Inses Jombang: Kakak Tiri Setubuhi Adik 6 Tahun

Inses Jombang: Kakak Tiri Setubuhi Adik 6 Tahun
Ilustrasi inses yang terjadi di Jombang (Ist)

INDONESIAONLINE – Sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan terkuak di Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur (Jatim). Seorang penjual pentol berinisial AA (23) tega melakukan kekerasan seksual terhadap adik tirinya sendiri.

Perbuatan bejat yang masuk dalam kategori inses berlangsung selama enam tahun, menyeret korban dalam lingkaran setan sejak ia masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD).

Kasat Reskrim Polres Jombang, AKP Margono Suhendra, melalui Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Ipda Faris Patria Dinata, membenarkan penangkapan pelaku.

“Pelaku AA pertama kali menyetubuhi adiknya (korban dan pelaku diketahui merupakan saudara seibu, namun berbeda ayah) pada tahun 2018 lalu di rumah orang tua mereka. Saat itu, korban masih berusia 12 tahun,” ujar Ipda Faris saat dikonfirmasi wartawan pada Rabu (21/5/2025).

Kronologi 

Menurut Ipda Faris, modus operandi pelaku dimulai dengan mencekoki korban, yang saat itu masih sangat belia, dengan video porno. Setelah itu, AA memaksa adiknya untuk melayani nafsu bejatnya.

Perbuatan terkutuk ini terus berulang, tanpa diketahui pihak lain, hingga korban menginjak usia 19 tahun. Hubungan inses terakhir kali dilakukan pelaku di rumah orang tua mereka pada Desember 2024.

Selama enam tahun, korban hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan trauma. Relasi kuasa yang timpang antara kakak dan adik, ditambah ancaman dan manipulasi, diduga kuat membuat korban tak berdaya untuk melawan atau melapor.

Kasus-kasus inses seringkali menjadi “silent crime” atau kejahatan sunyi, di mana korban merasa terisolasi dan takut akan stigma sosial serta dampak pada keluarga.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa inses adalah bentuk kekerasan seksual yang paling merusak karena melibatkan pengkhianatan kepercayaan dari orang terdekat.

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat ribuan kasus kekerasan seksual terhadap anak setiap tahunnya, dan kasus inses seringkali tidak terlaporkan sepenuhnya karena kompleksitasnya.

Terbongkarnya Aib Keluarga

Tabir kelam ini akhirnya tersingkap pada Minggu (18/05/2025). Pemicunya, menurut Ipda Faris, adalah perselisihan masalah ekonomi antara korban dan pelaku.

“Ketahuannya ketika korban cek-cok dengan pelaku masalah ekonomi, lalu korban diancam. Sehingga dari situ ramai dan diamankan Polsek Mojoagung,” jelasnya.

Ancaman yang dilontarkan pelaku tampaknya menjadi titik puncak bagi korban untuk memberanikan diri. Setelah diamankan Polsek Mojoagung dan memberikan pengakuannya, kasus ini segera dilimpahkan ke Unit PPA Satreskrim Polres Jombang. Pelaku AA pun langsung ditangkap.

Saat ini, AA telah mendekam di sel tahanan Mapolres Jombang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Pelaku kita jerat Pasal 81 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang,” tegas Ipda Faris.

Pasal tersebut mengatur pidana bagi pelaku persetubuhan dengan anak dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling banyak Rp5 miliar. Jika pelaku adalah orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, atau orang yang memiliki hubungan keluarga, pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana. Mengingat pelaku adalah kakak tiri korban, pemberatan hukuman ini sangat mungkin diterapkan.

Ipda Faris menambahkan bahwa korban saat ini tidak dalam kondisi hamil. Namun, dampak psikologis dari trauma kekerasan seksual yang dialami selama bertahun-tahun dipastikan sangat mendalam. Psikolog anak dan remaja seringkali menyoroti bahwa korban inses berisiko tinggi mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi, kecemasan, kesulitan membangun hubungan yang sehat, hingga menyalahkan diri sendiri. Pendampingan psikologis intensif dan dukungan dari lingkungan menjadi krusial bagi pemulihan korban.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga secara konsisten menyerukan pentingnya deteksi dini dan intervensi cepat dalam kasus kekerasan seksual anak, serta penguatan ketahanan keluarga dan edukasi mengenai batasan tubuh dan hak-hak anak.

Kasus di Mojoagung ini menjadi pengingat pahit bahwa predator seksual bisa datang dari lingkaran terdekat, dan perlindungan anak harus menjadi prioritas utama semua pihak, mulai dari keluarga hingga aparat penegak hukum. Proses hukum terhadap AA akan terus berjalan, sementara upaya pemulihan bagi korban menjadi agenda penting yang tak boleh terabaikan (ar/dnv).