mataram.

Perpaduan inilah yang membentuknya. Ia bukan sekadar pangeran keraton yang terasing. Ia adalah seorang santri yang taat, ksatria yang waskita, dan pewaris takdir sebuah bangsa yang terluka.

Ketika ia menyatakan perang, ia tidak hanya melawan Belanda, tetapi juga melawan ketidakadilan, kemerosotan moral keraton, dan sejarah yang telah mengkhianati leluhurnya.

Perang Jawa adalah manifestasi dari semua itu. Dan Kyai Getayu, kuda yang menari di tengah badai peluru, menjadi simbol terindah dari perlawanan itu: sebuah kekuatan tenang yang lahir dari niat suci, yang tak akan pernah bisa dipahami, apalagi ditaklukkan, oleh logika senapan dan meriam.

 

Referensi:

Carey, Peter. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Diterjemahkan oleh Th. Bambang Widyatmoko. Jakarta: Kompas Gramedia, 2014, hlm. 165. 

Carey, Peter. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV Press, 2007, hlm. 609-610. 

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Edisi ke-4. Stanford: Stanford University Press, 2008, hlm. 147. 

S. H. Alatas. “Pangeran Diponegoro: Sejarah dan Spiritualitas Sang Pemimpin Perang Jawa.” Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 12, No. 1, 2018, hlm. 45-47. 

Exit mobile version