Rencana pemugaran Situs Gunung Padang hadapi tantangan skala raksasa, 3 kali lebih besar dari Borobudur. Dengan proyeksi biaya triliunan, mampukah teknologi modern dan komitmen nasional menyelamatkan warisan purba ini? Simak analisis mendalamnya.
INDONESIAONLINE – Di puncak perbukitan Cianjur, sebuah misteri zaman batu yang monumental menanti takdirnya. Rencana pemugaran Situs Megalitikum Gunung Padang, sebuah kompleks purbakala yang diperkirakan berusia ribuan tahun, kini memasuki babak krusial.
Bukan sekadar restorasi biasa, proyek ini digadang-gadang menjadi salah satu upaya konservasi terbesar dalam sejarah Indonesia, bahkan melampaui skala pemugaran Candi Borobudur.
Tantangannya pun setara dengan skalanya: kolosal. Dengan volume bangunan diperkirakan tiga kali lipat Candi Borobudur dan ketinggian menjulang hingga 100 meter, Gunung Padang adalah raksasa tidur yang membutuhkan biaya, waktu, dan komitmen luar biasa untuk dibangunkan kembali ke glorianya.
Proyeksi Biaya Triliunan dan Skala Raksasa
Untuk memahami besarnya proyek ini, perbandingan dengan Candi Borobudur menjadi tolok ukur yang paling relevan. Pemugaran besar Borobudur yang berlangsung selama satu dekade (1973-1983) dan didukung oleh UNESCO menelan biaya sekitar Rp 200 miliar pada masa itu.
“Jika nilai itu kita sesuaikan dengan inflasi dan kondisi ekonomi sekarang, angkanya tentu sudah berkali-kali lipat, bisa mencapai triliunan rupiah,” ujar arkeolog Ali Akbar yang memimpin tim kajian multidisiplin untuk Gunung Padang, saat dihubungi pada Minggu (10/8/2025).
Data perbandingan skala situs, sebagai berikut:
Estimasi Volume bangunan Gunung Padang 3 kali lipat Borobudur yang tercatat 55.000 meter kubik. Tinggi struktur 100 meter berbanding dengan Borobudur yang hanya 35 meter. Untuk luas kompleks Gunung Padang diestimasi 29 hektare dan secara strukturnya teras berundak dari batuan kolom, sedangkan Borobudur 123 x 123 meter (bangunan inti) dengan struktur stupa dan relief batuan andesit.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa Gunung Padang bukan sekadar situs, melainkan sebuah mahakarya arsitektur purba yang kompleks dan berlapis. Hingga kini, belum ada angka resmi mengenai total biaya yang dibutuhkan, namun proyeksinya sudah cukup untuk menempatkan proyek ini dalam kategori “mega proyek” nasional.
Tantangan Lintas Sektor: Dari Hukum Hingga Teknologi
Menurut Ali Akbar, tantangan terbesar tidak hanya terletak pada dana. Kepastian hukum dan kesinambungan menjadi dua pilar utama yang harus ditegakkan sebelum batu pertama dipindahkan.
“Pemugaran skala ini tidak bisa berhenti di tengah jalan. Harus ada jaminan dari pemerintah bahwa proyek akan berjalan tuntas, siapapun pemimpinnya nanti,” tegasnya.
Proses ini melibatkan kolaborasi intensif antara berbagai lembaga, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta pemerintah daerah Kabupaten Cianjur.
Tim yang dipimpin Ali sendiri terdiri dari seratus ahli dari berbagai disiplin ilmu—mulai dari geologi, arsitektur, geodesi, hingga biologi—untuk memastikan setiap langkah didasari data ilmiah yang kuat.
Teknologi modern seperti Ground Penetrating Radar (GPR), pemindaian LiDAR, dan pemodelan 3D akan menjadi tulang punggung untuk memetakan struktur di bawah permukaan tanah tanpa merusaknya.
Meskipun jalan yang akan ditempuh sangat panjang dan terjal, optimisme tetap menyala. Ali Akbar meyakini, dengan bekal pengalaman pemugaran Borobudur dan lompatan teknologi konservasi saat ini, proses restorasi Gunung Padang bisa berjalan lebih efisien dan cepat.
“Kita punya best practice dari Borobudur. Sekarang teknologinya jauh lebih canggih. Jika komitmennya kuat, kita bisa mengerjakan ini dengan lebih presisi,” tambahnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa kunci keberhasilan tidak hanya pada teknologi, tetapi pada kemauan politik dan komitmen nasional yang berkelanjutan.
“Jangan hanya dikerjakan sepertiga lalu berhenti menunggu kabar lagi. Itu tidak bisa,” pungkasnya, memberikan peringatan keras tentang pentingnya konsistensi.
Urgensi Penyelamatan: Warisan di Ujung Tanduk?
Rencana ambisius ini bukan tanpa alasan mendesak. Laporan dari tim peneliti dan pengelola situs menunjukkan adanya tanda-tanda degradasi. Beberapa bagian struktur batuan kolom mulai runtuh akibat faktor cuaca, erosi, dan aktivitas seismik di Jawa Barat.
Jika tidak segera ditangani secara komprehensif, warisan megalitikum yang menyimpan kunci pemahaman tentang peradaban Nusantara kuno ini terancam rusak parah. Pemugaran ini bukan lagi sekadar proyek ambisius, melainkan sebuah misi penyelamatan mendesak untuk masa depan ilmu pengetahuan dan identitas bangsa Indonesia.