Beranda

Kilau Eufrat: Emas, Asa, dan Nubuat di Tepi Sungai Surut

Kilau Eufrat: Emas, Asa, dan Nubuat di Tepi Sungai Surut
Warga sedang mencari emas di sungai Eufrat (Ist)

Di tengah surutnya Sungai Eufrat, warga Suriah berburu emas yang diramal hadis. Sebuah kisah demam emas, harapan, dan pertaruhan di antara nubuat akhir zaman dan krisis nyata.

INDONESIAONLINE – Eufrat tak lagi biru. Warnanya kini cokelat keruh, alirannya lesu, dan tepiannya mundur jauh, meninggalkan hamparan tanah kering yang merekah di bawah terik matahari pedesaan Raqqa. Namun, di atas hamparan nestapa itu, sebuah kilau lahir. Bukan kilau air, melainkan fatamorgana harapan yang menggoda ribuan pasang mata.

Sejak akhir Juli lalu, lanskap sunyi di tepi sungai ini berubah menjadi panggung hiruk pikuk. Puluhan, lalu ratusan, tenda darurat tumbuh seperti jamur setelah hujan. Siang dan malam, denting sekop beradu dengan tanah kering menjadi musik pengiring sebuah demam kolektif: demam emas.

Semua bermula dari sebuah temuan sederhana. Permukaan sungai yang surut secara drastis menyingkapkan gundukan-gundukan tanah yang memantulkan cahaya mentari dengan kilau keemasan. Dari mulut ke mulut, lalu melesat di jagat maya, kabar itu menyebar lebih cepat dari sisa aliran Eufrat.

Kata kunci “Sungai Eufrat” sontak merajai tren pencarian, mengubah rasa penasaran menjadi aksi massa.

Orang-orang datang dari desa-desa sekitar, membawa apa pun yang bisa untuk menggali: sekop tua, cangkul berkarat, bahkan perkakas tangan seadanya. Di wajah-wajah lelah mereka, yang telah lama akrab dengan bayang-bayang konflik dan kemiskinan, kini terpatri sebuah fokus baru. Mereka menggali, menyaring, dan menatap butiran tanah dengan tatapan yang sama antara doa dan pertaruhan.

“Harga sekop bekas saja melonjak tiga kali lipat,” ujar seorang warga kepada reporter lokal.

Fenomena ini bahkan melahirkan profesi baru: perantara dadakan yang menjajakan alat-alat gali di tengah kerumunan, mengambil untung dari asa yang membuncah.

Aktivitas masif ini berlangsung dalam senyap kelembagaan. Tak ada satu pun pernyataan resmi dari pemerintah, seolah membiarkan harapan rakyat mencari jalannya sendiri di atas tanah yang tak pasti.

Antara Sains dan Hadis

Di tengah gegap gempita perburuan, suara rasionalitas mencoba menyela. Geolog Khaled al-Shammari, dalam wawancaranya dengan Shafaq News pada 6 Agustus, mengingatkan bahwa kilau tak selalu berarti emas.

“Sungai Eufrat memang kaya akan endapan mineral karena alirannya yang panjang melintasi berbagai formasi batuan. Namun, kilau itu bisa jadi hanya pirit, yang dikenal sebagai ‘emas palsu’,” urainya.

“Hanya analisis geologi di laboratorium yang bisa memberikan kepastian. Tanpa itu, semua ini hanyalah spekulasi,” tegasnya.

Namun, bagi banyak penggali, keyakinan mereka tidak hanya berakar pada kilau di tanah, tetapi juga pada nubuat yang telah berusia ribuan tahun. Diskusi tentang hadis Nabi Muhammad SAW kembali menghangat di tenda-tenda dan warung kopi.

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَحْسِرَ الْفُرَاتُ عَنْ جَبَلٍ مِنْ ذَهَبٍ…
“Kiamat tidak akan terjadi sampai Sungai Eufrat mengering lalu menyingkapkan gunung emas…” (HR. Muslim).

Potongan hadis sahih itu seolah menemukan manifestasinya di depan mata mereka. Ulama lokal, Asaad al-Hamdani, membenarkan kesahihan riwayat tersebut dalam tradisi Sunni. Namun, ia menyerukan kehati-hatian.

“Memahami hadis tentang tanda-tanda akhir zaman membutuhkan kedalaman ilmu, bukan penafsiran harfiah atas setiap peristiwa,” ujarnya. “Kita harus waspada agar tidak terjebak dalam kesimpulan yang tergesa-gesa.”

Nadi Kehidupan yang Sekarat

Di luar demam emas dan perdebatan eskatologis, ada tragedi nyata yang melatari semua ini: kematian perlahan Sungai Eufrat. Sungai legendaris yang menjadi nadi peradaban Mesopotamia selama ribuan tahun ini tengah sekarat.

Data dari citra satelit dan laporan PBB menunjukkan penyusutan drastis debit air dalam dekade terakhir. Pemicunya kompleks: pembangunan Bendungan Atatürk dan Birecik di Turki yang menahan sebagian besar aliran hulu, ditambah dengan kekeringan ekstrem yang diperparah oleh perubahan iklim.

Bagi jutaan warga Suriah dan Irak, surutnya Eufrat berarti gagal panen, krisis air bersih, dan hilangnya mata pencaharian.

Perburuan emas ini, pada akhirnya, adalah potret pilu dari kondisi tersebut. Ketika sumber kehidupan tradisional mengering, orang-orang beralih pada harapan terakhir, sekalipun itu hanya kilau yang belum terbukti.

Matahari kembali terbenam di Raqqa, menyepuh cakrawala dengan warna keemasan. Di tepi sungai, para penggali masih di sana, menyalakan lampu seadanya. Mereka terus menggali, di antara bisik nubuat masa lalu dan desak kebutuhan masa kini.

Entah yang mereka temukan esok adalah emas murni atau sekadar pirit tak berharga, kilau di tepi Eufrat hari ini adalah cermin dari harapan yang menolak padam di tanah yang lama terluka (bn/dnv).

Exit mobile version