Gondowangi: Harmoni 4 Iman Gerakkan Ekonomi Lewat Festival

Gondowangi: Harmoni 4 Iman Gerakkan Ekonomi Lewat Festival
Pesinden milenial Niken Salindry di acara Festival Kampung Dilem #8, Sabtu (26/7/2025) malam (jtn/io)

Festival Kampung Dilem #8 di Gondowangi, Malang, bukan sekadar pesta budaya. Ini adalah bukti nyata harmoni 4 keyakinan yang sukses menggerakkan ekonomi desa.

INDONESIAONLINE – Gemerlap panggung dan alunan gending Jawa yang dibawakan pesinden milenial Niken Salindry bersama dalang Ki Tantut Sutanto menjadi penutup megah Festival Kampung Dilem #8, Sabtu (26/7/2025) malam. Namun, sorotan utama dari perhelatan di Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang ini bukanlah sekadar bintang tamunya, melainkan denyut nadi kerukunan yang menjadi fondasi kesuksesannya.

Selama sepekan, sejak 20 Juli 2025, Desa Gondowangi berubah menjadi laboratorium toleransi dan etalase ekonomi kreatif. Di saat isu perpecahan kerap mengemuka di tingkat nasional, desa berpenduduk 8.200 jiwa ini justru menunjukkan betapa kuatnya tenunan sosial mereka.

Festival ini bukan hanya tentang melestarikan budaya, tetapi juga merayakan Bhinneka Tunggal Ika dalam praktik nyata.

“Festival Kampung Dilem kami buka dengan rangkaian doa bersama. Ada dari Muslim, Hindu, Kristen, dan juga Penghayat Kepercayaan. Semua bahu-membahu,” ungkap Kepala Desa Gondowangi, Danis Setya Budi Nugroho.

Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi. Selama tiga hari berturut-turut, ruang sakral diwujudkan secara bergantian, membuktikan bahwa perbedaan keyakinan adalah modal sosial, bukan sumber perpecahan.

Laboratorium Kerukunan Beragama Nasional

Kisah sukses Gondowangi menjadi antitesis dari kekhawatiran akan intoleransi. Data Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKU) 2023 yang dirilis Kementerian Agama RI menunjukkan skor nasional sebesar 76,02, yang masuk kategori “tinggi”. Jawa Timur sendiri memiliki skor 77,8, sedikit di atas rata-rata nasional.

Desa Gondowangi adalah mikrokosmos dari angka-angka tersebut. Di sini, empat rumah ibadah, termasuk pura besar untuk umat Hindu, berdiri sebagai simbol harmoni. Inisiatif festival yang digerakkan bersama oleh empat kelompok keyakinan ini menunjukkan bahwa kerukunan bukan hanya konsep, melainkan aksi kolektif.

“Kami punya kumpulan resmi dari penghayat kepercayaan. Jadi semuanya, tanpa terkecuali, mensukseskan kegiatan Festival Kampung Dilem,” tambah Danis.

Kekompakan inilah yang menjadi mesin penggerak festival, murni gotong royong warga tanpa keterlibatan Event Organizer (EO) profesional.

Dari Akar Budaya Menjadi Berkah Ekonomi Nyata

Festival Kampung Dilem adalah manifestasi dari filosofi “dari, oleh, dan untuk warga”. Selama dua bulan, seluruh elemen desa bekerja sama mempersiapkan mozaik pertunjukan: dari Sendratari Sekar Dilem yang otentik, Jaranan Pegon lokal, Reog Ponorogo, hingga kolaborasi musik R&B dengan alunan Jawa dan musik etnik Arca Tata Suara.

Lebih dari sekadar panggung seni, festival ini adalah inkubator ekonomi. Puluhan stan UMKM yang berjejer di sekitar Pepunden Mbah Dilem—lokasi pusat acara—tak pernah sepi pengunjung.

“Festival ini adalah cara kami mengemas tradisi bersih desa menjadi berkah yang nyata, salah satunya di sektor perekonomian,” jelas Danis.

Hal ini sejalan dengan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), yang menyatakan bahwa event atau festival daerah memiliki multiplier effect yang signifikan. Berdasarkan kajian Kemenparekraf, setiap Rp1 yang dibelanjakan untuk sebuah event dapat menghasilkan perputaran uang di masyarakat hingga 7-10 kali lipat, terutama melalui sektor akomodasi, kuliner, dan cinderamata.

Di Gondowangi, perputaran ekonomi ini dirasakan langsung oleh warga, dari penjual makanan hingga penyedia jasa parkir.

Menghormati Leluhur, Merawat Masa Depan

Nama “Kampung Dilem” sendiri bukanlah sekadar jenama. Ia adalah narasi untuk terhubung kembali dengan akar. Festival ini didedikasikan untuk menghormati jasa Mbah Dilem, tokoh yang diyakini sebagai babat alas atau pendiri Desa Gondowangi.

“Dilem itu artinya wewangian, yang kemudian menjadi spirit nama desa kami, Gondowangi. Gondo itu aroma, wangi itu harum,” terang Danis.

Dengan menggelar festival di kawasan Pepunden Mbah Dilem, warga tidak hanya berpesta, tetapi juga melakukan ziarah budaya, mengirimkan “aroma harum” kerukunan dan kreativitas ke dunia luar.

Pujian pun datang dari berbagai pihak, termasuk Niken Salindry, ikon seniman muda yang turut menjadi saksi. “Di sini warganya kompak, semoga Festival Kampung Dilem bisa terus berlanjut,” ujarnya sebelum membius ribuan penonton hingga dini hari.

Pada akhirnya, Festival Kampung Dilem #8 membuktikan lebih dari sekadar keberhasilan sebuah acara. Ia adalah sebuah tesis kuat: bahwa dengan berpegang pada akar sejarah dan merawat harmoni, sebuah desa mampu menciptakan panggung budayanya sendiri, sekaligus menggerakkan roda ekonominya secara mandiri. Gondowangi telah memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia (al/dnv).