INDONESIAONLINE – Setiap tanggal 1 Mei, kalender global menandai Hari Buruh Internasional. Di Indonesia, hari ini juga diperingati secara luas dan sejak tahun 2014, resmi menjadi hari libur nasional.
Namun, perjalanan Hari Buruh untuk mendapatkan pengakuan dan tempatnya dalam kalender bangsa ini ternyata tak selalu mulus, melainkan melalui lintasan sejarah yang penuh dinamika di bawah kepemimpinan yang berbeda-beda.
Sejarah Hari Buruh
Akar peringatan 1 Mei sebagai Hari Buruh Global berawal dari peristiwa kelam di Amerika Serikat. Tepatnya di Chicago, Illinois, pada awal Mei 1886. Saat itu, para pekerja turun ke jalan, menuntut perbaikan nasib, utamanya terkait jam kerja yang kelewat panjang.
Aksi damai ini berakhir tragis ketika bentrokan pecah dengan aparat kepolisian, menelan korban jiwa dari kedua belah pihak. Sebagai bentuk penghormatan dan solidaritas atas perjuangan para buruh di Chicago tersebut, peringatan Hari Buruh Internasional kemudian dideklarasikan dalam Kongres Sosialis Internasional II di Paris pada tahun 1889. Sejak saat itu, 1 Mei menjelma menjadi simbol perjuangan global kelas pekerja.
Di bumi Nusantara, gaung Hari Buruh disambut dengan hangat di awal kemerdekaan. Di era kepemimpinan Presiden Soekarno, peringatan May Day mendapatkan tempat istimewa.
Bung Karno kerap hadir dalam acara-acara peringatan, memberikan dukungan moral dan politik kepada gerakan buruh. Ia menyerukan pentingnya politieke toestand, yakni kondisi politik yang memungkinkan buruh bebas berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
Soekarno juga mendorong machtsvorming, pembentukan atau penguatan kekuatan buruh melalui serikat-serikat, pendidikan politik, hingga pembangunan koperasi.
Namun, iklim berubah drastis memasuki era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Hari Buruh 1 Mei tak lagi dirayakan secara terbuka, bahkan statusnya sebagai hari libur dicabut pada 19 April 1968.
Alasan di baliknya tak lepas dari bayang-bayang ideologi. Pemerintah kala itu menganggap 1 Mei terlalu identik dengan komunisme atau Marxisme/Leninisme, yang dilarang keras, dan dinilai menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang berusaha menyusun kekuatan kembali.
Sebagai gantinya, di era Soeharto, gerakan buruh dilebur dan disatukan ke dalam satu wadah tunggal, Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), yang terbentuk pada 20 Februari 1973. Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pekerja versi Orde Baru, menggeser posisi 1 Mei.
Soeharto berharap agar kaum buruh Indonesia dapat menemukan peran yang proporsional dalam pembangunan nasional di bawah arahan pemerintah.
Titik balik perjuangan buruh di Indonesia datang bersamaan dengan era Reformasi tahun 1998. Kejatuhan rezim Orde Baru membuka keran kebebasan berorganisasi dan berpendapat.
Di bawah Presiden B.J. Habibie, pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi fundamental Organisasi Buruh Internasional (ILO) terkait kebebasan berserikat. Langkah ini menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di Asia yang meratifikasi seluruh konvensi dasar ILO, termasuk penghapusan kerja paksa dan diskriminasi.
Sejak 1998, perayaan Hari Buruh pada 1 Mei kembali marak di berbagai daerah, ditandai dengan bangkitnya kembali serikat-serikat buruh independen yang vokal menyuarakan hak-hak pekerja.
Pengakuan penuh akhirnya tiba pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Setelah melalui serangkaian dialog, termasuk pertemuan dengan perwakilan buruh seperti Presiden KSPI Said Iqbal, Presiden SBY menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 yang secara resmi menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh dan menjadikannya sebagai hari libur nasional.
Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tahun 2014, mengembalikan status 1 Mei ke posisi awalnya sebagai momentum penting untuk menghormati perjuangan dan kontribusi para pekerja bagi bangsa, sekaligus mengakui perjalanan panjang yang telah dilalui gerakan buruh di Indonesia.