INDONESIAONLINE – Di balik gemerlap gedung pencakar langit dan hingar bingar kehidupan metropolitan, tersembunyi sebuah epidemi sunyi yang menggerogoti jiwa warga Seoul: godoksa, kematian dalam kesepian. Fenomena memilukan ini, bagai hantu, menghantui ribuan jiwa di Seoul ibukota Korea Selatan yang modern.
Godoksa, yang secara harfiah berarti “kematian sendirian”, mencerminkan sebuah tragedi sosial di mana individu meninggal dunia tanpa diketahui oleh siapapun, terisolasi dari keluarga, teman, dan lingkungan sosial. Tubuh mereka baru ditemukan berhari-hari, bahkan berminggu-minggu kemudian, setelah bau kematian menyebar dari balik pintu apartemen yang terkunci rapat.
Ironisnya, Seoul pernah dinobatkan sebagai “kota paling bahagia di dunia” pada tahun 2016. Namun, di balik fasad kemajuan ekonomi dan teknologi, ternyata tersimpan sebuah krisis sosial yang mendalam.
Fenomena godoksa mencerminkan sisi gelap dari kemajuan. Individualisme, kesibukan kerja, dan lemahnya ikatan sosial dipercaya menjadi faktor pemicu pandemi kesepian ini.
Para korban godoksa didominasi oleh pria paruh baya yang hidup sendiri. Tekanan sosial yang tinggi dan budaya kerja yang keras seringkali membuat mereka mengisolasi diri, mencari pelarian dalam kesendirian, hingga tanpa sadar, maut menjemput dalam kesunyian.
Pemerintah Kota Seoul tak tinggal diam menghadapi hantu godoksa. Program “Seoul Bebas Kesepian”, yang didukung dana fantastis mencapai Rp 5 triliun, menjadi salah satu upaya serius untuk melawan epidemi kesepian ini.
Mulai dari hotline 24 jam “Goodbye Loneliness 120”, ruang komunitas “Toko Kelontong Hati”, hingga program pendampingan dan konseling, Seoul berusaha keras menjangkau warganya yang terisolasi.
Perjuangan melawan godoksa bukanlah perkara mudah. Lebih dari sekadar dana dan program, diperlukan perubahan sosial yang mendasar. Menumbuhkan kembali rasa kebersamaan, memperkuat ikatan sosial, dan menciptakan lingkungan yang lebih manusiawi adalah kunci untuk mengusir hantu kesepian dari megapolitan Seoul.