Gonjang-Ganjing PBNU: Gus Yahya di Ujung Tanduk Akibat Isu Zionis

Gonjang-Ganjing PBNU: Gus Yahya di Ujung Tanduk Akibat Isu Zionis
Yahya Cholil Staquf, sang Ketua Umum Tanfidziyah, diminta menanggalkan jabatannya dalam tempo 3x24 jam setelah menghadirkan Peter Berkowitz dalam Akademi Kepemimpinan Nasional NU (io)

Analisis mendalam mengenai gejolak internal PBNU pasca desakan Syuriyah agar Gus Yahya mundur. Peta respons PWNU terbelah antara loyalitas mutlak pada Rais Aam dan mekanisme prosedural organisasi di tengah isu sensitif zionisme.

INDONESIAONLINE – Awan tebal tengah menggelayut di langit Gedung PBNU, Kramat Raya. Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), kini dihadapkan pada ujian soliditas terberatnya dalam satu dekade terakhir. Bukan karena serangan eksternal, melainkan akibat retakan dari dalam yang dipicu oleh isu paling sensitif dalam diskursus keislaman global: Zionisme.

Rapat harian Syuriah PBNU yang digelar di Hotel Aston Jakarta pada Kamis, 20 November 2025, menjadi titik didih. Risalah rapat tersebut bukan sekadar catatan administratif, melainkan sebuah ultimatum keras. Yahya Cholil Staquf, sang Ketua Umum Tanfidziyah, diminta menanggalkan jabatannya dalam tempo 3×24 jam. Jika tidak, pemakzulan menanti di depan mata.

Bola Panas Peter Berkowitz

Akar persoalan bermula dari kehadiran Peter Berkowitz dalam Akademi Kepemimpinan Nasional NU. Bagi sebagian kalangan, ini mungkin terlihat sebagai dialog intelektual biasa. Namun, bagi jajaran Syuriah—pemegang otoritas tertinggi penjaga moral dan akidah NU—ini adalah pelanggaran garis merah.

Berkowitz bukanlah akademisi sembarangan. Ia dikenal lewat karya kontroversialnya, Israel and The Struggle Over The International Laws of War, yang secara eksplisit memberikan pembelaan hukum atas tindakan militer Israel.

Di tengah genosida yang terjadi di Palestina, menghadirkan figur pro-zionis ke dalam jantung kaderisasi NU dinilai sebagai tindakan yang menabrak Muqaddimah Qanun Asasi NU serta menciderai nilai kemanusiaan yang selama ini diperjuangkan oleh Jam’iyah.

Syuriah PBNU menilai langkah ini telah “menelanjangi” marwah organisasi. Atas dasar itu, mekanisme Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang pemberhentian fungsionaris pun diaktifkan sebagai landasan ancaman pemakzulan.

Fragmentasi Sikap Wilayah: Antara Kepatuhan dan Prosedur

Gelombang kejut dari Hotel Aston segera merambat ke daerah-daerah. Respons Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) melukiskan peta fragmentasi yang menarik untuk dicermati. Terlihat adanya dua kutub pendekatan: kutub Sam’an wa Tho’atan (kepatuhan mutlak) dan kutub Konstitusional-Prosedural.

Kutub pertama diwakili secara tegas oleh PWNU Kalimantan Selatan. Ketua PWNU Kalsel, Muhammad Tambrin, tidak menggunakan bahasa bersayap. Baginya, struktur NU adalah hierarki sakral di mana Syuriah, khususnya Rais Aam, menempati posisi puncak piramida kepemimpinan spiritual.

“Rais Aam PBNU adalah jabatan tertinggi di organisasi. Kami mendengar dan menaati titahnya,” tegas Tambrin saat dihubungi Sabtu (22/11/2025).

Pernyataan ini mencerminkan kultur tradisional santri yang menempatkan titah kiai sepuh di atas logika administrasi semata. Bagi kubu ini, ketika “Langit NU” (Syuriah) sudah bersuara, maka “Bumi” (Tanfidziyah dan warga) wajib patuh.

Sebaliknya, kutub kedua yang diwakili oleh basis massa terbesar NU, yakni PWNU Jawa Tengah, mengambil jarak yang lebih diplomatis. Ketua PWNU Jateng, Abdul Ghaffar Rozin atau Gus Rozin, memilih menahan diri dari dukung-mendukung secara terbuka. Ia menekankan bahwa wilayah dan cabang sejatinya tidak memiliki kapasitas “yudikatif” untuk menilai konflik di tingkat pusat.

“Kami memohon kepada PBNU untuk mencari formulasi terbaik atas perbedaan pendapat yang berpotensi mengganggu solidaritas dan konsolidasi NU secara nasional,” ujar Gus Rozin.

Sikap serupa ditunjukkan PWNU DKI Jakarta. Samsul Ma’arif, sang ketua, menegaskan posisi “menunggu”. Ia menyadari bahwa intervensi daerah ke dalam konflik elit pusat justru bisa memperkeruh suasana.

“Mudah-mudahan ada titik temu terbaik untuk kemaslahatan organisasi NU,” ucapnya.

Sikap Jateng dan DKI ini menyiratkan kekhawatiran akan terjadinya benturan horizontal di akar rumput jika pengurus wilayah terlalu reaktif.

Ujian Kepemimpinan dan Masa Depan Organisasi

Peristiwa ini bukan sekadar soal kursi Ketua Umum. Ini adalah pertarungan paradigma mengenai bagaimana NU menempatkan diri dalam geopolitik global tanpa kehilangan jati diri Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah.

Manuver Gus Yahya yang kerap melakukan diplomasi tingkat tinggi dengan tokoh-tokoh Yahudi dan Barat, yang semula dianggap sebagai terobosan “Humanitarian Islam”, kini menjadi bumerang ketika figur yang dihadirkan memiliki rekam jejak pembelaan terhadap Zionisme.

Jika Gus Yahya menolak mundur hingga batas waktu berakhir, NU berpotensi menghadapi krisis konstitusional. Syuriah memiliki wewenang veto dan pemakzulan, namun Tanfidziyah memegang kendali operasional harian.

Tanpa “kepala dingin” seperti yang disarankan Gus Rozin, konflik ini bisa berujung pada Muktamar Luar Biasa (MLB) atau bahkan dualisme kepemimpinan yang akan sangat merugikan umat.

Kini, bola panas ada di tangan Gus Yahya. Apakah ia akan mempertahankan argumen akademis dan visi globalnya, atau tunduk pada kebijaksanaan para kiai sepuh di Syuriah demi keutuhan organisasi? Yang jelas, tiga hari ke depan akan menjadi hari-hari terpanjang dalam sejarah kontemporer Nahdlatul Ulama.

Seluruh mata nahdliyin kini tertuju ke Jakarta, menanti apakah badai ini akan mereda atau justru menghantam karang hingga pecah.