Inpres 1/2025 Gunting Anggaran Pendidikan Rp 8 T, Ini Kata Pakar

Inpres 1/2025 Gunting Anggaran Pendidikan Rp 8 T, Ini Kata Pakar
Anggaran pendidikan dipangkas Rp 8 triliun karena adanya efisiensi anggaran dengan terbitnya Inpres 1/2025 (Ist/republika)

INDONESIAONLINE – Inpres nomor 1 tahun 2025 terkait efisiensi anggaran menghantam Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Kementerian ini harus menerima pil pahit berupa pemangkasan anggaran hingga Rp8 triliun.

Kebijakan efisiensi yang digadang-gadang sebagai langkah penghematan pemerintahan Prabowo ini, bagai petir di siang bolong bagi dunia pendidikan.

Langkah ini sontak memicu gelombang kritik dan kekhawatiran. Bagaimana mungkin sektor yang diklaim sebagai “prioritas” justru menjadi korban pertama “gunting anggaran”?

Pengamat pendidikan Ubaid Matraji dengan nada sinis mempertanyakan logika di balik efisiensi ini. “Problem sertifikasi guru belum tuntas, kesejahteraan guru masih jauh dari ideal, sekolah di daerah terpencil masih minim. Di tengah kondisi karut-marut ini, anggaran malah dipangkas? Ini namanya bukan efisiensi, tapi kontra-produktif,” ujarnya pedas dilansir dari BBC News Indonesia, Minggu (9/2/2025).

Ubaid menegaskan, alih-alih dipangkas, anggaran pendidikan justru seharusnya ditambah secara signifikan. Pemotongan ini, menurutnya, mengindikasikan inkonsistensi dan bahkan ketidakseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan.

Nada serupa juga dilontarkan Iman Zanatul Haeri, Kepala Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru. Ia menyoroti ironi kebijakan efisiensi ini yang justru mengorbankan sektor pendidikan demi menopang program lain yang kontroversial, seperti Makan Bergizi Gratis.

“Kebijakan makan siang gratis ini bahkan ditolak oleh murid-murid di Papua yang lebih membutuhkan akses pendidikan yang layak dan gratis. Ini bukti nyata bahwa masalah mendasar pendidikan kita adalah akses, bukan sekadar perut kenyang sesaat,” tandas Iman.

Pemotongan anggaran Kemendikdasmen ini adalah konsekuensi Instruksi Presiden No. 1/2025 tentang efisiensi belanja negara. Secara total, pemerintah memangkas anggaran kementerian dan lembaga sebesar Rp256,1 triliun. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi berdalih, efisiensi ini diperlukan untuk mendanai program prioritas lain seperti Makan Bergizi Gratis, ketahanan pangan, dan energi.

Namun, argumen ini tak serta merta meredakan kekecewaan dan keraguan di kalangan penggiat pendidikan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi mandatory spending dengan alokasi minimal 20% dari APBN, justru ikut terdampak pemangkasan.

Anggaran Kemendikdasmen yang semula Rp33,5 triliun, kini menyusut menjadi sekitar Rp25,5 triliun.

Korban Efisiensi: Dari ATK hingga Infrastruktur

Dokumen Kementerian Keuangan mengungkap detail pos-pos anggaran Kemendikdasmen yang menjadi sasaran efisiensi. Mulai dari hal-hal remeh seperti alat tulis kantor (dipangkas 90%), percetakan dan suvenir (75,9%), hingga pos-pos krusial seperti infrastruktur (34,3%) dan bantuan pemerintah (16,7%). Perjalanan dinas, rapat, seminar, kajian, dan jasa konsultan juga tak luput dari “operasi gunting anggaran”.

Mendikdasmen Abdul Mu’ti mencoba meredam kekhawatiran dengan mengklaim bahwa program strategis seperti BOS, PIP, dan tunjangan sertifikasi guru tetap aman.

Namun, klaim ini tak sepenuhnya meyakinkan. Pemangkasan di berbagai pos, terutama infrastruktur dan bantuan pemerintah, tetap berpotensi menggerogoti kualitas dan akses pendidikan.

Ancaman Putus Sekolah dan Nasib Guru Honorer

Ubaid Matraji mewanti-wanti dampak pemangkasan anggaran ini terhadap sektor infrastruktur pendidikan. “Pembangunan sekolah baru akan terhambat. Daya tampung sekolah tidak akan bertambah. Potensi anak putus sekolah semakin besar, terutama di jenjang SMP yang daya tampungnya seringkali tidak seimbang dengan lulusan SD,” jelasnya.

Laporan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) tahun 2023 memang menunjukkan bahwa puluhan kabupaten/kota di Indonesia masih kekurangan daya tampung SMP. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan wajib belajar 13 tahun yang seharusnya diiringi dengan ketersediaan infrastruktur dan anggaran yang memadai.

Tak hanya infrastruktur, nasib guru honorer pun kembali terancam. Ubaid memprediksi pemangkasan anggaran ini akan memicu gelombang “pembersihan” guru honorer.

“Sekolah-sekolah akan semakin kesulitan membayar honor guru. Pemberhentian guru honorer secara sepihak, seperti yang pernah terjadi di Jakarta, sangat mungkin terulang, bahkan dalam skala yang lebih besar,” ungkapnya dengan nada prihatin.

Nisa Felicia dari PSPK menambahkan, anggaran pendidikan yang minim juga akan berdampak pada perekrutan guru baru, termasuk guru PPPK. “Jumlah formasi guru akan sangat bergantung pada anggaran yang tersedia. Jika anggaran dipangkas, maka formasi guru juga akan terbatas. Ini akan semakin memperparah masalah kekurangan guru di banyak daerah,” katanya.