INDONESIAONLINE – Sebuah gestur simbolis yang kuat dilancarkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Sebagai bentuk protes terhadap apa yang mereka anggap sebagai dugaan intimidasi dan intervensi pemerintah, khususnya terkait independensi kolegium kedokteran, organisasi profesi ini menginisiasi aksi “Pita Hitam” yang dimulai pada 2 Mei lalu.
Aksi solidaritas ini diumumkan melalui akun Instagram resmi IDAI pada Sabtu (3/5/2025). Para anggota IDAI diminta untuk mengenakan pita hitam di lengan kanan mereka selama sebulan penuh, mulai 2 Mei hingga 2 Juni 2025.
Langkah ini diambil sebagai peringatan dan ungkapan keprihatinan mendalam para dokter anak atas kondisi yang dinilai mengancam integritas profesi dan, yang terpenting, keselamatan pasien.
“Aksi ini adalah ungkapan keprihatinan atas perlakuan zalim,” tulis IDAI dalam pernyataannya, menyoroti serangkaian tindakan yang mereka nilai tidak adil menimpa jajaran pengurus mereka.
Beberapa contoh yang disebutkan antara lain mutasi sepihak terhadap Sekretaris Umum dan Ketua UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial, mutasi terhadap Ketua Umum PP IDAI dr. Piprim, serta pemberhentian mendadak Ketua IDAI Cabang Sumatera Utara, dr. Rizky Adriansyah, semuanya tanpa alasan yang jelas sejak Desember 2024.
IDAI meyakini bahwa perlakuan ini terkait erat dengan ketidaksepahaman antara mereka dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengenai persoalan independensi kolegium. Mereka menegaskan, tindakan-tindakan tersebut tidak hanya melukai hak asasi manusia para dokter, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat, khususnya pasien anak dengan kondisi spesifik seperti kelainan jantung, masalah tumbuh kembang, serta pasien hematologi-onkologi.
“Bertubi-tubi organisasi profesi yang berusia hampir 75 tahun ini mendapatkan kezaliman,” lanjut pernyataan IDAI, yang juga menyampaikan duka dan keprihatinan khusus atas pemberhentian mendadak dr. Rizky Adriansyah dari praktik di RSUP Haji Adam Malik Medan.
“Sebagai seorang dokter spesialis anak, kami hanya ingin yang terbaik dan melakukan pelayanan terhadap kesehatan anak di Indonesia tanpa adanya muatan politik dalam tindakan kami. Tindakan ini jelas menyayat hati dan perasaan kami,” bunyi keterangan tersebut.
Lebih dari Sekadar Simbol: Doa Bersama & Krisis Independensi Kolegium
Tak berhenti pada aksi simbolik pita hitam, IDAI juga mengundang seluruh dokter anak Indonesia untuk bergabung dalam Doa Bersama Nasional yang dijadwalkan selama tiga hari berturut-turut pada 5-7 Mei 2025, secara daring melalui Zoom.
Langkah spiritual ini menjadi bagian dari upaya mereka untuk “berperang melawan kezaliman ini” dan menyuarakan hati nurani profesi.
Inti dari kegelisahan IDAI, sebagaimana dijelaskan dalam pernyataan mereka, bermuara pada perubahan fundamental struktur kolegium kedokteran akibat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Sebelumnya, kolegium berfungsi sebagai badan ilmiah independen yang beranggotakan para ahli dan guru besar, dengan peran krusial dalam menetapkan standar pendidikan dan kompetensi dokter spesialis.
Namun, regulasi baru ini menempatkan kewenangan pengangkatan dan pemberhentian anggota kolegium di tangan Menteri Kesehatan. Menurut IDAI, ini adalah bentuk pengambilalihan yang secara drastis mengikis independensi dunia medis, mengubah fungsi kolegium dari “independent Academic Body” menjadi “Alat Kebijakan Pemerintah”.
IDAI bahkan menyoroti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2015 yang menegaskan kolegium harus mandiri kini seolah dilanggar.
Dampak pada Mutu Layanan dan Keselamatan Pasien
IDAI memperingatkan bahwa intervensi ini berpotensi menimbulkan dampak serius yang melampaui persoalan internal profesi. Mereka khawatir keputusan krusial terkait registrasi dan praktik dokter bisa “disetir” oleh kepentingan non-medis, mengancam integritas profesi dokter secara keseluruhan.
Lebih jauh, IDAI menekankan bahwa masyarakat luas adalah pihak yang paling dirugikan. Jika standar keilmuan untuk berbagai spesialisasi medis, mulai dari bedah, pediatri, hingga jantung, ditentukan oleh pertimbangan politik alih-alih kualitas keilmuan murni, mutu layanan kesehatan yang diterima publik berisiko menurun. “Masyarakat bisa dirugikan!” tegas mereka.
Melalui aksi Pita Hitam dan berbagai langkah lainnya, IDAI menyuarakan tiga tuntutan utama:
-
Kembalikan kolegium sebagai badan ilmiah independen.
-
Hentikan intervensi pemerintah dalam urusan keilmuan kedokteran.
-
Tinjau ulang UU dan PP yang dinilai merusak tatanan profesi.
“Kami bergerak bukan karena ambisi, tapi karena tanggung jawab moral menjaga amanah ilmu dan keselamatan rakyat,” tegas IDAI, menyerukan seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjaga integritas profesi kedokteran.
Pesan penutup mereka menggema, “Kami tidak akan diam. Demi anak-anak Indonesia, demi masa depan yang sehat dan berkeadaban.”
Solidaritas ini juga ramai disuarakan di media sosial dengan berbagai tagar, termasuk #JagaIndependensiKolegium, #SaveIlmuKedokteran, dan #ProfesionalismeTanpaIntervensi (bn/dnv).